Suka Bunga dan Layang-layang – Media Indonesia, 5 Desember 2013

Sewaktu kecil, kita suka main layang-layang. Mengasyikkan. Ketika angin bertiup kencang, benang kita ulur lebih panjang, sehingga layang-layang bisa terbang lebih tinggi. Sebaliknya saat angin pelan, kita tidak bisa menerbangkan layang-layang setinggi yang kita

Mengelola suku bunga perbankan pun rupanya persis seperti bermain layang-layang—walau dengan analogi yang agak terbalik. Ketika perekonomian sedang kondusif, Bank Indonesia (BI), sebagai penabuh genderang, akan menurunkan BI Rate. Lalu, seluruh bank akan menurunkan suku bunga.

Sebaliknya ketika perekonomian sedang ada masalah, suku bunga bank cenderung bergerak naik.

Memang kerap kali ada disharmoni. Bank-bank cenderung cepat ketika menaikkan suku bunga, namun agak berlambat-lambat saat menurunkannya. Suku bunga deposito bisa turun lebih cepat, namun tidak demikian dengan suku bunga pinjaman.

Lalu, tingkat suku bunga berapa yang membuat semua pihak merasa senang? Menentukan angka ini sungguh tidak mudah. Lebih banyak unsur seninya ketimbang sains. Begitulah rangkuman diskusi saya dengan Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs, Direktur & Chief Financial Officer Danamon Vera Eve Lim, dan pengusaha Shinta W. Kamdani, dalam acara Dialog Ekonomi & Perbankan di Metro TV, Rabu (4/12).

Kita menghadapi situasi yang paradoks. Mereka yang menyimpan uang di bank menginginkan suku bunga tinggi. Sementara, mereka yang meminjam uang ke bank ingin suku bunga serendah-rendahnya. Maka, perlu dicari titik temunya.

Pertengahan November silam tingkat suku bunga bank bergerak naik, terutama setelah BI kembali menaikkan BI Rate menjadi 7,5%. Tentu bukan kabar gembira bagi dunia usaha. Dalam diskusi, Shinta mengeluhkan soal itu. Suku bunga kredit di Indonesia, katanya, masih terlalu tinggi. Selisihnya dengan suku bunga deposito bisa mencapai 600 basis poin. Ini membuat pengusaha terpaksa mengerem ekspansi. Dengan suku bunga setinggi itu, hanya perusahaan yang margin usahanya di atas 20% saja yang masih bisa ekspansi.

Keluhan Shinta tentu bukan kabar gembira. Sebab sedikit sekali bisnis yang marginnya bisa sampai di atas 20%. Kalau sebagian besar pebisnis terpaksa mengerem ekspansinya, berarti lampu kuning buat perekonomian. Hanya sedikit lapangan kerja yang akan tercipta. Padahal, angka pengangguran kita masih terbilang tinggi.

Atas nama pertumbuhan ekonomi, saya juga lebih suka jika tingkat suku bunga rendah. Dengan begitu kalangan dunia menjadi lebih tertarik meminjam uang ke bank untuk berekspansi. Masyarakat juga lebih memilih memutar uang untuk berbisnis ketimbang menyimpan di bank. Akan tercipta lapangan-lapangan kerja baru.

Suku bunga yang tinggi memang kurang sehat bagi perekonomian. Darmin Nasution, semasa menjadi Gubernur BI pun penasaran dengan tingginya suku bunga. Ia menduga, itu karena inefisiensi perbankan yang ditransmisikan ke masyarakat, dan perilaku premanisme dari deposan-deposan besar yang cenderung memaksa bank-bank besar memberikan imbal hasil tinggi. Maka, ketika memimpin BI, Darmin berupaya habis-habisan untuk terus menurunkan suku bunga.

Namun, suku bunga bukan instrumen ekonomi yang berdiri sendiri. Apa yang terjadi di sektor keuangan, termasuk perbankan, adalah cermin yang terjadi di sektor riil. Ibarat bercermin, kalau kita mengangkat tangan, sosok kita di dalam cermin akan ikut mengangkat tangan.

Jadi, mengotak-atik sektor perbankan tanpa membenahi sektor riilnya akan percuma saja. Ibarat memainkan layang-layang, di saat angin bagus sekalipun, kalau benangnya kusut, kita tak akan bisa membuat layang-layang terbang tinggi.

Rhenald Kasali
Founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *