Hari Senin-Selasa lalu, Indofood mengundang banyak praktisi, ilmuwan, dan kaum muda dalam simposium tentang masa depan pangan.
Karena duduk sebagai pembicara penutup, saya pun banyak mendengarkan segala persoalan, harapan, dan temuan yang dibahas dalam simposium itu. Persoalan selanjutnya, mengapa sektor pertanian Indonesia mengalami banyak kemunduran? Kalau sumber pangan masa depan itu ada di laut, berapa besar armada laut kita saat ini? Kalau pangan itu jadi masalah vital, mengapa subsidi energi nilainya puluhan kali daripada subsidi pangan? Mengapa kita biarkan petani-petani berhenti menjadi petani? Saya tambah pusing lagi ketika membaca buku yang ditulis Darmin Nasution yang sangat bagus, judulnya Bank Sentral Itu Harus Membumi.
Bukan karena tulisan atau persoalannya, tetapi saat masalah moneter dipadukan dengan tataran praktis, sektor riil yang berada di luar cakupan kerja bank sentral. Ya, ini soal financial inclusion yang belum terhubung dengan barang luks yang bernama sertifikat.
Inklusi Keuangan
Dalam buku itu, Darmin Nasution menjelaskan dengan begitu indah betapa pentingnya Indonesia mendorong keterlibatan yang jauh lebih besar bagi masyarakat untuk memanfaatkan jasa-jasa keuangan. Darmin gelisah karena masih sedikit masyarakat yang menggunakan jasa-jasa keuangan, termasuk perbankan. Bahkan saat ia menulis buku itu tahun lalu, loan to deposit ratio di Indonesia masih berkisar 30–40%. Padahal, menurutnya, di Malaysia dan Thailand saja sudah 110%.
Akibatnya tanah-tanah menganggur tak menjadi kebun dan lulusan-lulusan sekolah/universitas tak berubah menjadi SDM atau pegawai. Hanya karena perputaran uang atau keterlibatan masyarakat yang rendah dalam memanfaatkan jasa keuangan untuk investasi, kegiatan ekonomi tidak berubah menjadi produktif. Lantas bagaimana membuat semakin banyak orang masuk dalam keuangan inklusi itu? Yang kita rasakan mudah ternyata hanya kredit konsumsi saja bukan? Ya, kartu kredit, pinjaman tanpa agunan buat beli rumah, mobil, fesyen, atau elektronik.
Nah, bagaimana modal untuk membangun usaha? Secara kebetulan minggu ini pula di Rumah Perubahan saya kedatangan beberapa sahabat yang pernah bekerja di Badan Pertanahan Nasional. Saya pun membicarakan soal ini, termasuk soal tanah- tanah telantar yang hak guna usahanya tak dijalankan pengusaha sesuai dengan komitmen. Atau tanah-tanah telantar yang bisa dikategorikan dari sisi hukum dan ekonomi.
Pikiran kami sederhana saja: kalau petani kita di Surabaya bisa memasok cabai ke Jakarta yang membuat harga cabai di Ibu Kota turun tahun lalu, harusnya tanah-tanah telantar itu bisa dipakai buat mengatasi masalah pangan. Bukankah pangan telah mengirim sinyal-sinyal krisis di sini?
Sertifikatnya Mahal
Teman-teman di BPN menyampaikan saat ini tanah Indonesia terbagi dalam sekitar 80 juta bidang. Namun tahukah Anda berapa yang tanahnya sudah besertifikat? Seorang pakar pernah menyebut 40%, tetapi itu segera dibantah pakar lain yang mengatakan hanya 10%. Bahkan ada yang berani bertaruh hanya 5%. Saya kira masuk akal, bukankah sebagian besar rakyat hanya memiliki surat berbentuk girik, bahkan surat yang dikeluarkan pimpinan adat atau paling modern, ya akta jual beli (AJB)? Setahu saya mengurus AJB saja rakyat sudah kehabisan energi.
Memang kita tahu pemerintah mencanangkan program yang dikenal dengan Prona. Nah, Prona ini adalah sertifikasi tanah kaveling perumahan (maksimal ±2.000 meter persegi lahan pekarangan). Namun itu pun pemerintah hanya sanggup menangani 800.000 bidang per tahun. Teman-teman saya dari BPN bilang sertifikat Prona itu murah. Tapi yang murah itu di luar dugaan ternyata masih dibilang mahal oleh masyarakat. Pasalnya yang disubsidi pemerintah itu adalah proses sertifikasinya yang menyangkut soal pengeluaran tanah dan pengeluaran surat.
Nah, masalahnya sebelum tahapan itu, ada proses mahal yang harus dipenuhi: prasertifikasi yang menyangkut surat-surat yang diurus melalui ketua RT, ketua RW, lurah hingga camat. Selain surat-surat keterangan tanah (atas hak) masih ada pungutan BPTHB yang besarnya 5% dari nilai jual objek pajak dan PPh penjual. Belum lagi pajak waris, ongkos ukur tanah, biaya untuk saksi-saksi dan sebagainya. Kalau untuk urusan prasertifikasi saja seorang petani, pemilik sawah/kebun sudah harus mengeluarkan minimal Rp10 juta, bisa dibayangkan siapa petani yang mampu?
Urusan prasertifikasi ini bisa saja dikurangi kalau pejabat sertifikasi bupati mempunyai political will yang kuat untuk mengangkat kesejahteraan warganya dengan menghapuskan segala pungutan-pungutan itu bersama-sama dengan DPRD. Sebab dengan sertifikat itulah inklusi keuangan baru bisa dimulai. Tanpa sertifikat mana mungkin tanah itu dijembatani dengan dunia perbankan menjadi modal bagi perbaikan kesejahteraan petani? Itu juga jembatan inklusi keuangan, bukan?
Masalahnya, kita masih berpikir pemerintah pusat sebagai sinterklas yang bagi-bagi uang agar rakyat urus sertifikat tanah. Padahal ini juga butuh inisiatif pemerintah setempat untuk mengatasi kesejahteraan. Karena petani tak punya akses pada permodalan, terjadilah hal-hal yang tak diinginkan. Bibit yang digunakan bukanlah benih yang terbaik dan terkuat dalam menghadapi perubahan iklim.
Tidak mengherankan bila akibatnya buruk bagi pasokan pangan nasional dan buruk bagi kinerja sektor keuangan, buruk bagi perekonomian. Ini pekerjaan rumah (PR) besar bagi kita di tahun 2014 dan tahun-tahun selanjutnya kalau mimpi kita menjadi negara besar yang kuat.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan