SUATU KETIKA SEORANG BANKIR BERCERITA. Ia didatangi seorang ibu, yang anaknya bekerja di bank yang ia pimpin. Ibu itu mengeluh, “Pak, katanya anak saya bekerja di bank ini, tapi setiap kali ngantor kok hanya memakai kaus dan jeans. Bukan seperti seragam karyawan bank ini.”
Bankir itu mengangguk-angguk, maklum. Lalu dengan sabar ia menjelaskan bahwa benar anak itu bekerja di bank ini. Anak itu sedang ditugaskan menjadi tenaga penjual salah satu produk bank tersebut, yakni microbanking. Sasarannya ialah nasabah skala mikro dan kecil, seperti para petani, pedagang pasar, pemilik warung atau pemilik bengkel motor.
Ia juga menjelaskan, bila pegawai bank datang dengan memakai pakaian eksekutif bank, nasabahnya menjadi sungkan. Akibatnya ia bisa gagal. “Anak ibu jadi repot kalau datang ke bengkel dengan kemeja putih dan dasi. Nanti nasabahnya malah takut. Makanya dia dibiarkan bekerja pakai kaus dan jeans.”
Ibu itu akhirnya bisa menerima.
SMALL IS BEAUTIFUL, kata EF Schumacher dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1973. Akan tetapi bagi saya bukan hanya itu.Small is Powerful. Sebagian kita barangkali masih terkenang dengan krisis ekonomi 1998. Bank-bank kolaps, perusahaan-perusahaan besar berguguran, PHK terjadi di mana-mana.
Bagaimana dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)? Mereka yang selama ini kerap dikejar-kejar Satpol PP, diganggu para preman, dan selalu menjadi sasaran penertiban, malah menjadi penyelamat perekonomian kita. Kalau Anda melintas di kawasan Sudirman Central Business District (SCDB), Jakarta, cobalah sejenak memutar balik ingatan Anda ke tahun 1998-2000. Pada tahun-tahun itu di SCBD berdiri ratusan kafe yang menjajakan makanan minuman dan sekaligus menampung ribuan karyawan korban PHK.
Data beberapa sumber mengungkapkan bahwa 90% tenaga kerja kita terserap di sektor mikro. Ini menunjukkan betapa sektor mikro menjadi penopang perekonomian. Benar skalanya kecil-kecil, tapi mereka tahan banting. Satu hari saja warung usahanya tak buka, satu keluarga tidak makan. Begitu ibaratnya.
Meski begitu kinerja sektor ini belum optimal. Banyak potensi yang belum tergarap, begitu salah satu kesimpulan diskusi saya dengan Pungky Wibowo selaku Direktur Grup Pengembangan Keuangan Inklusif Bank Indonesia (BI), Ngadiran Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia dan Minhari, Direktur kredit mikro Bank Danamon. Kami membahasnya dalam Dialog Ekonomi & Perbankan di Metro TV, Rabu (20/11) lalu.
Data BI sampai Juli 2013 melaporkan kredit perbankan ke sektor UMKM baru mencapai Rp583,85 triliun, atau 18,8% dari total kredit perbankan nasional yang Rp3.105 triliun. Padahal BI mewajibkan perbankan menyalurkan sedikitnya 20% dari total kreditnya ke sektor UMKM.
Kekuatan bisnis mikro juga tercermin dari rendahnya angka kredit bermasalah. Bila batas atas Non Performing Loan (NPL) perbankan nasional 5%, maka angka NPL bisnis mikro menurut BI hanya 3,6%. Ini berarti pengusaha UMKM, kecil dan menengah sangat patuh dalam melunasi kreditnya.
Data tersebut seakan mengkonfirmasi pengamatan saya tentang perilaku pengusaha skala mikro dan kecil. Mereka ini memang takut berutang, karena takut tidak bisa membayar.
Ruang gerak pebisnis skala mikro dan kecil ini juga sangat terbatas. Jadi, kalau ada dua-tiga yang ngemplang, segera menjadi bahan gosip di lingkungan kecilnya. Reputasinya bisa rusak. Bisnis mereka bisa hancur. Maka, penting bagi mereka menjaga reputasi. Utang harus dibayar.
Ini sesungguhnya karakter yang baik dan membuat mereka layak menerima kucuran kredit. Hanya mereka memang lemah dalam masalah administrasi. Untuk itulah perlu dibantu.
Kini menjadi tantangan bank untuk membuat pebisnis UMKM tumbuh besar. Di sini urusannya pasti bukan hanya administrasi. Bank-bank perlu meningkatkan kualitas SDM-nya agar bisa membantu pengusaha skala mikro dan kecil naik kelas. Cinta UMKM bukan berarti membuatnya beprestasi, tumbuh dan sehat.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan