Sido Muncul Go Public – 21 November 2013

Harian The Wall Street Journal  kemarin menurunkan berita tentang Sido Muncul, yang melakukan penawaran perdana atas 10% sahamnya. “Ini adalah perusahaan obat-obatan herbal pertama yang terdaftar di Bursa efek Indonesia,” tulis  The Wall Street Journal.

Di dalam Ball Room 2 hotel Ritz Carlton-Pacific Place Jakarta, Senin kemarin, saya menyaksikan kerumunan yang tidak biasa. Seorang investor dari BCA mengatakan, “Ini IPO yang teramai yang pernah saya lihat di tahun ini.” Hanya saja saat press conference terlihat kurang rapih. Sepertinya Sido Muncul atau pihak underwriter kurang mempersiapkanya dengan baik.

Tetapi secara keseluruhan acara ini terbilang ramai. Investor menaruh harapan yang besar. Sebanyak 1,5 miliar lembar saham ditawarkan dengan harga awal antara Rp 540-660,- per lembar  untuk mendapatkan dana ekspansi sebesar Rp 1,5 triliun rupiah pada akhir tahun ini.

Saham itu Intangibles

Di luar ruangan, seorang tamu mendiskusikan harga perdana yang ditawarkan. Yang satu membandingkan antara nilai aset dengan harga saham dan menyatakan harga itu ketinggian. Tetapi seorang investor lainnya geleng-geleng kepala menyatakan sebaliknya. Orang lain menyatakan harga itu masih murah atau terlalu murah. Inilah persepsi.

Layaknya harga saham perdana, investor selalu punya pandangan yang berbeda-beda tergantung pada persepsi masing-masing.

Namun Sebagai seorang yang pernah menjadi endorser salah satu produk Sido Muncul di zaman sulit, saya sedikit mengerti kekuatan Sido Muncul. Dan tentu saja kelemahan-kelemahan dan ancaman-ancaman yang dihahadapinya. Yang terakhir itu sudah sering saya sampaikan pada Irwan Hidayat, CEO Sido Muncul. Dan saya kira, IPO tersebut adalah salah satu jawabannya dari sekitar 5 tahun pergulatan yang ia pikirkan.

Dan menurut hemat saya, kekuatan Sido Muncul ada pada harta-harta tak kelihatannya, yang dalam manajemen disebutIntangibles. Sayangnya, hampir semua analis terfokus pada analisa aset tangible dengan menghitung segala sesuatu yang “tampak” pada laporan-laporan keuangan. Padahal Intangibles itu tidak pernah tampak dalam neraca keuangan, laporan rugi laba,cash flow, maupun business plan.

Intangibles pulalah yang menentukan harga saham, yang membedakan “nilai buku” (book value) dengan “nilai pasar” (market value).  Intangibles itulah pembentuk persepsi, sebab Intangibles adalah segala sesuatu yang melekat pada manusia yang tidak bisa dibeli dengan uang, tak bisa diperoleh dalam tempo sekejap, namun sekali didapat, ia dapat diekspansi dan diperluas.

Brand Image,  customers loyalty, distributors Loyalty, trust, skill, corporate culture, innovation, entrepreneurship, knowledge, patent, dan sebagainya adalah Intangibles. Jadi itulah yang membuat sebuah usaha tidak bisa direplikasi begitu saja. Sido Muncul sudah ada sejak 1940-an dengan pengetahuan yang terakumulasi dalam sebuah proses yang melekat internal dan eksternal.

Kembali ke Sido Muncul, saya ingin mengajak Anda melihat lebih dari sekedar data. Tengoklah betapa kuatnya hubungan yang dimiliki dengan para stakeholder-nya saat ia menggelar mudik lebaran untuk para pengecer jamu. Selain pioner, ia menjadi pelaku mudik lebaran yang paling besar dan paling dihormati.

Penyelengaraannya rapi, dilepas oleh pejabat-pejabat publik terkemuka dan dihadiri puluhan endorser-nya yang menjadi bintang iklan kedua produk unggulannya: Tolak Angin dan Kuku Bima.

Harap maklum, tak banyak produk yang secara aktif membuat iklan yang setiap 3-6 bulan diperbaharui. Selain ditaburi selebriti, iklan-iklan Sido Muncul didukung oleh talent yang beragam mulai dari akademisi, pengusaha, menteri dan budayawan.

Perhatikanlah bagaimana pesaing-pesaingnya berupaya “mencantelkan” brand-nya dengan tema-tema yang dibuat Sido Muncul. Lihat saja tema orang pintar yang terus diikuti pendatang-pendatang baru, namun sebagai penabuh gendering, ia sama sekali tak terganggu oleh tiupan seruling dari pencantel-pencantel merek itu.

Dengan hubungan antara anggota keluarga yang kompak, Sido Muncul keluar sebagai pemenang. Ia jauh mengungguli produsen-produsen jamu yang jaya di era sebelumnya. Dulu kita mendengar Jamu Jago, lalu disalip Nyonya Meneer sampai keluarga itu terpecah dua, lalu muncullah Air Mancur. Tetapi mereka tidak bertahan lama. Jadi, andaikan keluarga Sido Muncul ikut pecah, hampir  pasti nasibnya pun akan serupa. Apalagi kalau intangibles-nya lemah.

Jadi go public jelas merupakan salah satu jalan untuk mengatasi masalah kemungkinan pudarnya usaha karena keributan dalam usaha keluarga (family business). Sebab mereka yang tak bisa bersatu memiliki kemudahan untuk keluar dengan melepas saham-sahamnya ke publik. Go Public bagi family business  yang berhasil juga merupakan alat untuk “menjual” intangibles yang selama ini tak dihargai, tak kelihatan dan tak diperdagangkan.

Rhenald Kasali
Founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *