Cognitive Inflexibility – Koran SINDO

Anda mau tahu mengapa banyak orang bergelar akademis tinggi di sini kurang berhasil, kaku, bahkan frustrasi dalam hidupnya?

Pertanyaan seperti ini juga banyak ditanyakan para sekjen kementerian yang tengah menggelorakan reformasi birokrasi: “Saya heran sekolahnya bagus-bagus, tetapi banyak yang sulit diajak maju dan tak punya inisiatif. Semuanya terpaku pada constraint.” Di dalam birokrasi itu sendiri, orang-orang hebat bukan tidak tahu masalah yang dihadapi, melainkan tak berdaya mengatasinya. Semua orang bekerja under constraint, tetapi kalau constraint selalu dijadikan alasan, ini sudah menjadi penyakit mental yang disebut cognitive inflexibility.

Tapi nanti dulu, pertanyaan serupa ternyata juga datang dari banyak manajer HR yang mulai “trauma” merekrut pegawai yang terlalu pandai, tetapi kurang bisa menerima pandangan-pandangan lain yang berbeda. Saya pun menganggukkan kepala. Tapi bukankah itu juga terjadi pada mereka yang kurang pintar? Dalam executive functioning (KORAN SINDO, 19 September 2013) anak-anak dibentuk kemampuannya dalam self regulation, inhibitory control, dan focus.

Di sana anak-anak belajar mengendalikan diri, tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Anak-anak lalu diaktifkanworking memory-nya, mendapatkan kemampuan berpikir kritis dan logis. Lantas di mana kemampuan fleksibilitas dan kreativitasnya? Mengapa orang-orang hebat menjadi “kaku”, gagal melihat, dan mengambil “kesempatan” emas yang bisa memajukan bangsanya?

Pintu Emas Bell 

Anda mungkin masih ingat dengan Alexander Graham Bell. Salah satu quotes terkenal yang dipakai untuk menjelaskan pentingnya melatih daya kelenturan berpikir anak-anak ternyata berasal dari dirinya. Ia mengatakan begini: “Ketika satu pintu tertutup, pintu-pintu lain terbuka. Tapi acap kali otak kita terpaku begitu lama menyesali pintu-pintu yang tertutup itu sehingga tidak mampu melihat pintu-pintu yang dibukakan.” Heidi McKenzie (2011), seorang psikolog klinis,menuliskan pengalaman masa kecilnya saat merayakan Paskah di sekolah.

Saat itu ia sangat menginginkan hadiah berupa cokelat kelinci yang didapat siapa saja yang berhasil mengumpulkan telur paling banyak. Telur sudah dihias dan disebar di pekarangan sekolah, disamar-samarkan di antara rerumputan, daun, dan pohon-pohon besar. Ketika memungut beberapa butir telur, ia melihat sebuah bungkusan plastik berisi cokelat. “Ah itu bukan telur,” ujarnya. Heidi kecil (4 tahun) berpaling, tetapi temannya memungut kantong itu dan memasukkan ke dalam keranjangnya. Ia tertegun, lalu di dekatnya ada lagi benda lain, tapi bentuknya bukan telur. Ia ragu.

Tapi temannya yang lain memperhatikan pandangannya dan dengan tangkas mengoreknya, lalu memasukkan ke dalam keranjangnya. Lagi-lagi ia kehilangan. Tapi ia berpikir, “Semua itu bukan telur. Biarkan saja.” Alhasil, Heidi kecil hanya mendapatkan sedikit telur dan gagal mendapatkan cokelat Paskah. Ia menangis. Pemenangnya adalah anak-anak yang mengambil kantong-kantong plastik yang sudah ia lihat tadi. “Andaikan saya lebih fleksibel dengan melihat ‘telur’ bukan semata-mata ‘telur ayam’ atau ‘telur betulan’, andaikan saya luaskan makna ‘telur’ tadi, mungkin sayalah pemenangnya, “ tulisnya 2 tahun yang lalu di Yahoo Network.

Mengutuk Pintu yang Tertutup 

Setiap anak mengalami fase inflexibility. Namun pendidikan bisa mengubah mereka kalau kita mau meluaskan makna sekolah dari sekadar belajar angka dan huruf menjadi belajar tentang kehidupan dan bagaimana menaklukkan kesulitan. Dari belajar tentang pengetahuan menjadi bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan. Anak-anak yang tak dilatih kemampuan fleksibilitasnya cenderung mengutuk pintu-pintu yang tertutup sehingga sama sekali tak mengembangkan keahlian menemukan pintu-pintu yang terbuka.

Tapi, maaf, ini juga terjadi pada orang dewasa. Lihatlah bagaimana orang ngotot dan marah saat izin membangun rumah ibadah tak diberikan, padahal umat harus terus beribadah. Tengoklah mantan karyawan yang bertahun-tahun berorasi dan melakukanlong march dari Bandung ke Jakarta selama bertahun-tahun menuntut kenaikan uang pesangon yang diberikan kurang cukup (padahal sebagian teman mereka sudah melamar di perusahaan lain yang lebih berkualitas).

Maaf, saya bukan tak setuju melawan diskriminasi dan penindasan. Saya setuju kita harus bela negara dengan membela kebenaran. Tapi kita juga harus lentur dalam berjuang dan memenangi pertempuran dengan kepala tegak. Seperti kata Adlai Stevenson, “Lebih baik kita menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.” Harus saya katakan pula hidup saya sendiri juga tak jauh berbeda dengan Anda. Karier kita ibarat perjalanan seekor kelinci yang membuat lubang di dalam tanah. Bukan hal yang aneh bila “lubang-lubang yang kita buat” ditutup oranglain. Itu bukan hal yang istimewa. Apalagi bila Anda jujur, disiplin, dan cerdas. Masalahnya adalah, mampukah Anda mencari dan menemukan “pintu-pintu” lain?

Mereka yang membangun usaha pasti tahu, visi dan modal besar saja tidak cukup untuk menjadikan usaha besar. Segala yang Anda pikirkan dan kerjakan selalu saja ada hambatan dan sumbatannya. Anda yang sedang membuat tesis atau disertasi, ya sama saja. Gagasan-gagasan besar akan mati bersama kebebalan Anda, sedangkan mereka yang biasa-biasa saja bisa meraih banyak hal dengan mudah karena kecerdikannya yang kita sebut sebagai cognitive flexibility. Cognitive flexibility adalah sebuah keterampilan yang bisa dilatih, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.

Ia adalah sebuah keterampilan merajut pengalaman-pengalaman baru pada pengetahuan yang sudah ada sehingga dapat dipakai dalam situasi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Ini sama artinya dengan keterampilan menembus batas-batas kesulitan secara kreatif. Kata Heidi McKenzie, banyak orang yang gagal berubah karena selalu muncul pertanyaan “bagaimana kalau ….” Bagaimana kalau saya gagal, bagaimana kalau saya jatuh dan malu, dan seterusnya.

Manusia harus banyak belajar bertanya dari sudut yang berbeda, yaitu: bagaimana kalau semua penghalang what if itu tidak ada? Bukankah saya akan menjadi lebih efektif?

Rhenald Kasali
Founder  Rumah Perubahan

Koran SINDO, 3 Oktober 2013

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *