Anda mungkin masih ingat era kejayaan Perumnas dan BTN. Lewat keduanya, impian rakyat memiliki rumah di era 1980 dan 1990-an menjadi kenyataan. Keluarga-keluarga muda pada masa itu belum banyak mengenal properti, rumah mewah apalagi apartemen. Jadi cara memiliki rumah adalah dengan mencicil via BTN, tinggal sedikit di luar kota, lalu perlahan-lahan naik kelas.
Tak sedikit para pemilik apartemen dan rumah mewah di berbagai kota besar dewasa ini dulunya adalah pemilik rumah Perumnas. Kata orang bijak, sekali mampu mengalahkan mitos (tentang keniscayaan mampu membeli rumah), kemampuan memiliki rumah akan muncul dan perlahan-lahan naik kelas. Sebaliknya, sekali Anda menjual rumah warisan, Anda akan terbiasa menghabiskannya hingga tak punya apa-apa lagi yang dapat diwariskan kepada anak-anak.
Kemesraan Hubungan
Itulah era yang terjalin begitu mesra antara Kementrian Perumahan Rakyat dengan Perumnas dan BTN. Misalnya, antara tahun 1992-1998, lebih dari 50 persen perumahan nasional disediakan Perumnas. Perumnas pernah membangun 500 ribu rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) serempak di berbagai kota lengkap dengan fasilitas jalan dan publik dalam kurun waktu itu.
Bahkan mungkin hanya Perumnas yang berani menyediakan lapangan sepakbola yang tidak dialihfungsikan menjadi bangunan baru yang dikomersialkan. Hanya saja, berbeda dengan pengembang-pengembang swasta yang mencari recurring income setelahproperty dijual, Perumnas justru menyerahkan kawasan itu kepada pemerintah setempat.
Namun tahukah Anda, sekarang ini rakyat kecil sungguh mengidamkan rumah milik mereka sendiri? Menurut beberapa sumber, dewasa ini terdapat 13,6 juta kekurangan rumah rakyat, sedangkan setiap tahun kebutuhannya meningkat sekitar 800.000 unit. Padahal supply-nya setiap tahun hanya 150.000. Kepada siapakah pembangunan rumah rakyat ini akan dibebankan? Kepadadeveloper perumahan mewahkah? Dikerjakan sendiri oleh Pemda? Dilepas bebas kepada pasar? Atau dibangkitkan kembali melalui Perumnas dan pembiayaannya melalui BTN?
Peran Negara
Tentu saja negara punya peran yang sangat besar. Pada masa kejayaan Orde Baru, dengan arsitek ekonomi yang kelak dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley itu, harus diakui koordinasi antar kementerian berlangsung begitu bagus. Namun pada akhirnya, begitu krisis menerpa, Indonesia dipaksa menjadi negara yang “serba-pasar\”. Rakyat, entah besar maupun kecil, sama-sama harus mengikuti mekanisme pasar untuk mendapatkan rumah.
Reformasi yang ditafsirkan sebagai liberalisasi praktis melepaskan banyak tanggung jawab negara kepada pasar. Perumahan rakyat dibebankan kepada para pengembang REI yang diwajibkan membangun rumah-rumah rakyat bersamaan dengan dibangunnya property megah. Awalnya sistem tersebut berjalan, seperti ketika industri rokok kretek kita berkenalan dengan teknologi sigaret kretek mesin (SKM). Mulanya setiap pembuat rokok SKM diwajibkan membuat sigaret kretek tangan (SKT) satu banding dua, lalu dua banding tiga, demi menyelamatkan lapangan pekerjaan dan menghadang otomasi mesin. Namun, lambat laun kewajiban itu tidak terdengar lagi. Persis seperti kewajiban membangun rumah sederhana yang yang dibebankan kepada para pengembang besar.
Karena marjinnya lebih besar, namanya juga mekanisme pasar, pengusaha pasti mengutamakan properti yang lebih menguntungkan. Apalagi, terjadi ekonomi biaya tinggi dengan maraknya calo tanah, pemalsuan surat-surat, premanisme dan korupsi. Kepada siapa biaya-biaya itu akan dipindahkan? Kepada pembeli rumah-rumah sederhana? Tentu saja tidak. Hanya konsumen kelas ataslah yang mampu membelinya. Itu pun harus diiming-imingi bahwa kalau terlambat membeli harga dipastikan sudah naik minggu depan.
Karena itu, maraklah kawasan baru yang dilengkapi apartemen, kolam renang, perkantoran, jalan-jalan besar, community center, mal, dan sebagainya. Sementara itu, rumah-rumah sederhana yang dulu dibangun Perumnas makin jarang terlihat. Kita hanya bisa menyaksikan maraknya rumah-rumah kontrakan yang minim fasilitas bermain untuk anak-anak. Rakyat mengatasi masalahnya sendiri selama beberapa tahun. Bahkan pada tahun 2004-2007 kita pernah mendengar isu Perumnas akan dilikuidasi. Kemenpera, tampaknya, sudah tak merasakan Perumnas sebagai anaknya lagi. Kementrian itu ingin membangun perumahan rakyat dan tower-tower rusun seorang diri.
Ada mungkin masih ingat betapa geramnya Wapres kala itu, Jusuf Kalla, ketika menyaksikan perkembangan yang lambat dalam pembangunan rumah-rumah susun. JK mengingatkan betapa uang pemerintah sesungguhnya ada, tetapi belenggunya sangat besar. Dia lalu memaksa dimulainya pembangunan 1000 tower rusunawa dan rusunami. Itulah awal kebangkitan perumahan rakyat, sekaligus kebangkitan Perumnas.
Kemarin di Jakarta saya bertemu dengan direksi dan pimpinan Perumnas yang baru saja menyusun rencana kerja untuk memperbarui perusahaan tersebut. Sebuah blueprint baru mereka susun dengan spirit transformasi. Namun, untuk membangun rumah-rumah rakyat yang benar-benar baik buat rakyat dan terjangkau, jelas Perumnas tak bisa berjalan sendiri. Pemerintah perlu memperbarui komitmennya guna mengembalikan hak rakyat untuk membeli rumah, tidak sekadar digusur sehingga membuat mereka membeli sepeda motor atau mobil murah dari uang gusuran tanahnya saja.
Bukan rahasia lagi kalau pemerintah daerah dan BUMN yang memiliki lahan-lahan menganggur. Jumlahnya dewasa ini diperkirakan sekitar Rp 500 trilliun. Bayangkan besarnya manfaat yang diterima rakyat bila aset-aset menganggur itu digunakan untuk membangun ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Apalagi, bila UU yang menyangkut Tabungan Perumahan Rakyat berhasil digulirkan dan dipercepat, saya kira rakyat akan kembali bergairah memiliki rumahnya sendiri. Tentu saja bentuknya di setiap daerah akan berbeda-beda, apakah landed house atau high rise building.
Masalahnya, kalau pengembang perumahan sederhana tak dibantu agar mereka mampu beroperasi dengan struktur ekonomi berbiaya rendah, rakyat tak akan pernah bisa menikmati rumah-rumah yang benar-benar murah. Mereka perlu dibantu mulai pembebasan tanah, pajak-pajak terkait tanah dan bangunan, kepastian lokasi, infrastruktur publik, dan tentu saja uang muka yang benar-benar menarik bagi calon pembeli dengan skema yang manis.
Kalau kemesraan bisa dijalin, rakyat juga yang akan menikmatinya. Juga, industri bahan bangunan yang saat ini tengah megap-megap karena kenaikan kurs pasti bisa mengangkat kesejahteraan jauh lebih baik dari sekedar industri otomotif.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan