17 Agustus di Pulau Buru – Kompas, 19 Agustus 2013

Di atas pematang sawah, seorang remaja berjalan gagah seperti pelajar Paskibra yang akan mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Tetapi di mukanya sama sekali tidak tampak tiang bendera. Pemandangan itu saya lihat di dekat Unit XI Desa Waelo – Pulau Buru, Sabtu 17 Agustus 2013.

Yang menatap dari jarak jauh adalah Lasmirin dan Lasmiatun, keduanya adalah generasi kedua transmigran asal Kediri yang orang tuanya datang ke Pulau Buru pada tahun 1980. Oleh negara mereka masing-masing diberi 2 hektar lahan eks para tahanan politik. Berkat kerja keras, sawah-sawah baru mereka cetak.

Bukan hanya itu, mereka juga membangun jalan di bawah komando tentara. Seorang transmigran yang masih hidup menuturkan, mereka dilatih bak tentara agar fisiknya kuat.

Tetapi seperti hubungan sebab akibat, apa yang terlihat hari-hari ini di Pulau Buru akan menentukan masyarakat di pulau itu di masa depan. Dan apa yang terjadi di pulau itu akan berpengaruh di pulau-pulau sekitarnya.

Apakah rajutan kesatuan Indonesia yang dibangun dengan susah payah itu akan tetap dalam satu rajutan, atau akan rapuh ditelan zaman? Itulah yang saya lihat dari kunjungan saya yang ke 4 ke Pulau Buru hari-hari ini. Kita urai satu persatu.

Irigasi yang tersumbat

Mengapa remaja tadi berjalan bak pelajar paskibraka di titian pemantang sawah? Tak takutkah ia kejeblos di antara lumpur-lumpur?

Jawabnya adalah karena sudah setahun ini sawah-sawah itu mengering. Lasmirin dan Lasmiatun menunjuk ke sebuah pohon randu di belakang anak remaja itu bergaya. “Itu tempat saya belajar dulu. Di situ saya bisa menemani bapak membajak sawah”.

Tetapi tahukah anda, kini tak ada lagi petani di antara ribuan hektar tanah yang dicetak dengan susah payah itu. Padahal itu lumbung padinya orang-orang kepulauan Maluku.

Kemana para petani itu pergi?

Ini masalahnya. Pertama, Masyarakat di Pulau Buru sedang demam emas. Bila setahun yang lalu emas hanya ditemukan di satu lokasi di Gunung Botak, kini ia telah menyebar di 4 lokasi yang berbeda. Kedatangan ribuan pendatang ke pulau yang sepi itu telah membuat kehidupan berubah.

Tambang menyita perhatian kaum muda yang biasa bekerja di sektor pertanian. Di tambang-tambang emas, mereka bisa dibayar tiga kali lipat upah sektor pertanian. Akibatnya, petani tak bisa menanam dan memanen. Sawah-sawah yang menguning dibiarkan begitu saja sampai ditumbuhi alang-alang liar karena tak ada tenaga kerja yang mau terjun ke lahan pertanian.

Kedua, petani pun tak kehilangan akal. Mereka membeli tanah-tanah buangan eks tambang dan membawanya turun. Tanah bekas galian itu mereka urai lagi, dan konon satu hingga tiga gram emas saja bisa didapat. Tetapi akibatnya, tanah-tanah sisa penambangan itu mengendap di dasar-dasar saluran irigasi, membuat dasar saluran naik dan air berhenti mengalir.

Ketiga, ketika sebagian petani yang tak mau beralih ke tambang memilih untuk tetap bertani, maka mereka pun menghadapi masalah baru. Beras hasil panenan mereka tidak laku dijual sehingga harganya turun.

Di masyarakat beredar informasi bahwa pertanian di Pulau Buru telah “tercemar” air raksa dan merkuri. Mereka pun berhenti makan beras lokal dan beralih ke beras impor yang telah diolah menjadi lebih putih dengan teknologi pasca panen yang lebih baik.

Petani lokal pun makin terpuruk, sudah airnya tak mengalir, buruh tak ada, hasilnya pun tak ada yang membeli. Biaya produksi naik, tapi harga jual anjlok. Meski bupati telah mengelontorkan paket-paket stimulus yang baik, ribuan hektar sawah tetap tidak diolah sampai musim tanam berakhir. Dan lumbung padi Maluku ini pun terancam punah.

Benih-benih Konflik

Emas seperti memunculkan duka-duka lama, yang obatnya hanya satu: Ketegasan. Tegas bersikap, tegas mengatur, dan tegas menjaga persaudaraan. Tegas ini juga berarti memenuhi janji yang terutang.

Duka lama itu adalah soal tanah.

Setahun yang lalu, saat memulai karya sosial di desa terpencil di pedalaman Pulau Buru saya bertamu menemui Hinolong Raja yang membawahi bapak-bapak Soa di wilayah kerja Rumah Perubahan. Di desa Kobalahin, bapak Raja bercerita bagaimana tanah-tanah adat milik rakyat diambil begitu saja oleh pemerintah.

Mulanya tanah itu dipakai untuk kepentingan negara, sebagai area tahanan politik. Tahanan politik mengolah tanah. Mengajarkan pertanian, tetapi masyarakat adat tetap hidup dalam budaya merambah hutan dan berburu. Mereka hanya menjadi penonton, dan biasa hidup dengan pola \”hari ini masuk hutan, hari ini hasil didapat.\” Sedangkan masyarakat pertanian mempunyai budaya yang lebih modern: perencanaan, proses, dan kesabaran menunggu hasil.

“Tetapi begitu tahanan dilepas, tanah-tanah subur itu tidak diserahkan kembali kepada kami, melainkan dialihkan kepada transmigran. Dan keturunannya bisa memperjualbelikannya. Mereka pegang sertifikat,” ujar Raja.

Raja juga mengeluhkan fasilitas jalan yang hanya dibangun hingga ke lahan-lahan pertanian. Sedangkan jalan menuju pemukiman adat tetap saja buruk.

Tak lama setelah itu saya mendengar dari penduduk transmigran bahwa hektaran tanah mereka direbut masyarakat adat. Aparat desa kewalahan, karena pemerintah bersikap mendua. Bagi masyarakat transmigran batas tanah adat dan lahan pertanian (transmigran) tiba-tiba menjadi tidak jelas, tetapi bagi masyarakat adat, tanah itu tetap diaku sebagai tanah nenek moyang mereka yang proses alih kepemilikannya belum jelas.

Tanpa basa-basi, masyarakat adat yang tiba-tiba mendapat uang dari emas mulai membangun rumah di atas tanah-tanah yang dulu diwariskan nenek moyang mereka. Rumah-rumah batu yang tak terplester utuh kini bertebaran di atas sawah-sawah itu sambil menyumbat saluran-saluran irigasi. Penduduk trans yang mengaku pernah mencetak sawah pun gigit jari.

Di satu kelompok saya mendengar umpatan terhadap kelompok-kelompok lainnya, demikian pula sebaliknya.

Perubahan pun terjadi. Masyarakat adat yang dulu hidup miskin kini mulai bisa membeli sepeda motor. Yang tadinya tak punya rumah, kini mulai membangun rumah. Tetapi basis fondasinya tidak kuat: Emas hanyalah rezeki sementara, apalagi bila dikuras habis-habisan. Pohon-pohon minyak kayu putih yang dulu menjadi sumber kekayaan akan mulai tergerus hingga ke akar-akarnya.

Emas juga membawa perubahan sosial. Rumah tangga retak, penyakit-peyakit baru bermunculan, bersama dengan peristiwa kriminal yang dulu tidak pernah ada. Emas juga memicu sifat rakus dan tamak yang tiada habis. Membuat kaum remaja berhenti sekolah. Tetapi hanya itu pilihan yang ada di kepala mereka yang biasa merambah hutan.

Saya pikir secuil kisah di Pulau Buru ini bukanlah khas masalah di satu lokasi, melainkan kisah pembangunan yang ditinggalkan negara sebelum masalahnya tuntas. Utang-utangnya belum dibayar dan masalahnya tak ditangani secara terpadu. Bila ini negeri merdeka, maka kebebasan saja tidak cukup. Dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang melahirkan bangsa yang bermartabat, cerdas, damai, adil, dan sejahtera seperti amanat para pejuang kemerdekaan. Bisahkah masalah ini diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri? Saya pun meragukannya.

Kalau kita ingin swasembada beras, dan kalau kita ingin masalah pangan teratasi, jelas dibutuhkan sebuah ketegasan dan langkah yang terpadu. Jadi jangan abaikan Pulau Buru.

Rhenald Kasali
founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *