Sudah pasti ada harapan perubahan di hati sanubari para pejuang dan proklamator saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Seperti Abraham Lincoln yang berjuang menghapuskan perbudakan dan Martin Luther King yang menghapuskan tradisi “segregasi” di Amerika Serikat. Atau seperti Nelson Mandela yang rela dipenjara 27 tahun, namun tetap mengumandangkan politik inklusif setelah meraih kemerdekaan di Afrika Selatan. Maka para proklamator Indonesia pun memimpikan sebuah negara baru yang adil, bermartabat, damai, dan sejahtera. Untuk mencapai itulah diperlukan semangat perubahan.
Kemajuan, kesejahteraan, dankeadilantakmungkin didapat tanpa semangat (spirit) perubahan. Sebab, perubahan berarti melawan rasa nyaman, puas diri, kebiasaan-kebiasaan atau tradisi lama, dan kepentingan- kepentingan sempit. Tak dapat dimungkiri kita tengah hidup dalam abad persaingan. Siapakah yang akan keluar sebagai pemenang dan apakah pilihan yang bisa diambil para penerus kemerdekaan?
Semangat Perubahan
Perjalanan bangsa-bangsa memasuki dunia baru selalu menarik untuk dipelajari dan dicari benang merahnya. Indonesia di abad ini adalah sebuah negeri yang diramalkan akan menjadi kekuatan ekonomi nomor enam dunia pada tahun 2030 (Standard Chartered Bank). Tetapi benarkah kita akan mampu mengalahkan Jerman 17 tahun dari sekarang kalau cara berpikir dan bekerja kita masih seperti ini?
Jangan lupa, pada abad ke-17 Cina dan India pernah diramalkan akan menjadi dominant global power pada tahun 2030– 2050 (Ruchir Sharma, 2013). Itu terjadi ketika para ekonom di tahun 1600 menghitung pendapatan nasionalnya yang telah mencapai seperempat dari total pendapatan global, sedangkan India sedikit di bawahnya. Namun, 40 tahun yang lalu, dalam bingkai “Tirai Bambu”, dunia sama sekali tidak melihat masa depan ada disana.
Baru pada abad ke-21, semua mata tertuju ke Tiongkok dan memindahkan pabriknya ke sana. Itu pun tidak berlangsung lama karena dunia berubah terus. Sebulan yang lalu, ekonom penerima Nobel, Paul Krugman, di harian The New York Times (18/7/2013) mempertanyakan kesahihan data-data ekonomi yang disajikan Pemerintah Cina untuk menarik investasi asing. Seperti tersadarkan, Krugman mengutuk kapitalisme Cina yang tidak disertai keterbukaan informasi, kebebasan berbicara, dan kritik pers. Sehingga data-data yang disajikan sulit diketahui kebenarannya. Krugman mengatakan, “Chinese data are even more fictional than most.”
Kapitalisme tanpa demokrasi itu dinilai sebagai kontributor misteri kejatuhan ekonomi Tiongkok yang berjalan tanpa umpan balik. Ekonomi itu baru belakangan diketahui tidak balance, angka konsumsi domestiknya begitu rendah. Tidak sesuai dengan pertumbuhan investasi sehingga memunculkan perilaku spekulatif yang gagal membaca market signal. Cina dikelilingi ribuanghostcity, lautan properti mewah tanpa pembeli yang mengancam perputaran ekonomi nasional.
Sementara itu, Amerika Serikat yang lima tahun lalu dilanda krisis kini justru mulai bangkit. Apalagi sejak ditemukannya teknologi untuk mengambil gas dan minyak yang terperangkap di dalam batu (shale gas dan shaleoil). Dengan sumber energi murah, Amerika bisa kembali mendikte dunia. Tetapi satu hal yang dapat dipelajari, kesulitan bukanlah akhir dari segalanya.
Bangsa-bangsa merdeka selalu mengupayakan keunggulan, meski hanya temporer, spiritnya adalah perubahan dan keluar dengan solusi-solusi baru. Sedangkan yang terpuruk, terperangkap dalam pemikiran-pemikiran lama yang tak relevan sambil mengutuk masa depan itu sendiri.
Perubahan untuk Menang atau Tidak Kalah?
Bangsa-bangsa yang unggul tentu saja bukanlah mereka yang “bermain” untuk sekadar hadir. Dalam abad persaingan ini, persaingan mempunyai pola permainannya sendiri. Ada bangsa yang bermain sekadar agar tidak kalah (play to not lose), bermain aman. Namun, pemenangnya selalu mereka yang memiliki semangat bermain untuk menang.
Keduanya dibedakan dengan jelas dalam psychology of competition. Yang pertama melakukan aneka upaya hanya untuk memproteksi kekayaan dan mencegah kerugian. Namanya juga memproteksi, sudah pasti berarti mengurung diri, mempertahankanold legacies. Akibatnya senang bertengkar urusan yang tidak penting. Ini berbeda dengan prinsip play to win yang datang dengan spirit investasi, maju ke depan, berani mengambil risiko, memulai hal-hal baru yang belum tampak, namun diyakini bisa menciptakan keunggulan baru.
Minimal menghasilkan keterampilan bagi diri (bangsa) sendiri. Saya ajak Anda melihat pertarungan dua negara tetangga yang jauh lebih sengit dari sekadar antara kita dengan Malaysia atau Singapura. Ambil saja antara Korea Selatan dan Jepang. Dua bangsa bebuyutan yang memiliki luka sejarah yang perih. Rivalitas di antara kedua bangsa ini terasa dalam berbagai areakehidupan. Tak dapat dihindarkan saling mencuri gagasan, meniru, dan saling mengakui produk budaya milik warisan masing-masing.
Namun, rasa pahit yang lebih besar dirasakan bangsa Korea yang pernah dijajah Jepang. Rasa pahit itu masih sering diungkapkan hingga hari ini di Korea sampai Korea meraih self confidence-nya. Namun, siapakah yang keluar sebagai pemenangnya di abad ke-21 ini? Di abad ke-20 Jepang keluar sebagai pemenang. Tetapi begitu dihajar krisis, sejak 1990- an hingga hari ini Jepang tidak mampu keluar dengan solusisolusi kreatif. Sebaliknya, Korea justru keluar dengan aneka produk baru dan pertumbuhan yang mengesankan.
Jepang adalah bangsa yang terperangkap dalam old legacies dengan produk-produk dan corporate masa lalu. Ketika terjadi krisis, Jepang memilih untuk “menyelamatkan” perusahaan-perusahaan yang bangkrut, sementara Korea Selatan dengan cepat mengambil langkah amputasi. Korea Selatan adalah model bangsa dengan semangat perubahan, a model of change. Sedangkan Jepang menjadi “a symbol of the status quo”. Perhatikanlah siapa yang menjadi pemenangnya.
Pertama, Korea Selatan keluar dengan industri kreatif yang amat mengesankan (K Pop) yang memberi kontribusi ekonomi dan budaya yang penting. Padahal Jepang memulainya sudah lebihdulu. Kedua, Koreamelakukan transformasi dari produk-produk me-too yang murah ke produk-produk berteknologi tinggi dan menjadi global leader dalam industri baja, petrokimia, dan perkapalan. Ketiga, di dalam Jepang sendiri muncul nama Masayoshi Son, billionaire entrepreneur yang sangat disegani, yang ternyata imigran keturunan Korea.
Setiap kali kita melihat bangsa- bangsa yang maju selalu ditemui rivalitas yang memberikan hasil yang berbeda seperti antara Prancis dan Inggris, Korea dan Jepang atau Afrika Selatan dan Zimbabwe. Di bawah Robert Mugabe, Zimbabwe justru memilih terkurung di masa lalu. Dia mengusir kekuatan asing dan terperangkap dengan dendam perjuangan masa lalu. Ketika Afrika Selatan berhasil keluar sebagai negara demokrasi yang perekonomiannya tumbuh mengesankan, Zimbabwe ternyata tetap terkurung dalam diktatorisme, kemiskinan dan konflik. Indonesia, juga memiliki rivalitas yang serupa di kawasan ASEAN dengan saudara-saudaranya.
Tak tertutup kemungkinan kita bisa terperangkap dalam masalah yang dihadapi Jepang atau Zimbabwe. Tetapi kalau ingin mencapai cita-cita kemerdekaan, kita pun harus berubah. Keluar dari kotak lama, out of the odds dengan spirit perubahan. Keluar dari impian-impian dan lagu-lagu lama, yang seakanakan kita masih kaya tanpa masalah dengan sumber daya alamtanpamenyadarisemuaitu telah dan akan berakhir. Ayo berubahlah.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan