Dua orang anak kecil menghampiri saya di dekat Rumah Perubahan hari Lebaran kemarin. Sambil duduk di bawah (karena saya sedang mengangkut sampah), yang satunya berujar, “Pak, katanya dia belum lebaran sama bapak.”
Saya segera mengerti dan mengulurkan tangan. Dari saku saya masih ada beberapa lembar uang sepuluh ribuan, saya pun memberikannya kepada dua anak itu. Muka mereka terlihat gembira, lalu kami mengobrol. Tidak lama, hanya beberapa menit. Mereka lalu pamit. Juga tidak lama. Karena setelah itu mereka datang dengan mengunyah jajanan yang terbungkus kemasan yang banyak gelembung anginnya.
Itulah suasana di kampung saat Lebaran. Semua orang siap membagi uang receh yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Ada seribuan, lima ribuan, sepuluh ribu hingga duapuluh ribu. Bahkan ada yang sampai limapuluh ribuan. Karena rumah saya terletak di kampung, dekat mushola pula, maka selepas shalat ied, rumah kami menjadi salah satu tujuan silaturahmi yang pertama dikunjungi warga kampung.
Suasanya persis seperti hari Natal di kampung Tugu – Cilincing sekitar 20-30 tahun yang lalu. Bedanya, di kampung Tugu, dulu anak-anak muda datang ke rumah-rumah bernyanyi sambil membawa gitar. Menyalami keluarga-keluarga yang lebih tua.
Uang Receh
Berapa besar uang receh yang disedot masyarakat menjelang lebaran? BCA Cabang Utama Ahmad Yani Makassar menyediakan Rp 9,1 miliar , Bank Indonesia Sulawesi Tenggara Rp 800 miliar, sedangkan di Purwokerto Rp 2,7 triliun.
Saya pernah menghitung total uang yang dibawa mudik masyarakat selama lebaran, sekitar Rp 55 triliun. Tetapi ini mungkin bisa lebih. Kata seorang warga nergara Indonesia yang tinggal di Australia, “hidup di Indonesia itu banyak jackpot-nya.”
Mereka membandingkan dengan kehidupan di Australia yang rutin, datar, serba pasti dan “sudah jelas takarannya”. Maka di sana tak banyak uang receh yang berputar. Lebaran ya makan lontong dan opor ayam, tanpa uang receh buat anak-anak.
Uang yang mereka punya tertata, terkelola dengan baik. Semua sudah dialokasikan, masing-masing dengan profesional yang berbeda-berbeda. Begitu uang masuk, semua serba digital, tak banyak uang fisik (kartal atau giral). Jadi para pegawai hanya menyimpan catatan. Lalu alokasinya sudah jelas, untuk investasi dalam human capital (modal insani). Apa saja?
Intinya modal insani itu sebenarnya hanya dua, yaitu pendidikan dan kesehatan. Jadi dipakai untuk persiapan sekolah anak-anak, bayar biaya kursus, asuransi kesehatan dan sejenisnya. Namun tentu saja mereka punya hutang: bayar mortgage rumah, biaya listrik, cicilan mobil dan kartu kredit. Semua orang adalah investor bagi dirinya masing-masing agar produktif dan laku di bursa tenaga kerja.
Sebaliknya di sini, di Indonesia, belum banyak yang memiliki kesadaran itu, uang yang beredar memang masih banyak yang sifatnya uang receh yang tak cukup dipakai untuk membayar uang kuliah. Tetapi jangan lupa, setiap anak bisa mendapatkan 10 hingga 20 kali lipat dari tetangga-tetangganya di kala lebaran.
Kalau dikumpulkan, sebenarnya ini bisa menjadi modal insani yang baik. Tentu saja tidak 100 persen. Sebut saja 70 persen, sebab anak-anak butuh jajan, rekreasi dan senang-senang bersama teman-teman.
Masalahnya, warung ada di mana-mana dan semakin dekat dengan rumah, sedangkan bank jauh-jauh dan orang tua tak cepat menampung uang receh menjadi tabungan. Celengan semar buat nabung sudah tidak zamannya lagi. Lalu Tabanas dan Taska yang dulu jadi andalan bank sudah hilang ditelan zaman.
Bank bersaing, tapi bank tak punya akses untuk kaum miskin yang serba informal. Bank terkesan lebih senang membidik segmen prioritas yang wangi dan bening-bening.
Penny Wise
Seorang pengusaha datang ke rumah saya. Ia mengeluhkan peribahasa ini: “Hemat pangkal Kaya.” “Itu peribahasa yang menyesatkan!”, ujarnya.
Ia menyatakan begini, “Kalau dari dulu saya hemat-hemat uang saya, tabung terus, apa Anda pikir bisa saya bisa seperti ini?” Ia pun menjawabnya sendiri. ”Tidak bisa, tidak mungkin bisa. Hemat itu pangkal kikir, perhitungan, dan dijauhi relasi, ditutup pintu rezekinya oleh Allah.”
Bagi orang-orang lama, berhemat itu berarti “Penny Wise”. Mereka sangat tekun menghitung uang-uang kecil yang dihemat begitu ketat. Namanya juga zaman susah. Seorang pengusaha Cina di daerah Senen mengatakan, “kami hidup serba sederhana, pakai kaos kutang dan celana pendek agar semua modal usaha terus berkembang. Encek-encek makannya hanya bubur encer agar hidup hemat,” ujarnya di tahun 1980-an, saat saya ditugaskan meliput gusuran di daerah Segitiga Senen oleh majalah berita Jakarta-Jakarta.
Tetapi orang Inggris mengatakan, “Penny Wise (is) Pound Stupid”. Yang artinya, berupa sindiran pada orang-orang yang terlalu usil mengurus uang-uang receh, padahal peluang-peluang besar yang kualitasnya lebih besar (poundsterling) justru diabaikan.
Seperti ibu-ibu yang gemar menawar dengan memeras habis saat belanja di pasar pada para pedagang kecil yang pakaiannya saja kumuh. Harga sayur seikat ditawar terus meski hanya selisih Rp 500 atau Rp 1.000. Padahal ia bisa membeli sedan atau tas lux tanpa menawar.
Jadi apa kesimpulannya?
Pertama, negeri ini banyak jackpot-nya, banyak uang recehnya, tetapi belum terkelola dengan baik. Selama angka konsumsi tidak seimbang dengan besarnya investasi, berarti ekonomi Indonesia masih punya ruang untuk dibenahi.
Kedua, jackpot itu mengalir dalam benuk recehan yang kalau dikumpulkan dapat menjadi kekuatan yang besar untuk membangun modal insani keluarga-keluarga muda Indonesia.
Ketiga, hemat itu boleh saja, tapi kalau menjadi kikir orang akan susah sendiri. Kaya atau miskin itu bukanlah soal jumlah uang atau harta yang mengendap, tapi soal rasa, soal kemampuan berbagi.
Keempat, prinsip investasi bukan berarti menyimpan dan membuat uang tertidur. Perlu cara-cara bijak yang sehat mengembangkan ekonomi keluarga, berbagi pada tempatnya, mencari uang juga pada tempatnya. Kalau Benjamin Franklin mengatakan, “A Penny Saved is A Penny Earned”, maka saya lebih ingin mengutip peribahasa ini:
“Find a penny. Pick it up, and all the day you’ll have good luck. Find a penny, pick it lay, and you’ll have bad luck all the day.”
Yang beruntung mengembangkannya, yang hidupnya menderita menguburkannya karena beranggapan uang receh itu tak berguna, tak berkekuatan besar. Itulah filosofi uang receh.
Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan