Misteri Kejatuhan Ekonomi Tiongkok (2) – Jawa Pos 7 Agustus 2013

Saat kolom ini ditulis, sebagian besar pembaca telah berada di kampung halamannya masing-masing. Memang membicarakan soal mudik, silatuhrahmi,  atau belanja lebaran bisa jadi jauh lebih menarik. Namun karena ekonomi Tiongkok begitu besar pengaruhnya bagi kita, saya memutuskan untuk melanjutkan saja kolom yang saya tulis minggu lalu.  Saya dengar banyak orang Jawa Timur yang mempunyai investasi di sana, dan sebagian lagi menjadikan Tiongkok sebagai pasar sasaran ekspor atau sumber mencari bahan baku serta mesin.

Pertumbuhan yang melambat telah membuat semua mata mengecek kembali kelayakan berwirausaha, berdagang atau berbisnis dengan Tiongkok. Akhirnya segala teori yang selama ini diabaikan mulai diperiksa kembali: salah satunya adalah pandangan dalam “structural inflation”. Dan sepertinya pandangan ini penting juga kita renungkan  di sini, yaitu “Perintang GDP Perkapita USD 4.000”.  Semoga bencana yang sama tak akan terjadi di sini.

Structural Inflation

China mencapai pendapatan perkapita sebesar itu pada tahun 2010. Indonesia mencapainya pada tahun 2013. Tiga ribu dolar adalah patokan bangkitnya UMKM serta bisnis kuliner, sedangkan 4000 dolar adalah patokan kebangkitan industri.  Pertanyaannya, mampukah suatu bangsa melanjutkan momentumnya menjadi negara besar, seperti ramalan-ramalan dunia bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 6 dunia di tahun 2030?  Jangan lupa, pada tahun 1700-an ramalan serupa pernah diberikan pada Tiongkok, tapi pada tahun 1900-an dunia begitu kecewa membaca hasilnya.

Nah apa yang membuatnya terhambat adalah pandangan structural inflation, yang mengatakan, begitu pendapatan perkapita suatu bangsa menyentuh USD 4.000, akan terjadi lonjakan harapan kenaikkan upah buruh. Kenaikkan yang melonjak itu mestinya muncul sebagai indikasi terjadinya labor shortage. Karena buruh-buruh yang berkualitas menjadi rebutan dengan kehadiran industri-industri baru. Maka wajar perusahaan menaikkan tawarannya untuk mempertahankan buruh yang terampil dan loyal.

Investor-investor baru tentu tak menginginkan mendapat buruh berkualitas rendah, maka merekapun meningkatkan tawarannya. Ini berakibat terjadi lonjakan biaya produksi yang lalu mengurangi daya saing ekspor. Dan sekali ada yang menawarkan lebih, yang lain (termasuk yang unskilled) akan menuntut “keadilan” melalui pemogokkan.

Maka pertumbuhan tinggi yang dicapai oleh bangsa-bangsa yang perekonomiannya sedang tumbuh pun mengalami koreksi. Dari 7-9 %, bisa menjadi hanya 4-5 %. Bahkan bila serikat pekerjanya semakin kuat dan kelas menengahnya lebih mapan lagi, bisa mencapai pertumbuhan 3 % saja sudah menarik. Itulah yang dilihat para ekonom yang terjadi di Jepang sejak 1970-an, disusul oleh Korea Selatan dan Taiwan, serta diramalkan akan terjadi di Tiongkok.

Unbalanced Economy

Peringatan terhadap kelambatan pertumbuhan ekonomi Cina sebenarnya pernah diingatkan oleh banyak tokoh selain penerima hadiah Nobel Paul Krugman. PM Tiongkok, Wen Jiabao pada tahun 2008 pernah mengingatkan, “ekonomi kami seperti tengah bergerak di atas rel kereta yang unbalanced, uncoordinated and unsustainable.”

Beberapa tahun terakhir ini, misalnya konsumsi rumah tangga domestik tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan investasi. Ini beda benar dengan keadaan di Indonesia yang justru sempat disiniskan oleh para ekonom (dengan tingginya konsumsi domestik).  Dan ketika labor cost  di Tiongkok meningkat, permintaan dunia barat terhadap barang-barang buatan Tiongkok pun merosot dan membuat Cina harus membuang produk-produk itu ke negeri tetangga termasuk ke sini. Tetapi di lain pihak, pengurangan permintaan dunia itu juga berakibat penurunan cadangan devisa.

Padahal saat dunia Barat dilanda krisis keuangan (2008), pemerintah Cina meresponsnya dengan paket stimulus sebesar 12 triliun yuan (USD 1,9 triliyun) dalam bentuk pinjaman bank dan USD 600 miliar pengeluaran fiskal untuk mengerakkan ekonomi. Sayangnya, mereka tak belajar dari apa yang terjadi di Barat. Stimulus itu jatuh ke tangan para spekulator yang membangun bisnis property secara besar-besaran.

Minggu lalu kalau Anda sempat menonton Discovery Channel, Anda pasti sempat menyaksikan tayangan yang berjudul “Ghost City”. Reporter televisi menunjukkan kota-kota yang sama sepinya seperti yang dialami Amerika Serikat, tak lama setelah mereka dilanda Subprime Mortgage CrisisProperty yang dibangun besar-besaran di kota Zheng Zhou, lengkap dengan South China Mall yang dirancang untuk jutaan penduduk misalnya, hanya ditinggali 30 ribu manusia yang dulu adalah petani. Daya beli tak ada, kekuatan demografinya juga lemah.  Sepinya sama seperti Brunei Darussalam yang hanya memiliki dua buah bangunan mal dan dua buah masjid berkubah emas.

Cina benar-benar seperti tengah terperangkap dalam sebuah kubangan ekonomi yang tiba-tiba membelalakkan mata kita.   Elemen-elemen antarinstitusi pemerintah ternyata saling berjalan sendiri-sendiri. Persis seperti hubungan antarlembaga di berbagai negara berkembang. Ini tentu peringatan penting bagi Indonesia yang belum kunjung tobat mengurangi tumpang tindih  antarfungsi yang mengakibatkan pembangunan tak terkoordinasi dan unbalanced.

Akhirnya misteri kejatuhan ekonomi Cina pun tampak dalam monumen-monumen mercusuarnya. Dulu orang mengira semua itu simbol kemakmuran. Namun kini ia justru dipertanyakan. Salah satunya adalah Maglev, yaitu kereta supercepat Cina yang melaju lebih cepat dan Shin Kan Zen (Jepang). Maglev, yang berarti Magnetic Levitation itu dibangun sebuah negeri yang pendapatan perkapitanya baru mencapai USD 5.000.

Ini cukup menjadi hiburan bagi rakyat dengan tarif USD 8-13. Padahal Inggris dan Jerman baru berani meluncurkan Maglev saat pendapatan perkapitanya menembus USD 10.000. Itupun dihentikan saat Eropa dilanda krisis. Pertanyaannya, bagaimana nasib Maglev di Cina, bila krisis itu benar-benar menjadi kenyataan dan menembus tembok Cina?  Tak banyak yang mengerti. Bahkan banyak yang mulai berani mengutak-atik kebenaran perhitungan ekonomi makronya yang selama ini menjadi acuan investasi bagi negara-negara maju.

Setelah memindahkan hampir semua pusat industrinya ke Tiongkok, para ekonom dunia seperti tengah terbangun.  Semua baru menyadari ternyata data yang dipegang masing-masing bangsa terhadap pengukuran yang sama  mengandung kebenaran yang tidak sama.  Inilah tantangan dunia tahap berikutnya, dan menjadi persoalan bila ekonomi Tiongkok kini benar-benar terpuruk.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *