Setiap memasuki tahun ajaran baru saya sering tidak bisa tidur lebih awal. Seringkali saya baru bisa tidur pukul 2-3 dini hari mendengarkan cerita-cerita menarik dari istri saya yang mengelola TK dan PAUD di beranda rumah kami.
Ia seperti tak henti-hentinya bercerita bagaimana anak-anak itu ia temukan dan ia bentuk. Ia mengirim ibu-ibu guru binaannya hingga ke pelosok-pelosok kampung sekitar, mengajak orangtua agar menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu. Selalu saja ada cerita yang menarik dan mengharukan. Kalau Anda perhatikan, rendahnya angka partisipasi sekolah pada level pendidikan tinggi dan SMU bangsa ini lebih disebabkan oleh tidak dikirimnya anak-anak itu ke taman kanak-kanak yang bermutu oleh orangtua, yang mengakibatkan rapuhnya fondasi bangsa.
Istri saya membuat taman kanak-kanak, bukan universitas yang buat menghasilkan uang meskipun suaminya profesor dan pasti gampang mencari calon mahasiswa. Sudah begitu digratiskan pula. Teman-temannya suka menyatakan kami ini suami-istri yang sinting. Cari uang banyak-banyak bukan buat beli rumah di Pondok Indah, tetapi buat bikin PAUD di kampung, di Pondok Gede. Sudah begitu duitnya nggak ada pula.
Kalau pakai teori ekonomi seperti yang saya pelajari, ini pun pasti tidak lulus diuji di UI. Gedungnya dibuat bagus, guru-gurunya banyak, satu guru untuk 8 – 10 murid. Setiap jalan-jalan atau besuk anak ke luar negeri, yang diborong hanyalah alat-alat edukasi dan buku cerita anak-anak. Padahal anak-anaknya sudah duduk di bangku kuliah.
Tetapi saya mau bilang sama Anda, anak-anak itu butuh kita, butuh orang tua yang menaruh perhatian. Seperti kata Bill Gates, “Anak-anak adalah penyita waktu terbesar saya”.
Kisah Ali
Ali bukan nama sebenarnya. Beberapa waktu lalu Ia diantar orang tuanya untuk masuk TK. Orang tuanya adalah pasangan muda yang bekerja keras. Ibunya seorang guru yang mengajar di beberapa tempat. Sewaktu mengantarkan anaknya, ia mengatakan bekerja sangat keras mengumpulkan uang buat masa depan anak-anaknya. Tetapi sewaktu datang, istri saya melihat anak ini susah diajak berdiri. Ia terlihat begitu cepat merosot ke bawah, mudah menangis, dan berteriak.
Istri saya segera menangkap signal. Ia pun mengobservasi anak ini beberapa hari, sampai akhirnya menemukan anak ini punya masalah dalam motorik kasarnya. Ia pun segera mengajak guru-guru untuk cepat menangani Ali. Anak ini usianya sudah 5 tahun, namun secara motorik ia punya masalah masa depan.
Di Rumah Perubahan kami mempunyai pendapat lebih baik anak-anak gagal sekali dalam hidupnya daripada ia gagal selama-lamanya. Istri saya pun ingat kalimat itu. Ia pun memanggil orang tua dan memeriksa laporan-laporan perkembangan anak itu yang dikeluarkan sekolah sebelumnya. Semua tertulis begitu bagus, namun ia berpendapat lain. Ia lalu meminta catatan-catatan medik anak itu. Perlahan-lahan terungkap, bahwa anak ini masuk kategori berkebutuhan khusus sehingga perlu ditangani dengan perhatian lebih. Orang tuanya menangis. Tetapi suatu hal yang jelas adalah: banyak orang tua yang berpura-pura tidak tahu bahwa anaknya punya masalah.
Masalah itu bukan untuk ditutup-tutupi. Juga bukan untuk dijadikan bahan olok-olokan, melainkan sebagai alat untuk membentuk masa depan si anak. Setelah itu mereka sepakat untuk membangun kembali motorik kasarnya dari awal. Ini membongkar kembali fondasi yang dulu ditanam seadanya.
Dengan kesepakatan orang tua, Ali lalu dipindahkan pada kelas yang lebih rendah. Ia duduk di PG (play group) meski usianya lebih tua dari yang lain. Dan oleh istri saya ia diberi kompensasi untuk hanya bermain Sentra bahan-bahan alam. Ia mulai diajak belajar merobek kertas. Kalau Anda turut menyaksikannya dan melihat dengan hati, saya percaya Anda pasti akan menitikkan air mata.
Ali terlihat gembira. Mulutnya terbuka. Namun seharusnya di usia segitu, Ali sudah harus bisa memotong kertas sambil melipat lurus. Ali merobeknya sambil berteriak. Ketika diberi titian di atas batu yang memanjang, Ali terlihat lepas. Ia mulai belajar berdiri. Ia diberi dispensasi bermain tanpa alas kaki berbeda dengan teman-temannya. Ia diajak bermain, berlari di atas rumput yang masih dibasahi embun pagi. Ia terlihat riang dan berteriak, kendati teman-temannya merasa aneh. Teman-teman Ali, dengan metode Sentra, sudah terbiasa diajak saling memberi dukungan.
Dalam seminggu Ali terlihat mengalami “keterlepasan”. Seolah ada sesuatu yang menekan hidupnya. Dan untuk membangun masa depan kita memang harus berani berubah dari hal-hal yang mendasar.
Saya bisa bercerita panjang lebar bagaimana Ali belajar merubah masa depannya di TK/ PAUD Kutilang Rumah Perubahan. Tetapi cerita ini mungkin juga ada di rumah Anda, di sekitar Anda. Betapa banyak anak-anak yang merindukan masa depannya dari orang-orang tua penuh kasih sayang. Anak-anak seperti ini belum membutuhkan calistung (baca-tuli-berhitung) seperti yang sering dipergunjingkan orang tua di depan sekolah yang membangga-banggakan anak-anaknya. Anak seakan-akan hebat sudah bisa membaca, berhitung, berbahasa Inggris, menghafal ayat, peta dunia dan sebagainya. Padahal ada fondasi yang rapuh, yang sering luput dari perhatian kita. Dan itu hanya bisa dilihat dengan hati, dengan kepedulian.
Motorik kasar dan halus butuh perubahan sebelum mereka mengenal hal-hal besar yang sering diributkan guru-guru besar hebat saat mendebatkan kurikulum. Saya ingin mengajak Anda mengulurkan tangan, meminjamkan kecerdasan untuk membantu mereka, bukan untuk adu ideologi, apalagi adu kelihatan pintar.
Anda tentu bisa bergabung dengan kitabisa.co.id untuk meminjamkan kepintaran Anda, untuk ikut melakukan perubahan. Karena di luar sana ada banyak anak-anak berkebituhan khusus yang perlu bantuan. Mereka kini sebagian sudah dewasa, sedang berpeluh keringat memasak minyak kayu putih di Pulau Buru, belajar di terminal dan lain sebagainya. Sebab perubahan itu memang butuh kolaborasi besar-besaran. Anak-anak kita pasti butuh kasih sayang kita, dan Andapun pasti bisa.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan