Karena jarang membeli barang mewah maka saya meng-iyakan saja saat menerima titipan seorang teman untuk membelikan dompet bermerek LV di kota Paris. Diantar oleh seorang sahabat yang menetap di dekat museum Monet, kami memasuki gedung pertokoan Lavayette. Tetapi begitu sampai disana saya tertegun. Antrian sudah begitu panjang. Istri saya membutuhkan waktu 2 jam untuk masuk ke dalam toko. Dan diantara pengunjung, saya pastikan 25 persen diantaranya berpaspor Indonesia dengan logat Tionghoa Surabaya dan sebagian Jakarta.
Apa yang terjadi ketika barang-barang lux, merek-merek prestisius menjadi biasa dan bisa dimiliki banyak orang? Inilah yang disebut era fluxury.
Lihat Tasnya
Di televisi kita sudah biasa melihat artis-artis memamerkan tas-tas bermereknya. Tas limapuluh juta rupiah ternyata sekarang bisa dibeli oleh orang-orang kaya biasa. Di Kalimantan, seorang teman membuka butik tas mewah mengaku kewalahan melayani ibu-ibu pejabat dan pengusaha. Semakin mahal semakin membuat kalangan berduit bersemangat.
Tetapi di Bali, di Vila Royal Pita Maha yang eksotis, petugas penjemput yang ditugaskan di Bandara punya cara sendiri mengenali tamu-tamunya. Kalau mereka datang dengan private jet, lumrah lah bila tasnya bermerek mahal. Juga kalau mereka menenteng tas tangan mewah. Nah yang perlu diwaspadai justru mereka yang naik pesawat penumpang, namun koper-koper besar bermerek mahal dimasukkan ke dalam bagasi. Mereka ini pasti bukan orang biasa. Kalau luarnya saja sudah bermerek, bagaimana yang didalamnya?
Begitulah training yang diberikan oleh sebuah hotel butik untuk mempelajari karakter tamu-tamunya. Dan semakin hari semakin banyak kita temui temui orang-orang yang mampu memiliki luxury goods dan menjadi semakin biasa.
Kalau sudah semakin biasa, ini tentu sudah bukan lux lagi bukan? Di pesawat terbang, kalau Anda duduk di business class selama liburan tidaklah senyaman hari-hari biasa. Di situ Anda akan bertemu berbagai kalangan yang anak-anak kecil. Benar! Bayangkan, anak-anak usia 8 tahun duduk di business class seperti seorang taipan, ditemani beberapa orang baby sitter. Itulah Fluxury.
Moving Target
Jadi fluxury merupakan evolusi dari luxury, yang dibentuk oleh flux, pertumbuhan yang terjadi terus menerus. Dalam sebuah paper yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga riset disebutkan dunia yang terus berubah, bukan hanya permintaan yang bergerak, melainkan juga definisi, “ nothing is more flux than the meaning of the word luxury.”
Fluxury adalah sebuah market insight yang perlu dipahami. Kalau tidak produk-produk bisa turun kelas. Bukankah distributor Anda selalu bilang harga jual belum bisa naik. Atau anak buah Anda akan menyatakan harga segitu sudah kemahalan, susah menjualnya. Demikian juga dengan para politisi yang ditertawakan kelas menengah karena memberikan mereka subsidi yang tidak mereka butuhkan. Ambil saja contoh subsidi BBM yang dipakai untuk jalan-jalan membeli sate di Tretes (dari Surabaya) atau makan bandeng bakar Pak Elan di Gresik. Barang subsidi dipakai untuk bersenang-senang.
Jadi diperlukan langkah-langkah berani, walaupun tindakannya nanti biasa-biasa saja, pasti ada sesuatu yang menyegarkan. Intinya adalah mengembalikan kembali merek dalam cahaya baru. Bayangkan saja Anda adalah smart consumer, Anda keluarkan uang puluhan juta rupiah, tetapi banyak orang bisa memiliki juga. Bukankah ini tidak smart? Tetapi snob. Meski mahal dan banyak yang bisa membeli, ya dibeli saja. Larut dalam antrian.
Smart consumer, biasanya menghendaki “sesuatu” yang melebihi ekspetasinya. Kemewahan misalnya, bukan lagi ada di hotel bintang lima atau di pusat kota seperti hotel Grand Hyatt, melainkan sangat mungkin dikreasikan di tengah-tengah perkampungan yang menyatu dengan penduduk. Insight dari fluxury mengajarkan konsumen cerdas mencari sesuatu yang menghadirkan “experience that no one has.”
Saya banyak menemukan fakta-fakta yang demikian di pendopo saya yang benar-benar terletak di tengah-tengah kampung. Sama halnya dengan hotel-hotel mewah yang saya temui di kota pedesaan Ubud. Bahkan dulu banyak eksekutif yang mengeluh saat diberi kamar yang sangat mahal di Ubud. Jalannya kecil, tak ada musik-musik keras keluar dari grup band seperti yang sering anda temui di Seminyak atau Kuta. Tetapi itulah fluxury, kemewahan dari kesunyian. Dan sekarang, turis yang menginap di vila-vila di dalam Kampung Seni Ubud diketahui bukanlah backpackers murahan atau eksekutif pasaran. Mereka yang datang ke Ubud umumnya datang dengan private jet, mereka adalah artis-artis Hollywood, CEO Internasional, diplomat terkenal, penulis besar dan seterusnya.
Para pengembang fluxury bisa memanfaatkan banyak elemen mulai dari mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, mengelevasi spirit eksentrik, memperjuangkan kebahagiaan, ekspresi “me” (it’s all about me”) dan mengangkat kembali antusiasme.
Ada banyak cara mengembalikan spirit kebahagiaan. Kalau seseorang sanggup menyeret koper mahalnya di tengah-tengah padang pasir, maka sudah pasti benda itu bukan lagi luxury, melainkan fluxury. Mereka membawanya bukan karena merek, melainkan kebahagiaan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan