Hari Rabu saya menjadi pembicara dalam forum alumni Asian Productivity Organisation (APO) di kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. APO merupakan sebuah organisasi antarpemerintah di kawasan Asia Pasifik yang bertujuan meningkatkan produktivitas di negara anggota. Ada 20 negara yang menjadi anggota organisasi yang berdiri pada 11 Mei 1961 itu. Sementara Indonesia sudah menjadi anggota APO sejak tahun 1968. Selain menjadi anggota APO, Indonesia juga menjadi anggota pada 82 organisasi internasional yang terbagi dalam 3 kategori yaitu organisasi-organisasi dalam sistem PBB (seperti ILO dan WHO), non PBB dan ASEAN. Total biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar seluruh iuran disampaikan Kementerian Luar Negeri sebesar Rp 215 miliar (2011).
Dari forum itu, saya mendapatkan sebuah fakta yang mengejutkan bahwa Indonesia terpaksa harus menunggak iuran keanggotaan APO dengan alasan persetujuan dari DPR dan Pokja mempertanyakan benefit dengan menjadi anggota APO. Pokja ini terdiri dari wakil-wakil dari unit Eselon II di berbagai instansi pemerintah. Pokja inilah yang memberikan masukan sehingga Indonesia kemudian menolak usulan kenaikan kontribusi keanggotaan APO yang semula USD 424.085 menjadi USD 606.298 . Iuran keanggotaan tetap sebesar USD 424.085.
Daya Saing dan Produktivitas
Iuran ke APO sebesar itu sebenarnya setara dengan iuran tahunan Indonesia kepada UNESCO. Secara keseluruhan, iuran yang dibayar Indonesia pada lembaga-lembaga di bawah PBB mencapai USD 7 juta per tahun. Namun sebenarnya dengan membayar iuran keanggotan APO itu, Indonesia mendapatkan banyak manfaat yakni peningkatan produktivitas melalui berbagai pelatihan, kajian ilmiah, seminar, survei, bantuan tenaga ahli dan lain-lain. APO juga bisa mendorong kerjasama bilateral dan multilateral untuk kolaborasi aktivitas yang berkaitan dengan produktivitas. APO juga bisa bertindak sebagai penasihat untuk penyusunan strategi-strategi dalam rangka mendorong produktivitas dan daya saing.
Daya saing ini menjadi sangat penting mengingat peringkat daya saing Indonesia berdasarkan penilaian World Economic Forum (WEF) turun ke posisi 50. Padahal tahun lalu Indonesia berada di peringkat ke-46 di tahun. Meski Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan tidak masalah dengan penurunan tersebut, namun sebenarnya hasil penilaian WEF itu harus dicatat sebagai penurunan produktivitas negara ini. Kalau saja produktivitas dapat kembali menjadi perhatian pemerintah, maka tidak seharusnya daya saing Indonesia merosot. Daya saing bukan lah melulu persoalan ekonomi makro, melainkan juga masalah manajemen, pelayanan dan inovasi.
Berapa biaya ekonomi yang harus dibayar Indonesia dengan produktivitas yang rendah itu? Pemerintah mestinya bisa menghitung antara biaya untuk meningkatkan daya saing yang sebenarnya sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang bisa diraih seandainya memiliki produktivitas yang tinggi. Seharusnya pemerintah tidak perlu merasa sayang mengeluarkan dana tersebut jika bisa memperhitungkan besarnya manfaat setelah produktivitas meningkat.
Toh pemerintah juga tidak sayang mengalokasikan anggaran perjalanan dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pada tahun 2012 mencapai Rp 23,9 triliun. Anggaran perjalanan dinas PNS yang terus meningkat dari tahun ke tahun juga tidak terbukti mampu meningkatkan produktivitas mereka. Akan lebih bermanfaat jika kemudian anggaran perjalanan dinas yang menurut BPK banyak terjadi penyimpangan itu dialokasikan untuk hal-hal yang bisa meningkatkan daya saing Indonesia. Biaya perjalanan dinas itu terbukti tidak digunakan untuk perbaikan kesejahteraan karena porsi terbesar justru dibayarkan untuk industri jasa airlines dan hotel.
Hal lain yang perlu dicatat soal penurunan daya saing Indonesia adalah masalah management knowledge terutama terkait kurangnya sharing knowledge. Banyak orang-orang pintar kita yang dikirim ke forum-forum untuk membantu peningkatan daya saing, namun kemudian tidak memiliki wadah untuk membagi ilmunya kepada orang lain yang membutuhkan. Dan jika banyak orang dapat memiliki kemampuan yang sama, tentu saja produktivitas tidak akan menjadi masalah.
SELF PRODUCTIVITY
Dalam hal peningkatan produktivitas, self productivity memegang peranan yang sangat penting. Dewasa ini kita sering melompat dari self development ke knowlede development. Masing-masing individu harus bisa mendorong produktivitas dirinya sendiri. Ia harus bisa menjadi driver untuk dirinya sendiri sebelum akhirnya bisa menjadi driver untuk orang lain.
Bagaimana mungkin ia bisa menjadi seorang driver bagi orang lain jika ia tidak bisa menjadi driver bagi dirinya sendiri. Untuk bisa memunculkan self productivity, seseorang tentunya harus memiliki mental driver, ia harus bisa berpikir, mencari jalan sekaligus mengambil semua risiko. Dan untuk mendapatkan mental driver ini, seseorang harus memiliki kesadaran yang dibentuk oleh self development, mulai dari self discipline hingga self confidence.
Self productivity tidak akan muncul jika bangsa ini hanya dibangun dalam platform mental passenger. Orang yang bermental passenger dibentuk dengan hanya duduk, makan, bercanda atau bahkan tertidur.
Jika kemudian suatu bangsa hanya melakukan transformasi budaya dari human passenger menjadi human driver yang memiliki self discipline dan self confidence yang kuat, maka dipastikan bangsa ini akan bisa mendorong produktivitas dan pada akhirnya bisa timbul produktivitas nasional. Jika hal itu terjadi, bukan tidak mustahil lagi jika kemudian peringkat daya saing Indonesia bisa kembali naik. Tercipta pula para aparat negara, PNS yang bekerja efektif dan produktif bukan PNS yang sekedar datang siang, absen dan pulang cepat.
.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan