Perjalanan Dinas – Sindo 17 Mei 2012

Seorang pembaca menulis, kalau dari 4,7 juta PNS menghabiskan biaya perjalanan dinas sebesar Rp 23,9 Triliun (2012), maka rata-rata perorang PNS hanya menghabiskan biaya sebesar Rp 5,1 juta rupiah. Namun yang membuat hatinya tersayat-sayat adalah fakta ketika ia membaca perjalanan dinas 560 orang anggota DPR yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 140 milliar. Kalau dibagi rata, maka setiap orang wakil rakyat yang kaya-kaya dan senang belanja itu menghabiskan sekitar Rp 250 juta.

\”Wajar\” Katanya, \”Bila mereka diprotes mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri.\”

Perjalanan dinas yang besar telah menjadi ciri birokrasi dan kekuasaan pasca reformasi. Di berbagai media kita membaca, anggaran perjalanan dinas terus dicuri orang-orang tak bertanggung jawab dengan tiket-tiket bodong. Namun anehnya, bukan dikurangi, budget ini justru terus diperbesar. Dari rencana semula Rp 2,9 Triliun (2009) menjadi Rp 15,2 Triliun. Lalu hanya selisih dua tahun, angkanya sudah berlipat dua tahun ini menjadi Rp 23 triliun.

Bagaimana bangsa ini mengatasi masalah ini?

Rampingkan Semuanya
Organisasi pemerintahan yang gemuk adalah ciri pemerintahan World 1.0 yang saya bahas minggu lalu, sedangkan di era early globalization yang ditandai dengan desentralisasi dan deregulasi, pemerintahan yang sehat dan pro rakyat tidak memerlukan PNS dalam jumlah besar. Kalau pemerintahan mau sehat dan rakyatnya memiliki daya juang yang tinggi, berikan ruang yang besar pada masyarakat untuk berpartisipasi. Inilah ideologi pemerintahan di World 2.0.

Tetapi alih-alih menjadi ramping, di era desentralisasi ini, jumlah pejabat ditingkat pusat justru berlipat ganda. Jumlah pejabat eselon satu dalam beberapa tahun terakhir ini telah berlipat dua. Kalau yang diatasnya berlipat dua, otomatis yang dibawahnya ikut berlipat-  sudah begitu jumlah badan dan komisi-komisi terus bertambah, dan maing-masing menuntut tambahan sekretars jenderal dan deputy yang kedudukannya setara dengan eselon 1. Dan sekarang pun ada eselon 1 dan ada eselon 1A.

Sementara jumlahnya terus bertambah, kualitas layanan tidak membaik. Fungsi pemerintah pusat berkurang tetapi orangnya terus bertambah. Di berbagai daerah, masalahnya juga sama saja. Daerah-daerah terus menuntut pemekaran, dan semua pegawai tidak tetap menuntut di PNS-kan.

Di beberapa propinsi saya menemukan kepemimpinan-kepemimpinan buruk yang mengakibatkan PNS adalah satu-satunya pilihan bagi kaum muda untuk bekerja. Industri tidak digerakkan dan pertanian dibiarkan mati suri.

Padahal sejak tahun 1990-an negara-negara yang perekonomiannya sehat telah mengajarkan kita bahwa pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang ramping. Ramping jumlah orangnya, dan ramping strukturnya. Negara harus bertobat untuk mengurus semua hal kalau tidak bisa mengaturnya. Lebih baik bekerja dengan struktur yang simpel dengan orang-orang terpilih yang diberi gaji besar daripada menjadi semacam lembaga sosial yang menampung pengangguran dengan gaji kecil-kecil sehingga banyak orang mempunyai alasan untuk mengambil penghasilan di luar dari pendapatan resmi.

Pegawai yang besar jumlahnya dengan gaji yang kecil telah mengakibatkan tak ada kontrol dan tak ada pembinaan. Orang-orang yang semula bagus, entah mengapa, setelah lima sepuluh tahun bekerja di birokrasi banyak yang terkontaminasi, menjadi kurang produktif dan tidak disiplin.

Birokrasi telah berubah menjadi organisasi yang sangat gugup dan begitu kuat untuk melayani dirinya sendiri.   Boleh dikata apapun yang dibutuhkan para pegawai ada di tempat setiap kantor kementerian atau badan-badan milik pemerintah, meski tidak merata dan tergantung pada power yang mereka miliki.

Banyak kantor kementerian yang setiap level direktorat jenderalnya memiliki balai diklat sendiri-sendiri lengkap dengan prasarana yang hebat, namun sayang kualitas trainernya maaf, masih perlu  di upgrade kembali. Mereka masing-masing memiliki fasilitas ruang rapat yang bagus, termasuk vila yang besar di puncak, tetapi lebih senang menyewa kamar di hotel. Sebagian kementerian  punya lapangan sepakbola, kolam renang dengan kualitas sedikit di bawah stadion nasional dan tentu saja segudang fasilitas lainnya.

Kalau mau bepergian, urus kenaikan pangkat sampai urus kematian ada seksi pembaca doa.  Semuanya lengkap ada didalam. Pendeknya, Birokrasi memiliki kemampuan melayani atasan sendiri yang prima. Par Excellence.

Namun keterampilan melayani keatas yang berlebihan ini  tidak diikuti dengan kemampuan melayani masyarakat dengan baik. Perijinan dan infrastruktur justru mendapat keluhan terbesar. Belum lagi pelayanan-pelayanan rutin. Prosesnya berbelit-belit, lama dan terkesan kurang orang, kurang dukungan prasarana. Padahal birokrasi kita gemuk dan sudah terlalu banyak orang. Bukankah ini sudah saatnya berbenah?

Evaluasi-Eliminasi

Merampingkan birokrasi memang tak semudah membalikkan tangan. Apalagi ditengah-tengah sistem politik seperti ini akan semakin besar tantangannya. Namun apapun bentuk sistem politiknya saya kira sudah saatnya dilakukan 3E, yaitu Evaluasi, Estimasi, dan Eliminasi.
Inilah saatnya melakukan evaluasi apakah kita ingin terus hidup seperti ini atau berubah. Birokrasi tak bisa diperkuat hanya melalui kepemimpinan perseorangan. Ia harus dibongkar, bahkan dirancang ulang. Evaluasi ini hanya meliputi 3R, yaitu Requirement,return, dan reward. Tetapi dengan sistem dan budaya yang seperti ini, umumnya evaluasi hanya dilakukan untuk mengejar kenaikan imbal jasa (reward), sedangkan kinerjanya (return) dan kualifikasi (requirement) diabaikan.

Para pemimpin hendaknya menyadari bahwa dalam setiap lembaga terjadi tiga hal berikut ini dalam pengelolaan SDM, yaitu abuse, diuse dan misuse. Intinya, hanya ada sedikit orang yang melakukan pekerjaan segudang (abuse) dan ada banyak orang yang kerjanya hampir tidak ada atau terlalu sedikit (disuse). Sementara itu, bagian terbesar pegawai di birokrasi justru mengalami misuse:  Terlalu banyak orang melakukan hal yang salah.

Pengalaman saya di birokrasi menemukan ketiga hal diatas menjadi sangat biasa dalam pekerjaan sehari-hari. Menteri-menteri lebih sibuk mengurusi panggilan parlemen dan melakukan perjalanan dinas atau hal-hal teknis. Tak ada yang memikirkan kelembagaan dan masa depan kementerian. Ketika merasa frustasi, menteri-menteri lalu memilih bekerja dengan staf-staf khusus dan pejabat-pejabat tertentu saja, sedangkan sisanya urus diri masing-masing.

Biaya perjalanan dinas yang membengkak bagi saya adalah sebuah alarm peringatan bahaya, bahkan birokrasi kita telah semakin tambun dan sibuk urus dirinya sendiri. Inilah saatnya untuk meremajakan, melakukan transformasi mendasar untuk menciptakan pelayanan yang lebih baik.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *