Tak banyak pemimpin dan politisi yang mengerti, bangsa ini rindu kemenangan. Hampir setiap detik. Anda pasti melihat dan mendengar kata-kata yang merupakan cerminan dari kerinduan itu. Perhatikanlah penggalan lirik lagu Bola (Slank) yang dinyanyikan dengan semangat memotivasi:
Indonesia.
Indonesia harus menang.
Indonesia yakin menang.
Indonesia pasti menang!…..
Lirik itu diputar televisi berulang-ulang, baik menang maupun kalah. Maka sekalipun Kontingen Indonesia hanya menang kalau bertarung di kandangnya sendiri, rakyatnya pun tetap senang. Aneh memang, begitu melangkah keluar sedikit saja, kita selalu kalah. Ada masalah psikologis dan manajerial yang harus dibenahi di sini.
Secara psikologis, sejak menapak kehidupan, rata-rata anak Indonesia selalu kalah menghadapi gurunya. Guru-guru lebih senang memberi kesulitan daripada dorongan dan harapan. Tak mengherankan bila anak-anak yang \”kalah\” di sekolahnya menyalurkan kekuatannya di jalan lewat tawuran atau di sekolah dengan bulying. Pengalaman saya bersekolah di luar negeri jauh lebih mudah mendapatkan nilai A ketimbang di sini. Apakah ini semua ada hubungannya dengan raport merah kita pada hampir semua index yang mencerminkan posisi kita di dunia global, atau hanya kepemimpinan yang buruk?
Raport Merah
Mari kita lihat index-index merah itu. Pada logistic performance index, peringkat Indonesia 2010 turun dari posisi no 43 ke nomor 75 dari 155 negara, kalah jauh dari Singapura (2), China (13), Malaysia (29), Thailand (35), Filipina (44), dan Vietnam (53). Dari segi kualitas manusia – Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (UNDP) berada pada urutan 124 dari 187 negara, jauh dibawah Malaysia (61). Kita tertinggal di semua sektor. Tingkat harapan hidup orang Indonesia, misalnya, rata-rata adalah 69,4 tahun. Sedangkan Malaysia 74,2 tahun. Begitu juga dengan indeks pendidikan, indikator angka harapan rata-rata tahun sekolah orang Indonesia hanya 0,584, jauh dibawah Malaysia 0,730.
Belum lagi masalah korupsi, Transparancy International melaporkan, persepsi terhadap korupsi di Indonesia mengalami eskalasi yang signifikan. Bila pada tahun 2006 hanya 84% orang Indonesia yang disurvey mengatakan korupsi telah meluas di pemerintahan maka tahun ini jumlahnya naik menjadi 91%. Sedangkan di dunia bisnis angkanya naik dari 75 % menjadi 86%. Demikian pula dengan Bribe Payer Index (BPI 2011) yang memotret praktek suap yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap penyelenggara negara di luar negara domisili pengusaha menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 dari 28 negara.
Meski di saat yang sama FDI yang masuk di Indonesia (2011) mencapai 32.20 persen dari PDB, kemudahan berusaha di Indonesia menurut Doing Business turun dua peringkat ke posisi 129. Wajarlah bila semuanya bermuara pada daya saing Indonesia yang pada tahun ini indexnya ikut turun dari peringkat 44 menjadi 46. Meski menang atau kalah adalah hal biasa, harus diakui ketidakpedulian para pemimpin dan kekonyolan karakter yang dipertontonkan para koruptor dan politisi membuat kita kehilangan role model dan teladan. Kalau ini didiamkan maka bukan mustahil bila rakyatnya frustasi dan mengabaikan instruksi resmi dari negara.
Perangkap Kekalahan
Setiap bangsa yang sehat ternyata tak hanya fokus pada kemenangan. Mereka juga mempersiapkan bangsanya dalam menghadapi kekalahan. Dari jaringan tivi CNN saya melihat Yunani yang tengah dihajar badai krisis ekonomi menyikapi kekalahan dengan memberikan latihan yoga yang dikombinasi dengan latihan-latihan tertawa untuk menghilangkan stres kepada para profesional yang kehilangan pekerjaan. Beda benar dengan bangsa ini yang saat krismon menghibur diri dengan program-program tivi yang berhubungan dengan dunia goib seperti tuyul, kuntilanak, Pemburu Hantu dan Uka-Uka.
Di Jepang, saat badai tsunami menghancurkan harapan, mereka memilih cara gambaru, memotivasi diri agar jangan putus asa dan menyerah. Sedangkan di Amerika Serikat, asosiasi para coach mengeluarkan pedoman agar para pelatih tidak melacurkan diri dengan kemenangan jangka pendek. Apa maksudnya?
Para coach itu menunjuk sebuah studi yang menemukan bahwa kekalahan harus dikelola untuk menumbuhkan karakter bagi kaum muda. National Federation of Interscholastic Coaches Association menuturkan para coaches di Amerika Serikat selalu menghadapi dilema karena masyarakat hanya mengapresiasi pemenang. Namun dilain pihak sport atau kompetisi adalah alat pendidikan yang efektif untuk menguji kehidupan, membangun karakter dan kepemimpinan.
Maka dari itu coaches selalu dibekali dengan buku pedoman yang menandaskan bahwa objektif setiap kompetisi bukanlah mengalahkan orang lain (surpasing performance of others) melainkan melewati atau melebihi batas capaian pribadi (own goals).
Saya ingin mengajak Anda kembali ke tahun 1992 yang mungkin pernah saya ceritakan tentang Olimpiade di Barcelona yang dikenang sepanjang sejarah. Sprinter Derek Redmon mendapatkan standing applause bukan karena kemenangannya, melainkan karena jiwa besarnya. Ia kembali ke dalam race kendati tertinggal jauh karena paha kanannya cidera. Ia kembali ke race bukan untuk merebut medali emas, melainkan untuk menghormati pertandingan. Ia berlari tertatih-tatih diiringi tepuk tangan yang meriah dan airmata kesakitan. Meski tidak meraih medali emas, dunia mencatat Derek Redmon dengan kehormatan.
Ia menorehkan kata WIN yang diartikan great leaders sebagai What’s Important Now. Kalau ingin maju, para pemimpin harus mulai bekerja dengan goals dan dreams yang jelas. Tanpa itu kita hanya akan berputar pada pusaran air yang sama, sekalipun kita meraih juara umum Sea Games sesaat. Tanpa goals dan dreams yang jelas kita tak akan kemana-mana. Dengarkanlah nasehat Lou Holtz berikut ini,
\”Hidup ini penuh tantangan. Suatu hari kita minum wine, besoknya kita bisa saja memetik anggurnya. Kita semua mengalami hal yang sama. Semua orang mempunyai kesempatan dari enam puluh detik ke satu menit, enam puluh menit ke satu jam, dua puluh empat jam ke satu hari. Yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah apa yang Anda kerjakan dengan waktu itu dan siapa yang Anda ajak bicara. Seperti yang dikatakan Harrington, “if you’re killing time it’s not murder, but pure suicide.”
Wahai para pemimpin, dunia ini tak mengenal Ekonomi Sangkuriang yang segalanya bisa selesai dalam satu malam. Dunia ini memerlukan manusia yang tidak membuang waktu dan mau berkelahi menuntaskan setiap masalah dalam details dan proses. Tanpa goals and dreams, kita tak akan kemana-mana
Rhenald Kasali
Guru Besar universitas indonesia