Meski kehilangan Fadel Muhammad, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2 hasil reshuffle mendapatkan Dahlan Iskan. Dahlan,seperti Fadel, adalah seorang “doer”. Larinya kencang, matanya jeli, dan yang lebih penting lagi, ia tahu mana yang jadi prioritas yang harus segera diputuskan.
Ibarat nasabah yang diangkat menjadi bankir atau bankir yang diangkat menjadi juru runding debitor yang tengah bermasalah, Dahlan Iskan tahu apa yang dirasakan oleh masing-masing BUMN. Doing from the other side ot the table!. Kini Dahlan harus berunding dengan “bank” yang membinanya, praktis jurus-jurus yang dipegang “bank” ada di tangannya. Dari direksi BUMN yang biasa diberi arahan oleh kementerian yang basisnya adalah birokrasi, kini ia berada di sisi birokrasi. Yang harus ia benahi adalah kantor kementeriannya agar “in line” dan “senafas” dengan BUMN yang dituntut berkinerja.
Nafas Berbeda
Sejak kementerian BUMN didirikan, dan aset-aset BUMN dipisahkan dari Direktorat Pembinaan BUMN – Departemen Keuangan, sebenarnya sudah ada banyak kemajuan. Menteri Tanri Abeng, profesional, yang datang bersama-sama CEO terkemuka Indonesia (Robby Djohan dan Abdul Gani) melakukan gebrakan riil. Laksamana Sukardi, yang juga mantan CEO meneruskan membawa lebih banyak lagi para praktisi ke dalam BUMN. Di era Sofyan Djalil, selain ditanamkan prinsip-prinsip good governance, ia juga agresif membawa masuk CEO profesional ke dalam BUMN.
Tetapi, seperti layaknya memindahkan ikan samudra ke dalam “fresh water” yang biasa dihuni ikan-ikan air tawar, tidak semua ikan-ikan hiu itu survive. Sebagian mabuk sempoyongan. Hiu yang biasa mengarungi samudera luas melawan predator-predator raksasa kini harus hidup bersama-sama ikan-ikan konsumsi yang larinya tak sekencang mereka. Berlari kencang, terlalu banyak dinding yang harus diterjang. Melihat agresifitasnya, pemilik kolam yang tak biasa melaut sering dibuat kecut. Alih-alih membuat ikan-ikan konsumsi berlari lebih cepat, ikan-ikan samudera lah yang direm, dijadikan ikan kolam.
Beberapa CEO yang lari kencang itu akhirnya tak bisa bertahan lama. Namun beruntung masih ada orang-orang hebat yang mempu mengembangkan “jurus-jurus” yang lebih adaptif. Hotbonar Sinaga (Jamsostek), Ignatius Jonan (KAI), Agus Martowardoyo & Zulkifli Zaini (Bank Mandiri), Richard Jose Lino (Pelindo II), Herman Pasoroan Harianja (Pelindo IV), Gatot W Suwondo ( BNI), Sofyan Basir (BRI), dan tentu saja Dahlan Iskan yang sukses memimpin PLN adalah sebagian contoh CEO yang lari kencang di BUMN. Disamping mereka tentu juga beberapa direksi yang lahir dari dalam BUMN yang sama kencang larinya.
Dari mereka itulah kita belajar ada dua masalah yang harus segera diselesaikan. Pertama, bagaimana menyelaraskan “nafas” antara kantor Kementerian dengan BUMN-BUMN itu sendiri. Dan kedua, bagaimana membina agar BUMN-BUMN yang belum dikelola dengan baik bisa lari lebih kencang lagi.
Untuk masalah yang pertama, bolanya memang ada di pemerintah. Bahkan kalau BUMN-BUMN mau dibuat maju, kantor kementerian dululah yang harus direformasi menjadi holding BUMN yang dikelola secara lebih profesional dari BUMN-BUMN yang dibinanya. Kantor Kementerian ini nafasnya tidak boleh sama dengan kementerian-kementerian lainnya yang terperangkap oleh, maaf, “kultur kucing”.
“Kucing” adalah metafora yang saya gunakan dalam buku Cracking Zone untuk menggambarkan kantor-kantor yang bergerak lambat atau setengah lambat seperti petugas di kantor-kantor kelurahan atau kecamatan. Toiletnya kumuh, dan tempat parkirnya semrawut menandakan tak ada pemimpin yang peduli pada pelayanan. Seragam-seragam petugasnya lusuh, ikat pinggang satpam kedodoran pertanda kurang diberi makan. Resepsionis bekerja malas-malasan pertanda tak ada supervisi. Jam 5 sore sebagian besar pegawai sudah gelisah ingin pulang, tak ada leadership. Politisi dibiarkan menekan dan banyak dapat bisnis, pertanda ambisi perorangan dan rasa takut.
Budaya korporat “kucing” tentu tidak hanya ada di kantor-kantor Kementerian secara umum, tetapi masih banyak ditemui di BUMN-BUMN yang kata para profesional terkesan “malas”. Kucing itu betah di rumah, biasa diberi makan, dan kalau tidak diberi makan ia akan mengorek-ngorek dapurnya sendiri. Dia setia, tapi lamban sekali.
Sejak para profesional bergabung di kantor kementerian BUMN, harus diakui larinya sedikit lebih kencang. Tetapi belum cukup. Kantor ini memang belum didesain agar insan-insannya bisa lari kencang karena nafasnya adalah birokrasi dan kepegawaiannya PNS dengan struktur insentif yang tidak bisa membuatnya bergerak lebih dinamis.
Crackership
Menyadari “bangunan” rumahnya yang belum didesain untuk lari kencang, Menteri Dahlan Iskan memilih cara kedua, yaitu membenahi BUMN-BUMN agar tidak “berbudaya kucing” lagi. Tetapi saya kira ia butuh amunisi yang lebih besar, yaitu struktur kantor kementerian yang lebih korporatif. Menpan dan Setneg harus bisa membantu agar kantor kementerian BUMN tidak memiliki desain bangunan yang sama dengan kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, atau Departemen Dalam Negeri.
Kementerian-kementerian yang lain adalah cost-center sedangkan kementerian BUMN adalah income – generator. Bahkan di Singapura saja, BUMN menyumbang 60% dari GDPnya. Jadi, kalau ingin BUMN-BUMN sehat dan larinya kencang, Kementeriannya harus dibuat lebih otonom dengan kultur korporatif, yaitu kultur cheetah yang siap bertarung, insentifnya harus bagus, gajinya harus “above market price” dengan insentif yang menarik. Ada kebebasan untuk bergerak lebih leluasa, dan pegawai-pegawainya tak memerlukan evaluasi serta rekrutmen seperti metode yang dipakai di dunia PNS
Menteri Dahlam Iskan menyentak. Ia berlari sangat kencang. Di surat kabar kita melihat ia sedang menyetir mobil sendiri dan disebelahnya duduk Wamen Mahmudin Yasin. Saya dengar mereka berdua langsung bekerja sesaat setelah dilantik. Di mobil pun berkoordinasi sedangkan menteri-menteri yang lain masih berjarak dengan Wamennya yang masih bingung harus berbuat apa.
Para CEO BUMN yang saya temui mengaku menterinya lari kencang. Ini pertanda alignment mulai bekerja. Namun tuntutannya jelas. BUMN harus fokus, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk rapat dengan kantor kementerian, dan utamakan profesionalitas. Hanya dalam hitungan hari, kantor kementerian BUMN sudah memutuskan tindakan-tindakan strategis. Berapa besar dana PSO untuk membantu BUMN-BUMN yang perlu suntikan modal sudah keluar, dan kemarin ia memutuskan untuk menyerahkan aset-aset tidak produktif yang jumlahnya sangat besar di BUMN-BUMN agar dikelola oleh PT PPA.
Aset-aset tidak produktif di BUMN memang banyak sekali sehingga return on assetsnya sangat rendah. Common sense kita mengatakan, punya aset dan tanah yang luas kalau tak punya cash flow yang cukup , aset-aset itu justru menjadi beban.
Bagi saya Dahlan Iskan adalah sosok lain yang dirindukan bangsa ini. A doer is much more needed rather than just a lazy thinker. Seperti yang saya katakan minggu lalu, Indonesia bukanlah kereta api otomatis yang cukup dikemudikan masinis yang hanya bekerja dengan telunjuk jarinya saja. Indonesia adalah sebuah kapal besar yang perlu digerakkan pemimpin efektif.
Jadi bergeraklah para CEO BUMN, ubah budaya kucing menjadi cheetah, dan jadilah Cracker yang gesit. Bergeraklah kantor kementerian PAN, beri lebih banyak ruang agar kementerian BUMN bisa lebih hebat dari Khazanah (Malaysia) atau Temasek (Singapura). Selamat bekerja Mentri Dahlan Iskan, semoga Tuhan terus memberi kesehatan dan kebijaksaan untuk reformasi birokrasi
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/441094/34/