Lupakanlah panggung politik yang korup dan banyak kebohongan. Indonesia baru ternyata memiliki harapan di tangan generasi baru yang lahir setelah 1970-an.
Anindya Bakrie (Bakrie), Bari Hammami (Trakindo), Dewi Gontha (Java Jazz), Noni Purnomo (Blue Bird), Petrus Halim (Intraco), Svida Alisjahbana ( Femina Group), Ari Batubara (Gemilang Group), Haryadi Sukamdani (Sahid), Sandiaga Uno (Saratoga), Fauzi Ikhsan (Standard Chartered) dan masih banyak lagi. Mereka muda, lahir setelah tahun 1970-an, mengenyam pendidikan dasar di Indonesia namun melanjutkan studi di Amerika Serikat atau salah satu negara Eropa.
Selain fasih berbahasa Inggris, mereka confident, cerdas, lebih memperhatikan proses bisnis dan membangun usaha dengan kekuatan moden management, lebih peduli pada lingkungan (green) dan sosial. Melihat sepak terjang mereka, wajar kalau kita mengatakan mereka adalah generasi penuh harapan – a better generation. Kalau mereka mampu membebaskan diri dari ambisi politik, atau mampu menahan kegelisahan \”materialism\” yang menggoda, maka mereka bisa jadi tumpuan harapan masa depan bangsa.
Golden Ages
Generasi baru ini, kalau ditelusuri ke belakang ternyata bukan hanya dibentuk oleh sekolah tinggi yang diperoleh dari Barat, melainkan pendidikan yang baik pada Golden Ages (usia 3-6 tahun). Inilah usia pra sekolah yang tidak dinikmati kalangan “pra sejahtera” yang sejak reformasi jumlahnya bertahan sekitar 31 juta jiwa.
Anak-anak yang dibesarkan di kelompok pra sejahtera jarang menikmati pendidikan taman kanak-kanak yang baik, apalagi play group. Kalau bersekolah, mereka langsung masuk ke jenjang SD sehingga kurang memiliki rasa percaya diri. Fondasi masa depan mereka amat rapuh sehingga wajar bila kesulitan “naik kelas” ke jenjang ekonomi berikutnya. Celakanya UU Sisdiknas tidak menyentuh pendidikan di usia emas ini, tidak ada subsidi pada level pra sekolah. Untuk masuk TK anak-anak pra sejahtera harus membayar Rp 125.000 – 200.000,- per bulan. Siapa yang mampu?
Pada usia emas ini, seorang generasi baru memupuk rasa percaya diri dan kemampuan bergerak yang tersimpan dalam syaraf-syaraf motoriknya. Jadi bukan IQ atau indeks prestasilah yang membuat suatu generasi mampu menjadi penerus yang hebat. Sebab IQ dan IPK, hanyalah merupakan potensi belaka, yang baru menjadi \”sesuatu\” kalau mereka mampu bergerak mendatangi \”pintu” masa depan.
Generasi baru kalangan prasejahtera ini mengalami kehidupan yang sangat kurang beruntung bila dibandingkan dengan generasi ke 2 atau Ke 3 dari kalangan dunia usaha yang sudah jauh kebih makmur dari generasi di atasnya. Orang tua mereka kurang mampu memberikan \”gizi\” bagi fisik, otak, maupun perkembangan motorik anak-anaknya.
Para ahli pendidikan percaya better generation itu dibentuk bukan oleh kemampuan Ca-lis-tung (baca – tulis – hitung) seperti yang digusarkan sebagian besar orang tua dewasa ini. Mereka sukses justru oleh life skills yang ditanam sejak prasekolah. Tanyakanlah pada anak-anak itu apakah benar mereka menjalani sekolah dengan nilai matematika – fisika dan kimia yang tinggi? Bukan, melainkan oleh keterampilan hidup seperti mengelola rasa frustasi, kemampuan berpikir kreatif, berpikir kritis, mengambil keputusan dan seterusnya. Keterampilan hidup inilah modal penting bagi menembus masa depan, bukan uang. Dengan ketrampilan hiduplah maka seorang anak petani atau nelayan miskin mampu merubah nasibnya, menjadi industriawan atau bankir besar.
The Right Place
Better generation on the right place! Selain pembentukan di usia emas, sebuah generasi baru berubah menjadi lebih baik bukan karena semata-mata urusan warisan. Mereka menjadi lebih baik karena berada atau mengekspose diri di tempat yang tepat. Perhatikanlah, asal sekolah menengah dan sekolah dasar mereka, lihat juga bidang-bidang yang mereka geluti. Mereka telah memasuki bidang-bidang yang sophisticated dengan teknik ilmu keuangan yang canggih. Financial engineering, angel investor, securities, sampai ke bidang IT dan media massa. Mereka tahu bagaimana menggerakkan sumber-sumber dana, melakukan take over, mengikat perjanjian hukum dan seterusnya. Pokoknya serba canggih.
Sekarang perhatikanlah, apa jadinya bila putra Mien Uno (Sandiaga) atau putra Poppie Dharsono (Fauzi Ichsan) atau Anindya Bakrie tidak memulai usahanya dari di dunia bisnis, dan langsung terjun ke dunia politik seperti yang dilakukan generasi tua yang tekah beralih pada kekuasaan? Mudah ditebak, mereka bisa saja menjadi kaya raya di usia muda, namun maaf, nasib mereka mungkin akan sama dan sebangun dengan Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, atau Muhaimin Iskandar. Kalaupun mereka bebas dari jebakan betmen kasus hukum, mereka bisa saja kehilangan kepercayaan. Padahal kepercayaan adalah modal dasar seorang pengusaha. Pepatah mengatakan, “Anda akan menjadi seperti orang yang sehari-hari bersama Anda” You are, who your friends are!
Maka mempersiapkan sebuah generasi baru adalah mempersiapkan sebuah lingkungan yang benar-benar baru dan kondusif. Kalau para koruptor yang bersembunyi di gedung-gedung parlemen secara sengaja melumpuhkan KPK dan mencabik kewenangannya, merubah Undang-undang yang dibutuhkan KPK untuk menangkap para koruptor, maka ini berarti mereka tidak peduli dengan better generation. Orang-orang itu mempersiapkan Indonesia baru yang sama sekali berbeda dengan yang diharapkan rakyatnya, yaitu Indonesia yang lingkungannya aman, tertib dan brbas korupsi. Jadi generasi apa yang ingin dibangun para politisi pada generasi baru yang jauh lebih cerdas dan pandai membongkar kebohongan lewat jaringan digital yang mereka miliki ini?
Anak-anak muda yang lahir setelah tahun 1970 ini saya sebut sebagai Generation C. Mereka Curious, connected, Co – Creation, Content Creator, dan Cracker. Mereka menjadi besar bukan semata-mata karena mampu memperbaharui perusahaan milik orang tua, melainkan memperbaharui industri dimana mereka berada. Kalau orang tua mereka sudah mentok sebagai “leader”, mereka justru menjadi cracker. Kalau perusahaan tua mereka berbudaya “kucing”, mereka ubah menjadi “Cheetah”. Larinya kencang, tidak ada yang bisa bermalas-malasan, harus bisa cari makan yang jauh, dan siap bertarung dalam ajang kompetisi. Politik, lupakan saja dulu. Fokus pada bisnis yang sehat jauh lebih baik
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia