Saat kolom ini ditulis,saya tengah berada di atas sebuah kapal patroli polisi berkecepatan 12,2 knots dalam perjalanan dari Ambon menuju Pulau Buru untuk menjalankan misi social entrepreneurship di pulau berpenduduk 105.333 jiwa itu. Di pulau yang sempat dikenal sebagai tempat tahanan politik di era Orde Baru itu, saya menemukan padang savana yang ditanami jutaan tanaman kayu putih yang begitu luas, yang diselingi rumput-rumput liar setinggi dua meter seperti yang saya saksikan di Masai Mara Kenya.
Tak ada hewan buas yang melintas di sini selain rusa dan burung-burung yang sangat indah. Tak saya saksikan satu pun pertarungan antara predator yang saling memangsa seperti yang sering kita lihat di channel televisi Animal Planet atau Discovery. Masyarakatnya juga hidup dalam penuh kedamaian, kecuali saat pilkada memanas. Namun di televisi, di tingkat nasional suasana sebaliknya justru dengan mudah kita temui. Kita justru tengah berhadapan dengan kekuatan predator yang saling memangsa.
Bulls yang Bersatu
Predator yang saling memangsa itu tampak jelas dalam pertarungan memperebutkan ”Muhammad Nazaruddin” atau bagaimana para pihak yang berkepentingan ”memangsa KPK”. Sebagai anggota panitia seleksi KPK, saya tentu tak lepas dari gelombang- gelombang opini pertarungan antara para pihak yang cemas menyaksikan kembali kuatnya KPK dalam memberantas aneka kepentingan, baik yang bersembunyi di balik kekuatan politik di Parlemen maupun di balik ruang-ruang pengadilan,yang dapat melumpuhkan masa depan bangsa ini.
Dalam video yang direkam oleh suatu keluarga yang tengah berlibur di Afrika Selatan,malam tadi saya menyaksikan tayangan sangat dramatis. Seekor banteng besar yang tengah memimpin rombongannya tibatiba berhenti melangkah. Ia mengendus sejenak, lalu tibatiba badannya berputar arah dan melarikan diri.Ribuan ekor banteng liar di belakangnya yang ia pandu tak kalah sigap. Mereka putar badan dan lari dengan kecepatan tinggi.Ada apa gerangan? Mudah diterka. Banteng itu menghadapi predatornya, rombongan harimau yang kelaparan. Banteng yang lari tungganglanggang justru menyentakkan istirahat harimau dan menggairahkan penyerangan.
Bukan cuma satu, melainkan delapan ekor, ayah-ibu dan anak-anak harimau dewasa berlarian mengejar. Yang mereka tuju bukanlah banteng besar,melainkan banteng muda yang larinya belum begitu kuat dan tanduknya belum tumbuh. Biasanya mereka dilindungi banteng-banteng besar ke tengah rombongan. Tetapi, begitu pemimpin rombongan melarikan diri, kacaulah hidup si kecil yang lemah. Ia menjadi sasaran terkaman. Dalam hitungan detik, seekor banteng kecil sudah berada dalam terkaman harimau dewasa. Tetapi,harimau yang menerkamnya kurang strategis memangsa, sehingga mereka berdua jatuh ke sungai.
Harimau tak mau menyerah, taringnya yang tajam tetap menggigit di leher mangsanya. Dan bisa diduga siapa yang diuntungkan. Di dalam sungai yang dangkal itu tinggal rombongan buaya. Harimau yang lain berhenti mengejar rombongan banteng dan fokus pada mangsa muda yang berhasil diterkam saudaranya. Mereka bahu membahu menggiring banteng yang jatuh ke sungai sebelum buaya liar berdatangan. Mereka bekerja sama,menggunakan cakar yang kuat serta gigi yang tajam untuk menggiring buruan ke atas. Terlambat. Seekor buaya besar tiba, ia menggigit bagian ekor banteng muda itu.Pertarungan memperebutkan mangsa ini justru menggairahkan para harimau untuk menyelamatkan buruannya.Mereka bersatu dengan berbagai cara, sehingga selamatlah buruan itu ke tangan mereka.
Gigitan buaya lepas, dan rombongan harimau menyeret banteng muda ke atas, siap menyantap. Dalam hitungan detik, di luar dugaan, ternyata bantengbanteng besar yang kehilangan anaknya itu berbalik kembali. Kali ini mereka lebih bersatu, dalam rombongan yang padat, dipimpin seekor banteng besar yang sangat bersatu. Mereka berjalan beriringan, berderapderap sehingga mengejutkan rombongan harimau yang tengah menerkam mangsanya. Namun, demikianlah naluri mamalia yang hanya bersenjatakan tanduk di atas kepalanya. Mereka hanya mengurung harimau pada jarak yang terkendali. Pemimpin banteng berhenti di depan mangsanya. Mereka menyaksikan anaknya masih hidup, dalam terkaman yang belum tercabik-cabik. Tetapi, bukannya langsung menyerang, mereka hanya membentengi diri dan melenguh kuatkuat. Tentu saja rombongan harimau yang lapar tak akan melepaskan gigitannya.
Satu ekor harimau yang terkejut berlari, tetapi tujuh ekor anggota keluarga lainnya tetap fokus.Saat berlari keluar, harimau yang ketakutan itu dikejar pemimpin banteng. Tapi, larinya lebih kencang dan banteng kembali ke dalam rombongannya. Rombongan banteng yang menyerang diam beberapa saat, membuat rombongan turis yang merekam dari seberang sungai geregetan. ”Anaknya masih hidup, masih hidup,” ujar seseorang. Tetapi yang lainnya mengatakan, ”Terlambat…. Terlambat… Anaknya bisa mati…. Ayo serang balik!” Bantengbanteng itu terdiam,seperti tak ada pemimpinnya dan seakan tak terpengaruh supporter yang mendukungnya dari seberang sungai. Tetapi dalam hitungan detik, seekor banteng besar menembus gerombolan sahabat-sahabatnya. Ia kelihatan sudah tidak sabar,menembus bantengbanteng yang hanya membuat benteng, namun tak berbuat apa-apa. Hewan-hewan besar itu tak ubahnya manusia Indonesia yang hanya berwacana saat melihat masalah.
Baginya buat apa menjadi banteng kalau punya tanduk hanya berani dipakai untuk menakut-nakuti. Ia menyeruduk ke bawah dengan tanduknya yang tajam. Dengan gagah berani ia bertindak, menyeruduk beberapa ekor harimau yang tengah menerkam banteng muda. Berhasil! Seekor harimau melepaskan gigitannya, dan badannya tertanduk. Seekor harimau terpental beberapa meter dan hampir saja jatuh ke sungai. Langkah banteng ini menyemangati banteng-banteng liar dibelakangnya. Tetapi, mereka bukan pemimpin, terbukti mereka hanya bisa marah dan melenguh.Terinspirasi,tapi takut mengambil risiko.
Nalurinya hanya menonton, persis seperti rombongan mobil di jalan tol yang memacetkan lalu lintas saat menyaksikan sebuah kecelakaan yang mematikan. Bukannya sopir-sopir yang terdiri atas manusia berpendidikan tinggi dan berdasi itu berhenti untuk menolong, melainkan hanya menonton. Mereka terbengong di depan korban. Berkomentar di dalam mobil,berhenti sejenak di sana, lalu melengos pergi setelah memacetkan lalu lintas. Jangan harap ada heroisme kalau menolong orang yang kesulitan saja mereka tak tergerak. Seperti itulah situasi yang tengah dihadapi bangsa ini. Bukannya mereka bekerja dan menembus benteng mafia,para elite hanya berdiam di depan masalah, berputar-putar dengan aneka ucapan.
Saling menyalahkan dan adu kepintaran. Yang satu sibuk dengan dalil hukum, yang lainnya dengan dalil ketidakadilan. Lalu yang lain lagi bicara soal kliennya yang diperlakukan tidak adil oleh KPK.Yang lainnya bicara tentang keruwetan demi keruwetan. Tetapi, seorang di antara mereka yang pernah menjadi ”mangsa” sungguhan berdiri dan meminta tindakan, bukan wacana.
Tantangan Pemimpin
Tentu saja kolom ini tidak ditujukan kepada para pemimpin atau elite yang sudah merasa dirinya sebagai orang pintar, yang berbicara tanpa senyum dengan muka penuh arogansi dan leher yang didongakkan ke atas. Kolom ini saya tujukan kepada para calon pemimpin yang justru masih berada di luar rombongan. Rombongan yang belum terkontaminasi dengan crowd mind yang hanya berputarputar di depan masalah. Tantangan yang dihadapi kaum muda ke depan adalah kompleksitas begitu besar, yang membelenggu pikiran, yang justru bisa membuat manusia bingung dan hanya berhenti berputar-putar di depan masalah.
Masalah yang dihadapi dengan cara demikian hanyalah akan menjadikan masalah kecil menjadi lebih besar, membelit. Masalah ini dapat menimbulkan kekuatan dan keyakinan yang lebih besar di mata lawan. Manusia Indonesia di abad 21 ini menghadapi tantangan dan lawan dari para mafia yang bersatu dan saling mengalibrasi. Mereka saling berkalibrasi dengan para penegak hukum dan politisi untuk menghancurkan daya tahan dan akhirnya membuat bangsa ini lemah. Hanya pemimpinlah yang berani keluar dari rombongan, menunjukkan kekuatannya, dan menanduk mafia itu satu persatu.
Sayangnya, pemimpin mamalia hanya bergerak kalau ia memiliki keberanian. Keberanian yang hanya tumbuh menjadi besar, kalau ia sadar, rombongan di belakangnya juga bersatu melindungi dirinya. Maka, bukan hanya mafia yang berkalibrasi, pemimpin pun demikian. Anda tentu bertanya bagaimana kalibrasi itu dilakukan? Saya harap saya bisa menjelaskannya dalam kolomkolom mendatang.
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/420090/34/