Di tengah hiruk-pikuk kampanye Pilpres ini kita sering mendengar sekelompok orang menyuarakan ekonomi Indonesia semakin sulit, bahkan katanya berada di ujung kebangkrutan.
Ada yang mengatakan negeri ini sudah terlalu banyak utang, bahkan banyak BUMN mau dijual, lalu katanya kita berada di bawah serbuan tenaga kerja asing. Padahal Arab Saudi yang kaya minyak saja juga punya utang. Demikian juga Singapura yang kelihatan megah itu.
Dagelan-dagelan ekonomi seperti itu memang bukan hal yang baru. Dulu Adolf Hitler juga menggunakan cara serupa saat merancang kekuasaan dengan menakut-nakuti kaumnya, etnis Aria, akan serangan ekonomi dari kelompok Yahudi.
Lalu, Donald Trump, menggunakan cara yang sama untuk penduduk kulit putih Amerika yang terdesak serangan imigran dan barang-barang impor akibat globalisasi. Bahkan kini cara serupa sedang dicoba di Italia dan Prancis.
Lalu, apa akibatnya begitu mereka berkuasa? Saya kira Anda sudah tahu. Dan biarlah masing-masing orang menentukan pilihannya. Namun benarkah ekonomi Indonesia berada dalam ancaman utang dan kebangkrutan?
Kalau Sepak Bola, Ya Memang Jeblok
Bicara utang tentu bicara peringkat. Kalau sepakbola dipakai sebagai acuan, pantaslah kita berkecil hati. Pasalnya, Februari 2019 lalu Federation of International Football Association (FIFA) menempatkan timnas sepakbola Indonesia di peringkat 159 dunia.
Peringkat itu memang rendah. Kita berada di bawah negara-negara Asean seperti Vietnam (peringkat 99), Thailand (115), Filipina (123), bahkan Myanmar (138). Meski masih di atas Singapura 165 dan Malaysia 167.
Isu korupsi juga masih masuk akal dan berhubungan dengan sepakbola. Kalau yang urus PSSI tak membenahi korupsi dan permainan atur mengatur skor, prestasi atlit akan sulit dinaikkan.
Maklum, Indeks Persepsi Korupsi yang diumumkan Transparency International Indonesia (TII), Januari lalu masih menempatkan Indonesia di ranking 89. Jauh di bawah Singapura di peringkat 3, Brunei Darussalam (31), dan Malaysia (61). Tapi, kita masih di atas Filipina dan Thailand (sama-sama di posisi 99), atau Vietnam (117). Tapi, baiklah kita kembali ke ekonomi.
Bukan Pengutang yang Diperhitungkan
Dua minggu lalu, ekonom Dan Kopf mengumumkan kajiannya tentang gejolak ekonomi. Maklum, perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok saat ini memorakporandakan ketenangan berusaha dan menimbulkan banyak masalah baru, khususnya kemampuan dunia usaha dalam menjamin kestabilan, menuai keuntungan. IMF bahkan mengatakan, tahun 2019 selain pertumbuhan ekonomi dunia melambat, risiko berusaha juga meningkat.
Namun, berkebalikan dengan ucapan para politisi yang tengah bertarung, Kopf menemukan dalam soal keseimbangan ekonomi, Indonesia lah juaranya. Ia menelisik pertumbuhan pendapatan riil perkapita menurut data Bank Dunia antara 2002 sampai 2017. Indonesia bahkan jauh lebih unggul dari Tiongkok dan India yang tumbuh sekitar 2% di atas kita. Artinya, semakin banyak fakta yang menunjukkan kepemimpinan ekonomi kita tak seburuk yang kita sangkakan.
Sejalan dengan Kopf, ternyata kita juga belum ada apa-apanya dalam soal berutang. Mungkin karena itulah sebulan terakhir isu mengenai utang belakangan surut.
Baiklah kita pakai saja Debt-to-GDP Ratio sebagai indikator yang mengukur rasio utang terhadap kue ekonomi atau Gross Domestic Product (GDP)-nya.
Mari kita cek. Apakah Indonesia ada di daftar 10 besar negara dengan rasio utang terbesar dunia? Jawabannya ternyata tidak ada.
Apakah di ranking 20 besar? Ternyata juga tidak. Ranking 50 besar? Tidak. Ranking 75 besar? Tidak. Ranking 100 besar? Tidak.
Indonesia ada di ranking bawah yang artinya dibandingkan pendapatannya, utang kita kecil. Artinya, kalau mau memanfaatkan pendapatan hari esok, maka potensi kita untuk membangun masih besar.
Biar Anda tidak penasaran, saya sebutkan saja. Per Desember 2018 lalu, Debt-to-GDP Ratio Indonesia hanya 29,78%. Jika dibandingkan negara lain, Indonesia ada di ranking 133 dunia. Artinya, utang bukan andalan Indonesia. Dan menurut saya, sungguh tak bermoral kita menakut-nakuti bangsa agar kurang percaya diri terkait utang ini.
Tahukah Anda, semakin maju ekonomi dan semakin kagum kita dengan kemajuan bangsa-bangsa, ternyata utangnya juga semakin besar, namun tidak Indonesia.
Mari kita lihat. Jepang ternyata jagoan berutang. Ia menempati posisi nomor satu dunia dengan Debt-to-GDP Ratio-nya 253%, lalu Yunani (2) dengan 178%, dan Lebanon (3) 149%.
Dari ASEAN, Singapura yang dianggap bersih dari korupsi, dan fasilitas publiknya maju ternyata berada di urutan ke 8 dalam berutang dengan rasio 110%, Vietnam 56 (61,5%), Malaysia 73 (50,9%), Filipina 95 (42%), Thailand 98 (41,8%), Kamboja 117 (35,1%), dan Myanmar 121 (33,6%).
Jadi, ada 7 negara ASEAN yang rasio utangnya jauh lebih besar dari Indonesia.
Jadi kalau ada yang membesar-besarkan bahwa setiap bayi yang lahir punya utang Rp13 juta di sini, jangan kaget, setiap bayi yang lahir di Singapura harus menanggung Rp700 juta.
Angka Debt-to-GDP Ratio ini tentu bergerak dinamis, tergantung nilai utang yang ditarik pemerintah. Angka Debt-to-GDP ratio Indonesia saat ini kemungkinan di kisaran 30% atau sedikit di bawah itu. Jadi, ranking utang Indonesia juga tidak akan banyak berubah dari posisi 130an.
Bahkan, negara Islam seperti Saudi Arabia pun ternyata juga berutang. Debt-to-GDP Ratio-nya pada Desember 2018 lalu sebesar 17,2% dan berada di posisi 164 dunia. Menurut catatan utang kerajaan ini, Saudi Arabia rata-rata berutang 36,38% antara tahun 1999 hingga 2017, dan pernah mencapai 103,5% pada 1999. Jadi mohon maaf, jangan kaitkan dengan ini dan itu.
Tentu, ada beberapa indikator selain Debt-to-GDP Ratio yang digunakan untuk melihat utang suatu negara. Misalnya, tingkat imbal hasil/yield dan porsi kepemilikan oleh investor domestik dan asing. Ini bisa saya uraikan di lain waktu.
Yang terpenting adalah, kita harus paham dulu bahwa utang Indonesia saat ini tidaklah mengerikan seperti yang dikatakan beberapa politisi itu. Apalagi kini APBN Indonesia sudah dikelola dengan prudent. Bahkan, sebagian utang kita berbentuk surat berharga syariah yang di-endorse oleh Dewan Syariah Nasional.
Jadi, mari kita buka pikiran dan hati kita, bahwa negeri ini tidak buruk-buruk amat ekonominya. Kecuali kita sendiri yang ingin melihatnya buruk tentunya. Dan katanya, hanya orang optimis yang bisa. (*)
Prof. Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan
ditunggu ulasan dari indicator lainnya prof, tapi lebih tajam ya sudut pandangnya hehehe
Terima kasih prof atas pencerahannya