Mari sejenak mengingat teori dasar ekonomi yang Anda juga tentu familiar dengan istilahnya, Opportunity Cost. Ya, sebagaimana arti harfifah pada setiap katanya, teori ini menggambarkan bahwa manusia selalu dihadapkan dengan keterbatasan dalam memilih opsi yang ada. Bayangkan saja ketika Anda mungkin memilih pekerjaan dengan memerhatikan jarak dan waktu tempuh. Meski gajinya tidak sebanding, tapi itulah pilihan yang ada. Maka seluruh nilai kesempatan yang Anda pilih berubah menjadi Opportunity Cost.
Dalam dunia usaha, kita tahu terjadi seleksi alam yang begitu ketat. Pilihan-pilihan sulit kerap membayangi individu, dan mereka yang tidak bersedia membayar cost akan perlahan berguguran. Perlu diingat, cost tidak selamanya berbentuk uang. Ia bisa berbentuk waktu, kesempatan, ataupun energi.
Ada beberapa contoh yang barangkali sudah familiar bagi Anda. Kolonel Sander (pendiri KFC) harus membayar “cost” dengan ditolak hampir di 1000 restoran atas resep ayamnya. Namun, cost tersebut sebanding dengan opportunity selanjutnya. Kini, KFC menjadi ayam goreng favorit di seluruh dunia.
Tokoh Indonesia seperti Prof. Rhenald Kasali mengejar opportunity untuk belajar di luar negeri. Opprotunity itu datang dengan cost berupa kewajiban tetap menghidupi mertua, orangtua, dan juga keluarganya. Sementara pemasukan saat itu hanya berasal dari uang beasiswa (lihat Instagram @inisiatif.rp).
Saya yakin, Anda pun mungkin juga merasakan bahwa setiap orang sejatinya memiliki opportunity yang besar. Namun sama halnya seperti strategi dalam pasar modal, orang-orang mungkin terlalu khawatir (fear) dalam mengambil high risk untuk mendapatkan high return.
Ya, mereka tidak cukup siap membayar semua cost-nya dan memilih tetap berada dalam comfort zone.
Perangkap Bernama “Useless People”
Dewasa ini, kita dapat melihat bagaimana bentuk “fear” cukup berbeda antara dunia maya dan dunia nyata. Di dunia realita, kita dapat melihat perilaku-perilaku “fear” yang ingin menghindari risiko. Merasa paling benar dan resisten terhadap berbagai perubahan. Sementara di dunia maya, orang-orang mudah berkomentar dan percaya dengan hoaks. Bias ini kian terjadi, dan suatu saat akan menjelma menjadi Useless People.
Useless People dicetuskan oleh Yuval Noah Harari (penulis Sapiens) adalah sebutan bagi mereka yang terperangkap “fear”, takut mencoba hal-hal baru.
Ketakukan Useless People termasuk ancaman tergantikannya pekerjaan manusia oleh mesin dan kecerdasan buatan. Bagaimana tidak? Mereka tidak mau membayar “cost” untuk mengembangkan diri. Sementara, ilmu-ilmu lama mulai tergantikan dan bisa didapat dengan mudah.
Waktu adalah sumberdaya paling berharga yang kita punya. Tentu Anda masih punya banyak kesempatan ke depan, semua tergantung seberapa Anda bisa menaklukan “fear” dan mengambil opportunity terbaik.
Berlatih dan Terus Berlatih
Mengambil risiko juga tidak serta merta tanpa persiapan. Ada juga hal yang perlu diperhatikan agar keluar dari comfort zone tidak menjadi sebuah tindakan yang impulsif semata. Tanpa tujuan berarti.
Penting kiranya untuk mengenal “iteration”. Sebuah proses yang berulang-ulang dilakukan hingga kita menjadi terbiasa dan expert dalam rutinitias tersebut. Untuk menjadi seorang Risk Taker, kemampuan learning agility akan menjadi kunci untuk reinventing ourselves berulang-ulang kali.
Malcolm Gladwell di buku Outliers menjelaskan mengenai 10.000 Hours Rules, yaitu bagaimana seseorang dapat menjadi master dengan berlatih 10.000 jam. Apa yang disampaikan dalam 10.000 Hours Rules sama dengan konsep learning agility yang membutuhkan iteration.
Kembali lagi ke learning agility, setiap dari kita adalah pembelajar. Ketika memulai semuanya, sangat wajar jika Anda mendapatkan nilai buruk. Tetapi setelah setiap nilai besar, kita masing-masing memiliki indikator kecil berupa simbol “+” dan “-”. Sebagai learner, kita justru memandang simbol-simbol tersebut sebagai acuan sejauh apa kita berkembang dari proses yang sebelummnya. Dari situ, dengan latihan berulang kali kita bisa menjadi expert.
Jika dianalogikan, learning agility adalah kemampuan utama yang bisa mengakselerasi Anda untuk terbiasa dengan risiko dan menggapai opportunity. Modalnya? Tentu saja diri Anda. Anda perlu mengubah mind pada brain. Dari fear (fixed mindset) menjadi risk taker (growth mindset).
Masih susah untuk menjadi Risk Taker?
Pingback: 6 Langkah Menjadi Risk Taker - Rumah Perubahan | Rumah Perubahan