Secara sederhana, banyak orang yang paham bahwa permintaan pasar adalah fungsi dari daya beli (power) dan keinginan membeli (appetite).
Kalau soal daya beli, kita cukup bicara jumlah uang dan harga. Sedangkan keinginan membeli, dipengaruhi mood konsumen seperti berita-berita bagus atau buruk, persepsi terhadap hari esok, kejadian-kejadian yang membuat kita kehilangan appetite, retailer yang kurang promosi dan sebagainya. Maka meski uangnya ada, bisa saja seseorang menunda konsumsinya.
Bagaimana daya beli? Kalau harga-harga melambung naik, maka jelas jumlah yang bisa dibeli dengan uang yang sama berkurang. Lalu nilai penjualan yang diterima perusahaan-perusahaan pun bisa turun. Namun keuntungan yang diperoleh belum tentu jatuh.
Sebab menentukan untung atau rugi, bagi perusahaan adalah sebuah kecerdasan sendiri. Ada strategi dan ada pilihan, kecuali mereka salah urus, tak merespons bahkan menyangkal perubahan.
Tetapi pengusaha tahu, saat ini secara umum inflasi cukup rendah. Bahkan rakyatnya punya beragam pilihan yang luas. Lalu kita membaca hasil yang dicapai dunia usaha pada semester I 2017 ini walaupun tak sepenuhnya buruk, namun cukup beragam.
Banyak yang bagus, juga ada yang kurang beruntung. Ini berbeda dengan kondisi 1998-2000 yang dilanda krisis secara luas. Jadi unsur pertama ini tak terpenuhi.
Kedua, jumlah uang yang dimiliki konsumen. Misalnya Anda di-PHK perusahaan. Kalau PHK terjadi secara nasional, maka otomatis daya beli masyarakat turun. Atau, kalau pengusaha menurunkan gaji misalnya. Kejadian ini pun tak banyak terdengar. Kita hanya mendengar Sevel yang ditutup.
Pernah juga dikhawatirkan kalau subsidi-subsidi tertentu dicabut sehingga harga melambung. Atau bisa juga angkatan kerjabaru sulit mendapat pejerjaan, investasi pada sektor tertentu turun, inovasi baru mengakibatkan lapangan kerja tertentu bisa saja terbatas, persaingan global dan sebagainya.
Maka dampak inovasi pada setiap segmen tenaga kerja ini mutlak diperlukan untuk memperkuat perekonomian dan melakukan pemerataan.
Seharusnya semua itu bisa dihitung. Namun masalahnya semua berhubungan dengan asumsi yang dipegang peneliti dan kemampuan masing-masing dalam mensortir data. Sementara itu gaya hidup masyarakat berubah begitu cepat dan kurang cepat dipetakan BPS.
Mixed Results
Jadi dengan data yang sangat umum, sampai saat ini, mungkin saja kesimpulannya belum bisa kita tarik. Namun perlahan-lahan data baru juga berdatangan.
Berikut adalah data keuangan pertumbuhan penjualan beberapa perusahaan publik semester I/2017 yang diambil dari IDX: Kalbe Farma 5,3 persen, Mayora 1,2 persen, Astra 11 persen; Ace Hardware 18 persen, HMSampoerna: -1,6 persen, Merck 5 persen, Sido Muncul -6,8 persen, Gudang Garam 8,9 persen, Unilever 2,5 persen, Ultra Jaya 0,9 persen, Prodia 3,7 persen, Semen Indonesia 1,9 persen, Indofarma 2,1 persen; Tempo Scan -2 persen, AlfaMidi 18,3 persen, dan Hero Supermarket -3,9 persen.
Dan menjadi sulit membaca dampak daya beli secara nasional karena mixed result yang sekilas memang masih positif.
Namun baiklah, anggap saja sebagian pelaku usaha lainnya belum mengumumkan prestasi yang dicapai. Saya sendiri menemukan gejala-gejala menarik di tengah kegalauan sebagian pihak yang sudah saya sampaikan dalam kolom minggu lalu.
Juga ditemukan fakta adanya perusahaan yang penjualannya turun namun keuntungannya naik. Hero misalnya (keuntungan sebelum pajaknya malah naik 341 persen). Sebaliknya Mayora yang penjualannya tumbuh hanya 1,2 persen, operating profitnya sudah minus 17 persen.
Apakah prestasi yang dicapai masing-masing perusahaan itu cerminan dari daya beli pasar pada segmen yang digeluti masing-masing pelaku usaha atau kualitas inovasi dan manajerialnya?
Ini tentu menjadi PR bagi para pelaku usaha, pemerintah dan peneliti agar tidak menimbulkan kebingungan.
Ini menjadi penting sebab bila eksekutif “salah membaca” dan beranggapan penurunan pendapatannya karena daya beli, maka ia akan memilih menunggu, bukan berinovasi atau memperbaiki business process-nya. Sebab mereka pikir, daya beli itu ada di luar kendalinya.
Pertanyaannya, andaikan benar itu masalah daya beli, apakah penjualannya kelak akan kembali lagi setelah daya beli membaik?
Shifting Masih Terus Berlanjut
Maaf, saya perlu mengingatkan para eksekutif dan regulator agar lebih berhati-hati membaca sinyal-sinyal lembut perubahan yang terjadi kali ini.
Perubahan kali ini bersifat disruptif, bukan kontinum. Ia mengubah platform, bukan renovasi sesaat. Dan ia bisa merobohkan pelaku-pelaku lama (incumbent), seberapa pun kuatnya brand, reputasi atau penerapan countinuous innovation.
Amati terus inovasi disruptif yang berpotensi menghancurkan lapangan pekerjaan kalau dikendalikan dari luar secara agresif.
Maka, selain aspek daya beli atau keinginan membeli yang perlu terus didalami itu kita masih akan mendengar nama-nama besar yang berpotensi bertumbangan walaupun saat ini masih menuai banyak keuntungan. Inovasi para pendatang baru yang masih kecil yang terkesan \”membakar uang\” jelas tak bisa diabaikan.
Harap Anda membacanya dengan penuh hati-hati. Sebab saat penjualannya turun besar-besaran dan harus dialihkan ke Microsoft, Nokia (2013) tak berani menyalahkan daya beli. Walaupun pada saat yang sama, Kodak (2013) juga bangkrut.
Lalu tahun-tahun berikutnya (2016), penjualan hampir semua toko ritel di Amerika Serikat juga ikut turun dan ratusan outlet toko milik Wallmart, Macy’s, Kohl’s, Sears ditutup di banyak lokasi. Padahal, di Amerika Serikat, Forrester dan eMarketer memperkirakan bisnis retail online di AS pada akhir tahun ini baru mencapai sekitar 440 miliar dollar AS atau kurang dari 8 persen dari total sales retail.
Namun, meski persentasenya kecil, secara empiris hal itu sudah terbukti cukup melumpuhkan retailer-retailer konvensional besar di Amerika Serikat. Mungkinkah itu juga yang tengah terjadi di sini? Ia bisa saja menghancurkan secara selektif.
Lawan Dengan Inovasi
Perhatikanlah, saat diserahkan kepada Microsoft, CEO Nokia Stephen Elop berkata, “Tak ada keputusan manajerial yang salah, tetapi kita tiba-tiba merugi, kehilangan.”
Lalu PM Finlandia Alexander Stubb menyatakan penyebab rontoknya ekonomi negerinya ada pada Apple, yang mengakibatkan rating pinjaman negeri itu diturunkan Standard & Poor dari AAA ke AA+. “…..iPhone killed Nokia and the iPad killed the Finnish paper industry… “ Namun ia menyambutnya secara positif: “We’ll make a comeback,” lanjutnya.
Begitulah shifting terjadi. Bagi bangsa yang menghargai inovasi, ancaman dan gempuran tak dihadapi dengan tangisan, melainkan sikap produktif-inovatif.
Di lain pihak, shifting itu tak hanya terjadi dari dunia konvesional ke dunia online. Ia bisa terjadi dari satu pelaku ke pelaku lainnya. Waktu berjalan, ekonomi suatu bangsa berubah, teknologi berubah, generasi baru berdatangan dan gaya hidup ikut berubah.
Sama seperti Anda sebagai konsumen melakukan shifting dari membeli mobil bekas ke mobil baru, dari sepeda motor ke mobil LCGC, dari berobat di puskesmas ke rumah sakit, dari asuransi ke BPJS kesehatan (dan sebaliknya), dari rumah susun ke apartemen, dari beras ke mie instan, dari masak sendiri di rumah ke restoran, dari telepon kabel ke telepon genggam, dari tv berantena ke tv kabel, dan seterusnya.
Sekali lagi, pendapatan berubah, konsumsi berubah. Teknologi baru berdatangan memperluas pilihan. Gaya hidup mengubah banyak hal.
Oleh sebab itulah, penting bagi BPS, pemerintah dan para ekonom belajar kembali dan memotret habis perubahan gaya hidup masyarakat lebih sering lagi dan membangun tradisi inovasi.
Dan, karena kita hidup di negri kepulauan yang ekonominya beragam, sudah pasti potret ekonominya perlu dikelompokkan agar mudah dibandingkan. Rentang waktu 5 tahun untuk memotret gaya hidup yang digeneralisasikan kota-desa dan pusat-daerah, sama sekali tak cukup. Jangan lupa kota-kota kecil telah berubah menjadi daerah urban yang padat.
Jadi shifting itu bukan semata-mata terjadi dari “konvensional” ke “online”. Konsumen bisa pindah dari pelanggan Rumah Sakit A ke B yang jaringannya lebih luas dan teknologinya up to date; dari sepeda motor buatan Jepang ke LCGC dan mobil-mobil murah buatan China; dari mainan anak-anak fisik (boneka dan mainan) ke fun games dan gym anak-anak; dari gedung perkantoran ke perumahan dan seterusnya.
Disruption terjadi dalam dua kategori. Pertama, pasar yang di bawah (low-end market) yang bisa menggerus pelaku usaha yang menbidik di atasnya. Atau yang kedua, benar-benar menciptakan pasar yang benar-benar baru.
Keduanya sama-sama berpotensi memindahkan rezeki yang bisa menghancurkan masa depan incumbents yang sudah bersusah payah membangun pasar dan menciptakan lapangan pekerjaan besar.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan