Man, Bukan Hanya Gun – Tabloid ASSET

Banyak orang menganggap ungkapan man behind the gun sudah usang. Sudah tidak berlaku lagi, terlebih di era persaingan bisnis yang hypercompetitive dan disruptive sebagaimana terjadi di sana-sini. Jadi, man penting, tapi yang lebih penting adalah gun-nya. Katanya ini era teknologi. Maka, alatnya mesti canggih dan lengkap.

Betulkah? Saya suka nonton film. Dan, kita bisa melihat potret semacam itu dalam beberapa film. Misalnya, dalam film The Last Samurai atau The Maginificent Seven. Dengan senjata yang mampu memuntahkan peluru secara terus menerus (kalau sekarang disebut senapan mesin), penguasa yang jahat mampu melumpuhkan perlawanan (sementara) para hero.

Di era modern seperti sekarang, meski tak ada lagi perang dalam skala besar, senjata juga masih menentukan. Maka, senjata dibuat secanggih mungkin dengan harapan membuat lawan takut dan akhirnya menjadi tak perlu digunakan.

Pada ajang lain, seperti lomba balap jet darat F1, teknologi memainkan peran penting. Bahkan dominan. Kemampuan pembalap dalam memacu mobilnya mungkin hanya tinggal 30%, sementara sisanya diatur oleh teknologi yang dikendalikan di paddock.

Dalam bisnis minyak dan gas (migas), teknologi dan kapital menjadi segala-galanya. Bisnis migas adalah bisnis padat teknologi dan padat modal. Hadirnya teknologi baru akan mengubah peta bisnis. Contohnya, hadirnya teknologi fracking yang bukan hanya membuat industri migas dunia terdisrupsi, tetapi mengubah tatanan geopolitik global.

Hadirnya teknologi ini membuat produksi migas di Amerika Serikat (AS) menjadi berlimpah. Kini, untuk mencukupi kebutuhan energinya, AS tak lagi tergantung pada impor dari negara-negara Teluk.

Begitukah?

Memukul Balik

Supaya seimbang, saya ajak Anda untuk melihat dari perspektif yang lain. Kalau tadi saya buka dengan film, kali ini saya juga akan menggunakan film sebagai penyeimbang. Kali ini judulnya The Intern yang dibintangi oleh aktor favorit saya, Robert de Niro, yang berperan sebagai Ben Whittaker, seorang duda berusia 70-an tahun. Film ini mengusung taglineExperience Never Gets Old.”

Membaca tagline-nya, kita mungkin kita bisa dengan mudah menerka bahwa di sini ungkapan man behind the gun jelas masih sangat relevan. Itu betul. Film ini berkisah tentang Whittaker yang melamar sebagai tenaga magang pada sebuah perusahaan di industri kreatif.

Di perusahaan itu ia mesti bersaing dengan tenaga-tenaga muda. Anda tentu dengan cepat membayangkan bahwa Ben dengan cepat bakal tersingkir dari tempat kerjanya. Nyatanya tidak. Berbekal kesabarannya, perhatiannya yang tulus, kesediaannya untuk mengerjakan apa saja, dan pengalamannya yang kaya membuat Whittaker menjadi sosok yang bijak dan akhirnya mendapat tempat di perusahaan itu.

Jadi, di era sekarang ini man behind the gun ternyata masih mendapat tempat. SDM masih memainkan peran vital.

Mengandalkan teknologi juga bisa memukul balik. Ini menimpa AS. Mulanya kehadiran fracking membuat posisi AS begitu dominan dalam pasar migas dunia. Pasokan migas berlimpah yang berasal dari shale oil dan shale gas membuat AS tak lagi tergantung impor.

Namun, pasokan yang berlimpah tadi dengan segera membuat anjloknya harga migas menjadi tidak terkendali. Harga migas melorot tajam menjadi tinggal kurang dari separonya. Ini membuat biaya produksi migas di AS menjadi lebih tinggi dibanding harga jualnya.

Biaya produksi shale oil dan shale gas di AS rata-rata mencapai US$60 per barrel oil equivalent per day (boepd). Padahal, Anda tahu, saat ini harga minyak mentah di pasaran dunia masih berkisar US$50 per barrel. Akibatnya kini banyak produsen shale oil dan shale gas di AS yang terancam bangkrut.

Jadi kalau ada yang bilang ungkapan man behind the gun sudah ketinggalan zaman itu salah besar. Kalau ada yang beranggapan teknologi, sarana dan prasarana, termasuk fasilitas produksi, adalah segala-galanya, penentu kemenangan dalam persaingan bisnis, jelas anggapan semacam itu perlu segera dikoreksi.

Dalam bisnis apa pun, manusialah yang segala-galanya. Bukan modal, bukan teknologi, bukan sarana dan prasarana, bukan pula fasilitas produksi. Itu semua penting, tetapi bukan segala-galanya. Saya punya sepenggal kisah tentang hal ini.

Ibarat Manusia Uzur

Untuk itu saya ajak Anda menengok bisnis Pertamina di sektor hulu. Anda tahu, Pertamina mengelola ribuan sumur-sumur migas berusia lanjut yang kebanyakan peninggalan Belanda. Di sektor hulu ada perubahan orientasi. Kalau dulu orientasinya adalah produksi, produksi dan produksi. Migas mesti dihasilkan sebanyak mungkin, at any cost. Kini, seiring dengan turunnya harga migas di pasaran dunia, orientasi tersebut terpaksa digeser dari at any cost ke cost effective dan cost efficient.

Konsekuensinya banyak. Misalnya, anggaran mesti dipangkas—saya dengar bahkan sampai 40%. Sementara, di sisi lain, target volume produksi migas tidak berkurang, alias masih tetap sama. Bagaimana bisa? Di situlah tantangannya.

Supaya gambaran Anda lengkap, sumur-sumur tua perilakunya persis manusia. Kian tua, kian mudah sakit-sakitan. Misalnya, ada saja minyak atau gas yang bocor, sehingga bukan saja menimbulkan potensi kehilangan (loss), tetapi juga bisa mencemari lingkungan. Lalu, laju penurunan produksinya juga lumayan tinggi, serta bisa tiba-tiba mengalami shutdown. Jadi, mengelola sumur tua ibarat merawat manusia uzur.

Kombinasi faktor eksternal dan internal semacam inilah yang membuat rencana kerja harus dirombak. Bukan sedikit, tapi besar-besaran. Misalnya, pengeboran dan workover harus dilakukan lebih selektif. Dulu, Pertamina biasa mengebor 10 sumur di Sanga-sanga, namun sejak semester I-2016 hanya tinggal 3 sumur. Padahal, pengeboran berperan penting dalam peningkatan volume produksi migas.

Lalu, sumur-sumur yang dulu ditunda produksinya kini harus dihidupkan kembali. Inovasi, terobosan, kreativitas, dan semua fasilitas produksi dikerahkan habis-habisan.

Segala cara dilakukan agar keandalan fasilitas dan alat produksi tetap terjaga. Mulai dari pemasangan alat bantu, penggantian kabel dari semula tanpa selubung menjadi dengan selubung, sampai penggantian trafo untuk mengoptimalkan kinerja pompa injeksi. Detail sekali, dan sekaligus—kesan saya—heroik. Intinya tak ada lagi business as usual. Sudah tak bisa kalau kerjanya hanya biasa-biasa saja.

Catatan saya, pekerjaan semacam itu bukan hanya menuntut kreativitas, perencanaan yang matang dan eksekusi yang sungguh-sungguh. Bukan hanya itu. Faktor kuncinya adalah SDM. Maksud saya, seperti dalam kisah film The Intern tadi, SDM yang berpengalaman berperan penting. SDM semacam ini ibarat buah kelapa. Makin tua, makin banyak santannya. Jadi, jangan disia-siakan!

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *