“Businesses cannot be successful when the society around them fails.” Itu benar. Maka, tak heran kalau selama beberapa tahun belakangan saya menemukan semakin banyak perusahaan yang kian memahami bahwa nasib mereka di masa depan sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.
Jika lingkungan sekitar menjadi rusak, perusahaan pasti bakal ikut menanggung akibatnya. Jika masyarakat sekitar tidak berhenti mencela, perusahaan pasti sulit beroperasi. Dan, sebaliknya.
Peningkatan kesadaran ini tercermin juga dari maraknya pemberitaan tentang aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan. Seiring dengan itu, banyak lembaga, termasuk lembaga pemerintahan, kemudian memberikan apresiasi atas apa yang sudah dilakukan oleh banyak perusahaan melalui program CSR-nya. Itu, bagi saya, semacam positive incentives.
Meski begitu, saya juga menemukan masih banyak perusahaan yang menganggap aktivitas CSR sebagai komponen biaya (cost). Atau, sebagai “pemadam kebakaran”. Maksudnya, kegiatan CSR baru dilakukan setelah masyarakat sekitar marah atas kegiatan bisnis perusahaan. Bisa jadi karena kegiatan itu merusak lingkungan dan mengganggu masyarakat di sekitarnya.
Sebagian ada yang melakukan kegiatan CSR sebagai rintisan sebelum perusahaan hadir di suatu daerah. Harapannya kelak ketika perusahaan hadir, masyarakat sekitar sudah bisa menerima.
Saya kira sebagai sebuah strategi, berbagai manuver yang dilakukan perusahaan, itu sah-sah saja. Hanya, saya kuatir, hasilnya tak akan optimal.
CSR dan Strategi Perusahaan
Bicara soal CSR, dulu pernah mengemuka debat di kalangan korporasi. Untuk apa perusahaan melakukan CSR? Bukankah tugas utama perusahaan adalah mencari profit, bukan menangani urusan lingkungan dan sosial. Dua urusan itu biar ditangani pemerintah. Sementara, tugas perusahaan adalah mencari profit, sehingga mampu membayar pajak. Dana pajak itulah yang kemudian digunakan pemerintah untuk menangani masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup.
Itulah debat di waktu lalu. Kini, perusahaan sudah sangat paham tak akan pernah bisa beroperasi kalau aktivitas bisnisnya merusak lingkungan dan mengganggu masyarakat di sekitarnya.
Sementara, di sisi lain, juga begitu banyak bukti bahwa perusahaan yang menerapkan program CSR ternyata memberikan dampak positif. Porter, Christensen dan Kanter, ketiganya dari Harvard Business School, menemukan perusahaan yang berhasil mensinergikan program CSR-nya dengan strategi perusahaan ternyata mampu memberikan dampak positif yang jauh lebih besar, baik bagi masyarakat sekitar maupun perusahaan itu sendiri.
Banyak contoh soal ini. Misalnya, Grup April yang didirikan Sukanto Tanoto baru- baru ini melakukan terobosan yang menarik perhatian dunia di tengah bencana kebakaran di Riau. Grup ini menciptakan Program Desa Bebas Api. Masing-masing desa diberikan bantuan antara US$ 35.000 hingga $55.000 untuk membentuk komunitas pencegah api. Dengan begitu kini pengelolaan lahan gambut tumbuh dari bawah di lebih dari 55 desa dan berhasil menekan ancaman kebakaran hutan pada lahan gambut.
Contoh lain, Indofood mendidik para petani di Jawa Tengah untuk bertanam cabai yang baik dan benar. Cabai itu kemudian dibeli oleh Indofood. Lalu, Grup Cimory mendidik para peternak sapi di seputar kawasan Puncak, Bogor, untuk memberi pakan ternak dengan jenis dan takaran yang benar, serta menjaga kebersihan kandangnya. Hasilnya, produktivitas susu meningkat. Susu sapi itu kemudian dibeli oleh Cimory.
Kita tahu, hal serupa ini juga dilakukan oleh Pertamina. Baik di bisnis hulu maupun hilirnya. Memang tidak mudah. Apalagi bisnis migas adalah bisnis padat modal dan teknologi.
Perusahaan yang berbasis teknologi, seperti Microsoft atau Cisco, melakukannya dengan cara memberi pelatihan gratis kepada masyarakat sekitar. Mereka yang lulus memperoleh sertifikat. Dengan bermodalkan sertifikat, mereka bisa mencari kerja di berbagai perusahaan—termasuk mitra-mitra kerja Microsoft dan Cisco.
Dengan menimbang dampaknya, penting bagi perusahaan untuk mempunyai program CSR yang sustainable atau berkelanjutan. Sebab banyak perusahaan yang ketika pendapatannya terpangkas, mereka langsung memotong anggaran CSR-nya. Ini, menurut saya, bukan potret program CSR yang berkelanjutan.
Era Berbagi
Ini eranya berbagi seperti yang dulu digagas lewat ekonomi gotong royongnya Bung Hatta. Namun, bukan dengan charity atau philanthropy, melainkan lewat berbagai aktivitas yang memberdayakan masyarakat sekitar. Bagaimana bentuknya? Saya berikan contohnya.
Di Desa Wonocolo di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, masih banyak warga yang menggantungkan hidupnya pada sumur-sumur minyak tua. Sumur-sumur itu tidak ekonomis lagi jika dikelola oleh perusahaan. Usianya sudah lebih dari 100 tahun dan cadangan minyaknya juga sudah terlalu sedikit.
Pada saatnya cadangan minyak di sumur itu pasti habis. Lalu, bagaimana dengan nasib warga desa?
Maka, bersama dengan masyarakat di sana, pihak Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan segenap stakeholders, Pertamina menggagas wisata migas yang disebut Petroleum Geoheritage Wonocolo. Produk yang mereka jual adalah keunikan struktur geologi di Desa Wonocolo. Di sana para wisatawan akan diajak melihat penambangan tradisional yang eksotik, tiang-tiang penyangga kayu, dan pengoperasian sumur minyak secara tradisional. Lalu, ada trek untuk mobil Jeep, sepeda motor trail dan sepeda. Semuanya itu milik warga. Dengan berwisata ke sana, kita bisa membayangkan bagaimana industri migas Indonesia pada masa lampau.
Petroleum Geoheritage Wonocolo adalah pusat wisata migas pertama di Indonesia. Kalau ini berhasil, saya yakin, konsep yang sama bisa direplikasi di berbagai sumur migas lainnya di seluruh Indonesia.
Kalau perusahaan-perusahaan di Indonesia bisa beroperasi dengan ramah lingkungan dan mampu memberdayakan masyarakat di sekitarnya, saya yakin, inilah yang disebut dengan Blessing Company. “The business of business should not be about money. It should be about responsibility. It should be about public good, not private greed,” kata Anita Roddick, pendiri The Body Shop. Anda setuju, bukan?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan