Perang Mata Uang dan Bisnis Kita – Koran Sindo

Dunia kita yang kecil ini rupanya tak pernah lelah berperang. Bentuk dan motifnya bermacam- macam, tapi yang jelas perang dapat menyengsarakan dan menguras kesejahteraan bangsa.

Demikian pula perang baru yang dijalankan tanpa serbuan militer secara langsung: perang mata uang. Ini benar-benar canggih dan dapat menghancurkan kondisi moril dan spirit ekonomi suatu bangsa. Lantas, sudah siapkah kita dengan pasukannya? Layaknya peperangan, suatu bangsa harus bersatu.

Tapi ini perang mata uang yang di dalamnya ada banyak kepentingan dan motif ekonomi. Selain saling melemahkan, kita bisa kelelahan diguncang kepanikan. Padahal kepanikan itu dapat berakibat wealth transfer : perpindahan kekayaan dalam sekejap!

Menguras Emas 

Anda masih ingat dengan kisah Perang Troya di era Yunani Kuno? Paris, pangeran dari Kerajaan Yunani Mycenaean, tak tahan melihat kecantikan Helena, istri Menelaus, Raja Sparta. Paris pun kemudian menculik Helena. Maklum, Yunani kala itu tengah dilanda kesombongan ekonomi.

Cadangan emasnya dikenal amat besar dan sanggup untuk membiayai pasukan militer yang kuat. Menelaus murka. Harga dirinya terluka. Ia kemudian menggalang aliansi dengan berbagai kerajaan di sekitarnya untuk menyerbu Yunani. Selama 10 tahun pasukan Sparta berperang menembus tembok Kerajaan Yunani yang tebal. Tapi gagal. Mereka lalu memakai siasat lain, Kuda Troya.

Sparta berhasil. Kerajaan Yunani puntakluk. EmasYunanitergerushabis. Mata uangnya yang semula dibuat dari emas perlahan-lahan dicampur dengan perunggu hingga emasnya tak kelihatan. Yunani harus mencetak uang lebih banyak untuk membiayai perang. Itu baru satu perang.

Masih banyak lagi perang-perang lain di bumi kita ini dengan beragam bentuk dan alasan. Secara umum kita mengenal tiga alasan mengapa orang atau suatu negara berperang. Pertama, motif ekonomi. Perang ini terutama dilakukan untuk memperebutkan sumber daya seperti emas, perak, minyak dan gas, akses pasar atau memperoleh bahan mentah.

Contoh paling aktual adalah Perang Teluk. Kedua, perang untuk alasan keamanan. Banyak negara yang memilih menyerang terlebih dahulu sebelum dirinya diserang. Atau mereka menyerang lebih dulu untuk melindungi kepentingan negaranya. Contohnya ketika Amerika Serikat (AS) menyerang Irak untuk mencari senjata pemusnah massal yang kabarnya dikembangkan oleh pemerintahan Saddam Husein.

Ketiga, perang agama dan ideologi. Misalnya di masa lalu pernah terjadi Perang Salib atau Perang Badar. Lalu belakangan menjadi perang dingin antara kapitalisme dengan Marxisme. Baiklah, saya tak mau membahas terlalu banyak soal ini. Saya mau mengajak Anda untuk langsung bicara mengenai perang terbaru yang sudah dan tengah kita jalani sesuai dengan judul kolom ini.

Membuka Kotak Pandora 

Esensinya masih sama, yakni melindungi kepentingan negara. Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam sehingga kadang kita tidak sadar bahwa kita sebetulnya sudah berada di dalamnya. Kotak pandora currency war sebenarnya sudah terjadi sejak 1971. Supaya jelas, saya ajak Anda menengok sejenak ke belakang. Semasa kanak-kanak kita sering bermain balon.

Untuk menjaga agar balon tidak terbang lepas, kita mengikatnya dengan tali yang diberi bandul batu. Seperti itulah sebetulnya prinsip yang dianut oleh sejumlah negara ketika mereka menandatangani kesepakatan yang dicapai dalam konferensi Bretton Woods pada 1944 di New Hampshire, AS, yang kebetulan diprakarsai AS dan Inggris.

Hanya saja bandulnya disepakati bukan batu, melainkan emas. Untuk menyegarkan ingatan Anda, konferensi Bretton Woods ini pula yang melahirkan organisasi internasional semacam IMF, Bank Dunia, dan WTO. Konferensi itu menghasilkan kesepakatan, jika suatu negara ingin mencetak uang baru, mereka mesti mem-backup -nya dengan cadangan emas.

Konversinya kurang lebih setiap kali mencetak uang senilai USD35, negara itu mesti mem-back-up -nya dengan cadangan emas seberat satu ons. Tapi, persis seperti syair lagu, ”… kau yang berjanji, kau yang mengingkari, kau yang mulai, kau yang mengakhiri …,” AS yang memprakarsai kesepakatan Bretton Woods, AS pula yang menghancurkannya. Itu terjadi pada 1971, di era pemerintahan Richard Nixon.

Mengapa Presiden Nixon melakukan itu? Pasca-Perang Vietnam, ekonomi AS betul-betul terpuruk. Mereka kekurangan banyak uang. Maka, untuk memulihkan perekonomiannya, AS pun memutuskan untuk mencetak uang melebihi cadangan emas yang dimilikinya. Persis seperti yang dilakukan Yunani di zaman kuno dulu yang mengganti emas dengan perunggu. Ini artinya AS melanggar konferensi Bretton Woods. Anda mungkin mengutuk langkah Nixon.

Tapi saya sangat menghargai keberaniannya. Dan begitulah AS. Kalau sudah bicara soal kepentingan negara, bahkan kepentingan setiap warga negaranya, apa pun mereka lakukan. Langkah AS itu jelas memicu kemarahan negara-negara Eropa. Mereka pun memutuskan untuk menarik cadangan emasnya yang disimpan di Fort Knox, AS. Kondisi inilah yang membuat sistem Bretton Woods resmi bubar pada 1976.

Momentum Mengundang Investor 

Apa yang dilakukan AS pada 1971 adalah salah satu bentuk dari currency war. Dan celakanya dunia membutuhkan hard currency, mata uang yang bisa dipakai sebagai acuan. Dan uang itu diterima secara luas: dolar Amerika. Umumnya kita memahami currency war dengan cara sederhana, yakni seperti yang dilakukan China saat negara tersebut mendevaluasi mata uangnya, Yuan, yang membuat AS berang.

Devaluasi adalah langkah untuk membuat mata uang suatu negara menjadi lebih lemah dibandingkan dengan mata uang negara-negara lainnya. Perlu dipahami bahwa mata uang suatu negara yang menguat tidak selalu baik bagi perekonomian negara tersebut. Mindset seperti inilah yang belum kita miliki.

Maka, kita gelisah setengah mati ketika rupiah terus melemah dan bahkan menembus Rp14.500 per dolar AS. Kritik dan keluhan pun berhamburan. Itulah mindset negeri konsumsi: takut menjadi kurang mampu berbelanja. Padahal, dengan menguatnya mata uang, ekspor negara tersebut bisa menjadi kurang kompetitif di pasar global. Sebaliknya impor malah bisa meningkat. Ini yang tengah dialami AS.

Makanya ada banyak nyanyian sendu yang dilakukan ekonom India dan China yang merasa dikelabui Amerika: kami yang bersusah payah menabung, kalian enak-enaknya berbelanja. Tapi, apa boleh buat, ekonomi Amerika memang sedang bagus-bagusnya: bujet defisitnya menurun, surplusnya bagus, inflasi rendah, penyerapan tenaga kerja membaik.

Nah, kini Anda paham, bukan, mata uang yang kuat bisa mendorong bangsa tersebut menjadi lebih konsumtif, bukan produktif. Langkah China mendevaluasi mata uangnya harus kita pahami bukan hanya sebagai upaya mendorong ekspor, tetapi juga membuat bangsanya menjadi lebih produktif. Sekaligus juga mengerem laju konsumsi barang-barang impor.

Impor barang konsumsi yang berlebihan jelas bisa menguras cadangan devisa. Ada banyak langkah yang bisa dilakukan suatu negara untuk membuat mata uangnya jadi melemah. Ada devaluasi seperti yang dilakukan China. Langkah yang lebih ”halus” dilakukan AS pada 2008 melalui program yang dikenal dengan sebutan Quantitative Easing dan belakanganTappering Off.

AS melakukan Tappering Off dengan membeli kembali obligasi di pasar uang. Dengan cara seperti ini, Pemerintah AS menyuntikkan dana segar ke pasar. Dana itulah yang kemudian dipakai perusahaan-perusahaan AS dan masyarakat di sana untuk membiayai berbagai kegiatan produktif lainnya. Lalu pelonggaran likuiditas melalui Quantitative Easing juga dilakukan AS dengan mencetak uang-uang baru.

AS kebanjiran uang. Dana itu dipakai untuk membiayai upaya pemulihan ekonomi AS yang sejak 2008 terpuruk akibat krisis. Sebagian uang itu juga mengalir ke Indonesia, di antaranya masuk ke pasar modal. Itu dilakukan dengan memotong suku bunga sehingga orang jadi tidak tertarik menabung dan uang pun masuk ke pasar untuk membiayai kegiatan- kegiatan produktif.

Nah, ketika China ekonominya melambat, yang terkena dampaknya pasti kita yang menjadi pemasok komoditas. Kalau komoditas ini kita jual dengan harga murah ke pasar di negara lain, maka kekayaan kita pun berpindah. Mata uang bisa membuat kita susah kalau kita pun memercayai kekuatannya. Ia menjadi seperti berhala yang menyihir mata kita.

Maksud saya, mata uang yang tak dibanduli emas di negerinya diyakinkan kepada kita sebagai emas, lalu kita memercayainya itu adalah emas. Padahal ia melambung tinggi ke awan seorang diri karena ia tak lagi dibanduli apa-apa. Ketika mereka mengatakan emas, kita pun mengimaninya. Kita pun menahannya dan mendoakan agar ia terbang lebih tinggi lagi karena kita menyangka dia emas dan bisa membuat pemiliknya kaya.

Faktanya, balon-balon yang terbang tinggi itu kelak akan kempis juga. Ia bisa terpenetrasi oleh hidrogen yang berubah menjadi air, lalu jatuh terempas. Kapan ia akan jatuh? Nobody knows. Yang jelas ini perang mata uang, yang kelak akan berujung pada kesulitan. Kalau Anda tanya kita harus bagaimana? Saya hanya bisa bilang, kini kita hidup dalam peradaban borderless dan semua orang bisa berdagang tanpa dolar. Kalau cuma dolar Amerika yang terbang tinggi, mengapa kita harus terus menangisinya?

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

2 thoughts on “Perang Mata Uang dan Bisnis Kita – Koran Sindo”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *