Kita Sudah Kerja Keras, Sekarang Apa Lagi? – Koran Sindo

Dulu, beberapa komoditas kita pernah menjadi pemain kelas dunia. Maksudnya, posisi ekspor komoditas kita sangat menentukan di pasar internasional, tetapi perlahan-lahan tergusur oleh negara-negara yang lahannya tak sebesar kita.

Sebut saja timah, kakao, CPO, kayu manis, pala, karet, kopi, dan beberapa produk mineral. Untuk sekadar diketahui, sampai saat ini kita masih menjadi eksportir timah terbesar di dunia, tetapi volume produksi timah kita masih kalah dari China. Meski demikian, sebagian besar produksi timah China dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Hanya sedikit yang diekspor. Sebaliknya dengan kita. Volume produksi timah kita mencapai 100.000 metrik ton per tahun, tetapi hampir 95%-nya dijual ke pasar ekspor.

Hanya 5% yang kita konsumsi sendiri. Artinya kita belum cukup membangun industri hilirnya. Ini penting saat kita memaksa industri tambang kita membangun smelter. Pertanyaannya, siapa yang mau pakai output -nya? Baiklah, kita renungkan hal itu. Tapi posisi kita di pasar timah internasional sangat berpengaruh. Kalau produksi timah kita sampai terganggu, harga di pasar dunia tentu bakal bergejolak. Komoditas kita lainnya yang merajai pasar dunia adalah crude palm oil alias CPO.

Bersama Malaysia, kita menguasai sekitar 85% pasar ekspor CPO dunia. Menjelang 1990-an, produksi CPO kita memang masih kalah dari Malaysia. Tapi, lahan di Malaysia sangat terbatas. Sementara lahan kita yang bisa dikonversi menjadi perkebunan sawit masih sangat luas. Sampai tahun lalu luas lahan perkebunan sawit kita mencapai lebih dari 10,2 juta hektare. Produksi CPO kita juga sudah menembus 31 juta metrik ton, jauh meninggalkan Malaysia.

Kita mengekspor CPO terutama ke China dan India. Tapi mengapa produk turunannya masih amat terbatas? Kita juga masih punya karet. Sampai saat ini kita masih menjadi eksportir karet terbesar kedua di dunia. Ekspor karet kita hanya kalah dari Thailand. Kita mengekspor karet ke Amerika Serikat, China, dan Jepang. Beberapa komoditas kita lainnya saat ini juga masih berperan menentukan di pasar dunia. Biji kakao, misalnya, kita menjadi produsen terbesar ketiga di dunia.

Kita masih kalah dari Pantai Gading dan Ghana. Sama dengan pala yang masih kalah dari negeri kepulauan yang amat kecil: Granada. Ekspor kopi kita juga menempati peringkat ketujuh di dunia. Di sini kita masih kalah dari Brasil yang menjadi produsen dan eksportir utama kopi dunia. Tapi, untuk minyak atsiri, yang menjadi bahan baku pembuatan parfum, ekspor kita sampai saat ini masih yang terbesar di dunia. Pada komoditas yang berbasis mineral, misalnya, volume ekspor kita juga masih sangat menentukan.

Kita masih menjadi eksportir batu bara terbesar kedua di dunia. Lalu ekspor nikel kita juga terbesar keempat di dunia. Kita juga mengekspor bauksit, bijih besi, gas, tembaga, emas, dan berbagai mineral lain dalam volume yang menentukan di pasar dunia.

Kerja Keras vs Kerja Cerdas 

Melihat kinerja ekspor sejumlah komoditas tadi kita tentu senang. Itu jelas hasil kerja keras anak-anak bangsa. Hasil kerja keras kita semua. Tapi, apakah kita sudah puas dengan kerja keras tersebut? Rasanya belum. Mengapa? Mari kita lihat untuk komoditas timah. Meski kita menjadi eksportir timah terbesar di dunia, bukan kita yang menentukan harganya.

Harga timah masih ditentukan bursa timah dunia yang dikendalikan oleh dua negara, yakni Malaysia dan Inggris. Begitu pula dengan CPO. Harga CPO dunia ditentukan di bursa Rotterdam, Belanda. Di sana pengendali utama bursa masih Malaysia. Didalamnegeri bahkanharga biji kakao kita ditentukan oleh para pedagang dari Singapura. Setiap kali menjelang panen kakao, para pedagang dari negeri jiran tersebut langsung masuk ke pelosok-pelosok daerah yang menjadi produsen utama Indonesia.

Mereka memborong kakao dari para petani kita. Saya tak akan membahas untuk komoditas-komoditas lain. Kalau terhadap dua komoditas utama saja kita belum menjadi penentu harga, tentu kondisinya kurang lebih serupa untuk komoditas-komoditas lain. Itu artinya kerja kita belum selesai. Kita sudah bekerja keras, tetapi masih perlu bekerja lebih cerdas. Seperti apa kerja cerdasnya?

Kerja cerdas tidak mungkin bisa dilakukan jika kita tak pernah merasakan berhasil atau gagal. Hanya orang, maaf, bodoh yang mengatakan bahwa kerja cerdas itumudah. Buat saya, kerjacerdas harusdimulaidengankerjakeras. Sederhananya, kita harus memulainya dengan kerja keras terlebih dahulu. Harus dimulai dengan melengkapi prasarananya secara agresif, juga kualitas manusianya. Bila perlu datangkan dari luar yang the best untuk tinggal dan bekerja di sini. Ya, yang terbaik.

Bukan yang buruh kasarnya. Jadi, bisa dengan metode turun bertahap, dari 90% kerja keras, 10% kerja cerdas. Lalu, turun lagi menjadi 80%:20%, 70%:30%, dan seterusnya sampai mungkin komposisinya menjadi 30%:70% atau bahkan 10%:90%. Jadi kalau dulu kita bekerja keras sampai tidak memiliki waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan lain. Seluruhnya habis untuk bekerja.

Sementara, dengan bekerja cerdas, kita masih waktu dan tenaga untuk melakukan apa saja di luar pekerjaan, tetapi tetap memperoleh hasil yang sama. Soal kerja keras dan kerja cerdas, kita bisa dengan sederhana melihatnya dari warna pakaian. Mereka yang pekerja keras biasanya disebut dengan pekerja kerah biru atau blue collar.

Kita mungkin bisa menyebutnya dengan istilah karyawan pabrik. Adapun para pekerja cerdas biasanya disebut white collar atau yang berkerah putih. Mereka biasa disebut dengan pekerja kantoran. Keduanya mungkin sama-sama bekerja delapan jam per hari, tapi penghasilannya bisa sangat berbeda.

Kerja Cerdas dan Komoditas Kita 

Lalu, apa kaitan kerja cerdas dengan sejumlah komoditas tadi? Buat saya, sederhana saja. Kalau kita bisa seperti Malaysia, itu artinya kita sudah bekerja lebih cerdas. Malaysia sekarang produsen CPO kedua terbesar di dunia. Kita nomor satu. Tapi, justru Malaysia yang menjadi pengendali pasar CPO dunia.

Malaysia juga bukan produsen utama timah dunia. Tapi, negara itu mampu menjadi pengendali harga timah. Bisakah kita sebagai eksportir utama CPO dan timah sekaligus menjadi pengendali harganya? Kalau bisa, itu artinya kita sudah bekerja lebih cerdas. Kita bukan lagi menjadi negara produsen, tetapisudahnaikkelas menjadi negara dagang. Ya inilah kendalanya negeri komoditas, terlalu asyik dengan hasil alam. Padahal yang menikmati hasilnya adalah para pengolah dan pedagang.

Dan untuk menjadi negeri dagang kita harus membangun institusi dagang yang kuat dengan berbagai kelengkapan mulai dari riset, statistik, pusat keuangan dan asuransi, gudang skala besar yang modern, akademi, kapal dan pelabuhan kelas dunia, cyber city, jurnal dan publikasi, standardisasi, transparansi dan akuntabilitas hingga penegakan hukum dan insentif yang menarik.

Artinya itu bukan urusan satu dua orang, bukan cuma urusan eksportir, tetapi sebuah karya besar visioner yang digarap lintas bidang. Dan kita akan bisa menuju ke sana kalau saja ada yang mau merumuskannya, menurunkannya, bekerja dengan visi dan perubahan. Bukan kerjaan reaktif seperti yang dilakukan kebanyakan pejabat dewasa ini. Sejak dulu kita mengklaim posisi kita sangat strategis. Tapi, sudahkah kita memainkan peran yang strategis?

Singapura tidak punya cadangan minyak bumi. Meski begitu 40% perdagangan minyak dunia harus melewati negara itu. Mengapa bisa? Jawabannya karena mereka bekerja cerdas dengan membangun semua kelengkapan yang saya sebutkan di atas. Tambahan pula, politiknya tidak bising dan kekuatan sipilnya bersatu, bukan saling adu domba seperti yang belakangan marak kita saksikan di sini. Saya yakin kalau bisa bekerja dengan cerdas, kita akan bisa melampaui Singapura. Ayo kerja!

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *