Misfit vs Problem Solver – Koran Sindo

”Jika Anda mengambil 20 karyawan terbaik Microsoft, saya pastikan Microsoft (dengan sisa karyawannya) akan menjadi perusahaan yang sama sekali tidak penting.

”Kalimat tersebut sejatinya keluar dari mulut Bill Gates, pendiri yang juga pemilik Microsoft, tetapi kini pantas diucapkan oleh hampir semua taipan papan atas Indonesia. Nasib mereka ada di tangan orang-orang penting yang loyal, gesit, dan berdedikasi. Bagi sebagian kita, ucapan Bill Gates tadi mungkin terdengar mengejutkan.

Bagaimana mungkin perusahaan sebesar Microsoft, yang pada tahun 2014 mampu membukukan pendapatan USD77,85 miliar, profit USD21,86 miliar, dan memiliki 122.935 karyawan yang tersebar di seluruh dunia, hanya bergantung kepada segelintir orang? Nyatanya begitu. Setidak-tidaknya jika kita percaya pada pengakuan Bill Gates. Namun sejatinya fenomena semacam itu tak hanya terjadi di Microsoft, tetapi juga pada hampir semua perusahaan.

Baik perusahaan multinasional sekelas Microsoft maupun yang hanya berskala nasional. Lalu, siapakah kelompok 20 orang terbaik tersebut? Kita pakai saja formula Jack Welch. Menurut mantan CEO General Electric tersebut, dari seluruh karyawan perusahaan, sebanyak 20% merupakan top performer (bahkan dalam banyak hal, hukum Pareto ini dapat difokuskan lagi menjadi hanya 0,1%), lalu 70% akan menjadi middle performer, dan 10% sisanya adalah low performer.

Agak mirip dengan ucapan George Barnard Shaw yang menyebutkan hanya 2% manusia yang benar-benar mau berpikir dalam hidup ini. Nah mereka yang berpikir itulah yang mencari jalan, memimpin perubahan, mengambil inisiatif dan risiko, serta menemukan masa depan. Banyak perusahaan menyebut kelompok top performer dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya winning team, key persons, champion team, atau superkeepers.

Adapun saya menyebutnya sebagai great drivers (lihat buku Self Driving, 2014). Apa pun sebutannya dan berapa pun persentasenya (yang jelas mereka adalah bagian yang amat kecil), orang-orang pilihan itu adalah harta tak kelihatan yang menjadi kekayaan perusahaan. Mereka mempunyai kinerja prima dan mampu menginspirasi koleganya. Inilah sosok- sosok yang dinilai mampu membangun kompetensi utama perusahaan.

Dalam kasus Microsoft, mereka adalah orang-orang yang tahu betul software yang kelak menjadi kebutuhan masyarakat. Lalu, tahu bagaimana menciptakan kebutuhan, kapan mesti diluncurkan, perusahaan mana yang mesti diakuisisi untuk mewujudkan gagasan tersebut, dan memastikan bahwa software tersebut tak memiliki pesaing. Jadi, mereka bukan sekadar sekelompok orang yang mengantisipasi datangnya masa depan, melainkan menciptakan masa depan itu sendiri.

Mereka bukan mengantisipasi permintaan, tetapi justru menciptakan permintaan. Bagi banyak perusahaan, ternyata gampang-gampang susah mengenali orang-orang unggulan yang seperti ini. Sebab selain jumlahnya tidak banyak, mereka biasanya kurang suka menonjolkan diri. Mereka kurang suka banyak bicara karena terlalu asyik bekerja. Jadi bekerja adalah passion mereka.

Mereka biasanya juga memiliki mindset sebagai problem solvers. Kalau ada masalah, orientasinya bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan yang lebih penting lagi bagaimana memperbaikinya. Apa yang mereka lakukan ini mirip dengan ungkapan Betty Williams, pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 1976, ”There’s no use talking about the problem unless you talk about the solution.”

Suka Mencari Kesalahan 

Di dunia ini kita hidup berpasang- pasangan. Jika ada siang, tentu ada malam. Jika ada putih, ada pula warna hitam. Ada pro, ada pula yang kontra. Begitupula untuk the winning team atau para great driver, mereka juga memiliki pasangannya. Oleh sebagian perusahaan pasangannya itu disebut sebagai thefatalist, the losser, trouble maker atau kalau Lance Berger & Dorothy Berger biasa mengistilahkan mereka dengan sebutan misfit.

Saya menyebutnya sebagai bad passengers dan bad drivers. Ada yang bermental driver, tetapi perilakunya merusak, hanya menggosok orang lain agar menentang atau melakukan tindakan tak produktif, banyak mengeluh dan mengambil energi orang lain. Adapun bad passengers, sudah cuma menumpang, merusak yang lain pula. Sama seperti tipe top performer, agak gampang-gampang susah mengidentifikasi tipe-tipe orang yang termasuk dalam kelompok misfit atau bad passengers (dan bad drivers) itu.

Kita butuh waktu yang cukup untuk membaca mereka. Di Rumah Perubahan kami perlu waktu tiga hari untuk mengajak mereka membuka diri dan merestorasi kembali mental itu. Itu pun sebaiknya diikat dengan program recoding DNA yang menjadi tugas para atasan begitu mereka kembali. Para misfit ini biasanya lebih suka mencari siapa yang salah dan sibuk membesar-besarkan masalah.

Mereka gampang mengeluh, selalu tidak puas. Komplain melulu. Mereka juga lebih suka melihat kelemahan orang lain ketimbang kelebihannya dan tak suka melihat orang sukses. Mereka ini biasanya juga kritikus ulung. Setelah kami pelajari, ternyata mereka sejatinya terdiri atas orang-orang yang butuh kasih sayang kita dengan segudang masalah batiniah.

Adapun perilaku buruknya yang diungkapkan secara terbuka ternyata hanyalah sebuah bentuk pengalihan saja dari rasa ”sakit”- nya yang tak terperikan. Bagi yang mengikuti ribut-ribut antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan DPRD, yang benar-benar tak ikut-ikutan secara ideologis atau bisnis, tentu kita bisa dengan mudah menemukan siapa misfit-nya.

Bagi Anda yang pernah menonton film In Good Company, mungkin bisa menemukannya dalam sosok Dan Foreman, seorang head of executive sales & advertising berusia 51 tahun. Itu dimulai ketika perusahaan Foreman diakuisisi dan dia dimutasi. Foreman ditempatkan sebagai bawahan dari seorang eksekutif bau kencur yang baru lulus sekolah yang usianya baru 26 tahun.

Coba bayangkan kalau Anda ditempatkan pada posisi Foreman: dulunya eksekutif andal, karena suasana berubah, segala kenikmatannya diambil orang lain, heroismenya pun beralih, membuatnya ia berbalik menjadi pembuat ulah. Menghadapi orang-orang yang seperti Foreman kini menjadi pengalaman yang biasa bagi saya. Itulah sebabnya mudah bagi saya mengidentifikasinya, seberapa pun mereka memasang topeng atau tipu muslihat.

Dalam membantu proses transformasi, hal seperti ini pun bisa kita atasi asalkan pemimpinnya teguh, tak buru-buru diganti, dan tentu saja bukan kompromi yang diambil. Bukannya apa-apa, banyak orang yang membacanya seakan-akan ini adalah konflik besar yang butuh juru damai. Padahal solusinya bukan kompromi, tetapi sebuah perubahan mendasar.

Sebetulnya tidak sulit-sulit amat menghadapi para misfit. Dalam beberapa segi, beberapa di antara mereka dapat kita ubah menjadi sumber daya. Para misfit ini tidak terbentuk dengan sendirinya. Juga tidak terbentuk seketika. Membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama sampai akhirnya mereka terbentuk menjadi seperti itu.

Menurut Dave Ulrich & Norm Smallwood (2004), sekitar 70% proses pembelajaran sebenarnya terjadi dalam aktivitas sehari-hari, dalam pekerjaan sehari-hari. Lalu, 20%-nya diperoleh lewat sharing pengalaman dan observasi, belajar dari para role model atau melalui proses mentoring.

Sementara yang 10% sisanya belajar dalam kelas-kelas formal, training, workshop atau seminar. Melihat besarnya porsi pembelajaran dari pekerjaan sehari-hari, penting bagi kita untuk sesegera mungkin mengoreksi kekeliruan. Membiarkan kekeliruan berlarut-larut akan membuat kita terbiasa, lalu membudaya dan akhirnya tertanam menjadi mindset. Kalau sudah begini, susah mengubahnya.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

1 thought on “Misfit vs Problem Solver – Koran Sindo”

  1. Saya sangat meresapi setiap kalimat dalam artikel ini, scientific base evidance, dan itu nyata ada di hampir semua entitas bisnis. Mata Hati yg terbuka akan menuntun kita menjadi “Good driver”.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *