Sekitar 65 juta tahun silam, dua asteroid menghantam bumi. Dampaknya Anda tentu pernah mendengar, yakni punahnya dinosaurus dan sejumlah makhluk mamalia lainnya.
Rupanya fenomena ala asteroid tersebut tak hanya terjadi sekali. Menurut Peter H Damianis dan Steven Kotler dalam bukunya BOLD: How to Go Big, Create Wealth and Impact The World (2014), fenomena tersebut bakal berulang. Hanya bentuk asteroidnya kali ini bukan lagi berupa bebatuan, melainkan teknologi.
Di antaranya teknologi digital. Fenomenanya ada di depan mata. Anda tentu kerap mendengar kata ”berubah” atau ”punah”. Maksudnya, kondisi memaksa kita untuk berubah. Jika tidak, kita bakal tersingkir. Contohnya tersebar di mana-mana. Di luar negeri, Anda tentu pernah mendengar nama Kodak, Nokia, Palm, Borders, RIM, Compaq, atau Circuit City. Nama-nama itu kini terlempar dari kancah persaingan bisnis. Itu pada level korporasi. Sekarang kita bahas level negara.
Ini soal tol laut yang didukung kluster industri dan ICT yang memadai. Bayangkan kalau Pelabuhan Sorong yang luasnya ribuan hektar kelak menjadi pelabuhan internasional. Bisa-bisa muatan dari PNG dan negara di sekitarnya yang akan menuju Pasifik beralih ke sana. Dalam kasus lain, beberapa waktu lalu, dalam wawancaranya dengan CNBC , PM Finlandia Alexander Stubb menyalahkan Apple atas merosotnya kinerja ekspor utama negaranya, yang berimbas pada anjloknya kinerja perekonomian.
Bayangkan apa jadinya bisnis pelabuhan Singapura dan Brisbane (Australia). Anda tentu bisa menduga-duga mengapa PM Stubb menyalahkan Apple. Saya kutipkan saja pernyataannya, ”iPhone telah membunuh Nokia dan iPad menghantam industri kertas kami.” Bisnis telekomunikasi, utamanya Nokia, dan kertas adalah dua andalan ekspor Finlandia.
Sepanjang 1998 sampai 2007, Nokia menyumbang kira-kira seperempat dari pertumbuhan ekonomi Finlandia. Lalu anggaran riset Nokia sendiri bisa mencapai 30% dari total anggaran riset negara itu. Kolega saya bercerita, begitu besarnya peran Nokia sehingga di negaranya mereka mendapat perlakuan khusus.
Di bandara, tamu-tamu Nokia tak perlu melewati prosedur kedatangan sebagaimana tamu-tamu biasa. Ada jalur khusus untuk mereka. Kini? Cobalah Anda tengok ke kanan-kiri. Siapa yang masih memakai ponsel atau smartphone merek Nokia? Padahal dulu ia menyandang label sebagai handphone sejuta umat.
Kini, dalam setiap kelompok, jumlah pemiliknya mungkin bisa dihitung dengan jari. Begitulah, hadirnya kebijakan baru dan inovasi teknologi mampu mengubah perilaku konsumen dan pada akhirnya mengguncang perekonomian suatu negara.
Perubahan Perilaku
Fenomena perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya teknologi baru, saya kira, bukan khas Finlandia. Itu terjadi di seluruh dunia, termasuk di negara kita. Belum lama ini saya membaca hasil survei tentang perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya smartphone. Ada dua yang saya catat. Pertama, sebanyak 95% responden menggunakan smartphone untuk melakukan sesuatu menjelang tidur.
Kedua, separuh dari responden ketika terbangun di tengah malam—apa yang mereka lakukan? Langsung mengecek smartphone -nya. Mirip bukan dengan yang terjadi di negara kita! Saya bisa menambah beberapa. Anda pernah mendengar kata twiplomacy ? Itu adalah diplomasi yang menggunakan media sosial Twitter. Beberapa pemimpin dunia menggunakannya.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Paus Franciscus dari Vatikan, bahkan Ratu Elizabeth asal Inggris dan PM Rusia Vladimir Putin. Di banyak negara, selfie menjadi fenomena yang luar biasa. Anda pernah mendengar cerita tentang Xenia Ignatyeva, seorang remaja Rusia yang berusia 17 tahun.
Saking tergila-gilanya dengan selfie dan untuk membuat teman-temannya terkesan, Xenia memanjat sebuah jembatan. Ia melakukan selfie dari ketinggian jembatan tersebut. Malang, keseimbangannya goyah dan Xenia pun terjatuh. Tubuhnya tersangkut di kabel listrik. Ia tewas. Kasus Xenia tentu tak layak ditiru. Tapi, siapa yang bisa membantah bahwa kita begitu tergila-gila melakukan selfie?
Bahkan saat mengunjungi pabrik telepon seluler di negaranya, Presiden Korea Utara pun berbaik hati mau ber-selfie ria dengan sejumlah karyawan di sana. Selfie mampu mencairkan kekakuan Kim Jong-un. Begitulah, teknologi mengubah perilaku kita. Bahkan bukan hanya itu. Teknologi digital membuat dunia hanya memiliki dua kewarganegaraan. Pertama, digital native.
Mereka adalah anak-anak kita yang sejak lahir langsung terkoneksi dengan teknologi digital tanpa perlu bersusah payah mempelajarinya. Merekalah pribumi di dunia digital ini. Ukuran pribumi bukan lagi tanah kelahiran, tapi tahun kelahiran dan apakah mereka mahir atau tidak berselancar di dunia digital.
Kedua, digital immigrant. Mereka adalah orang-orang tua, seperti kita, yang mesti bersusah payah untuk memahami berbagai produk digital. Sudah gaptek, serba telat, konservatif, gak tahu apa-apa, kaget-kaget, malas pula belajar dari bawah. Celakanya, di kantor-kantor generasi imigran ini justru tengah berkuasa. Lantas apa akibatnya bagi bisnis? Mudah saja. Terjadi generation gap yang lumayan memudarkan banyak perusahaan dalam menghadapi persaingan.
Ketika pasar beralih ke kaum muda, mereka masih berkutat di segmen tua yang berakibat perusahaan tampak tua dan kumuh, lalu perlahan-lahan transit, istirahat, lalu punah. Kedua , dunia ini diubah dan diperbarui oleh kaum muda.
Yang kalau karyanya tak tertampung di lumbung-lumbung dinosaurus tua yang branding -nya sudah kuat, mereka akan menciptakan platform sendiri dan menjadi ledakan asteroid baru yang menciptakan bisnis-bisnis baru. Itulah yang tengah terjadi di sektor keuangan dan perbankan yang dikuasai bankir-bankir tua. Maafkan saya harus mengatakan demikian.
Tengoklah kedatangan alat-alat pembayaran baru yang sama sekali bukan dikendalikan perbankan: Square, Pay Pal, Google Wallet, dan seterusnya. Makanya belum lama ini Bill Gates membuat pernyataan yang patut direnungkan para CEO perbankan: Banking is necessary, banks are not . Nah….
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan