Akhir 2014, saya berkunjung ke Banyuwangi. Ini adalah kunjungan kesekian setelah lebih dari 30 tahun lalu menyeberangi Pelabuhan Ketapang menuju Gilimanuk, Bali. Kala itu KAI masih punya rute Jakarta–Denpasar. Berikutnya saya melakukan safari dengan mobil dari Situbondo sampai ujung Blambangan, lalu ke Jember dan seterusnya.
Tentu saja bayangan masa lalu tentang Banyuwangi masih melekat kuat: kecil, terpencil, tradisional. Setelah itu, Jember dan Banyuwangi diramaikan berita tentang perang santet. Maka, tanpa program city-branding pun, kalau ditanyakan, pikiran orang kala itu Banyuwangi ya kota santet.
Tapi, waktu berlalu. Semuanya berubah. Tak ada lagi kesan itu. Kini malah banyak berita positif. Saya menemui beragam keluarga Indonesia yang memilih Banyuwangi sebagai tujuan wisata. Rombongan pemda tak habis-habisnya melakukan studi banding.
Waktu saya tanya, mereka mengatakan Banyuwangi sudah memiliki sistem laporan keuangan terpadu yang belum dimiliki pemda lain. Perencanaan sampai pengawasan sudah IT-based, transparan, dan integrated. Ini tentu memudahkan birokrasi.
Di kaki gunung yang menuju Kawah Ijen yang indah, saya bertemu pasangan muda dari Prancis yang melakukan midnight hiking untuk menyaksikan indahnya blue fire yang diberitakan National Geographic. Saya juga ditraktir kelapa muda dan ikan bakar di Pantai Pulau Merah, menikmati kopi Using ditemani bupati dengan tarian gandrung di Rumah Adat Suku Using yang dikelola secara profesional, serta menikmati sejumlah event yang diadakan pemda hampir setiap minggu untuk menjamu wisatawan-wisatawannya.
Lebih dari itu, geliat ekonominya bergerak begitu cepat. Banyak kawasan industri dan bangunan baru yang bermunculan. Semuanya tertata rapi.
Berubah
Banyuwangi bisa berubah menjadi seperti itu?
Betul, memang kondisi di desa-desa belum seperti di kota. Tapi, jalan-jalan yang membelah persawahan di sana sudah beraspal dan bisa dilalui kendaraan roda empat. Ini memudahkan akses petani dalam menjual hasil-hasil pertaniannya.
Wisata di Banyuwangi juga berkembang pesat. Lokasi-lokasi wisata di sana tertata rapi. Tidak seperti lazimnya di banyak daerah yang dibiarkan kumuh, tak berdaya menghadapi PKL, atau memang bupatinya tertidur. Di kawah Ijen saja, para pemikul belerang diberi sepatu dan kaus khusus sehingga tak terlihat kumuh.
Selain Kawah Ijen, ada Green Bay yang bisa dikombinasikan dengan hutan tropis Taman Nasional Meru Betiri dan Pulau Tabuhan. Lalu, air terjun Lider, Watu Dodol, dan Pantai Plengkung yang dikenal sebagai pantai terbaik untuk surfing dengan putaran ombak tinggi yang tak pernah ada habisnya.
Belum lagi tempat pertapaan di Alas Purwo yang terkenal mistis. Konon dulu presiden sampai memerintahkan agar membawa pohon beringin dari hutan Alas Purwo untuk ditempatkan di Taman Mini. Waktu saya tanya seorang peziarah, dia mengatakan, ”Pakunya Pulau Jawa ini hanya ada tiga: Banten-Solo dan satu lagi di sini. Kesaktian Banyuwangi tak terkira”. Baiklah, kita kembali ke pertanyaan tadi. Bagaimana Banyuwangi bisa berubah menjadi seperti itu?
Digugu dan Ditiru
Mengurus Indonesia itu sebetulnya tidak terlalu sulit. Sebab, bangsa kita suka meniru. Mereka juga sangat menghormati orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemimpinnya. Mereka dianggap sosok teladan. Dalam bahasa Jawa, layak digugu dan ditiru atau dijadikan guru. Jadi, kalau pemimpinnya bekerja keras dan jujur, rakyat kita pun akan meniru. Kita pasti sudah menjadi negara maju sejak dulu. Sayangnya, di banyak tempat hal itu tidak terjadi.
Kondisi di Banyuwangi berbeda. Saya melihat Bupati Abdullah Azwar Anas betul-betul bekerja keras untuk rakyatnya. Kadang saya heran, kapan istirahatnya? Muda, gelisah, gairah melayani dan berpikir kreatif, tak mudah marah, serta terus melakukan perubahan dan berpromosi untuk kedatangan wisatawan. Semangatnya meluap-luap untuk memajukan Banyuwangi.
Pertumbuhan ekonomi di sana pada 2012 mencapai 7,18 persen, di atas rata-rata nasional yang 6,12 persen. Masyarakat Banyuwangi juga rajin menabung. Jumlah dana mereka di bank tumbuh lebih dari 20 persen. Begitu juga penyaluran kreditnya terus naik.
Infrastruktur terus dibangun. Pada 2012, mereka membangun jalan sepanjang 250 kilometer. Lalu, setahun kemudian sepanjang 300 km. Ini termasuk jalan di pedesaan untuk mempermudah akses warga pedalaman ke pusat kota.
Panjang landasan Bandara Blimbingsari dinaikkan dari 1.400 meter menjadi 1.800 meter. Kini Garuda Indonesia dan Wings Air secara rutin sudah terbang ke sana.
Pelabuhan Tanjungwangi yang lautnya dalam pun direvitalisasi. Di sana juga ada galangan kapal milik generasi kedua ilmuwan asal Swedia yang menikah dengan perempuan Using: Liza Lundin, yang lalu memboyong keluarga dan teknologinya di sini, PT Lundin Industry. Kapal-kapal buatan Lundin yang berbahan komposit banyak dipesan dunia.
Saya masih menyimpan banyak catatan. Namun, ada dua hal yang ingin saya apresiasi. Pertama, sikap teguh bupati dalam menolak pembangunan mal. Katanya, mal baru boleh dibangun kalau indeks pembangunan manusia di Banyuwangi sudah di atas 7,6. Dia lebih suka investor membangun hotel untuk menyambut wisatawan.
PNS-nya juga dilarang menyediakan buah impor. Pertanian jeruk, manggis, dan buah naga pun kembali hidup. Bahkan, untuk menjenguk orang sakit, dia mendorong pembesuk membawa buah lokal.
Catatan kedua, aplikasi cyber city yang diterapkan secara luas sejalan dengan peremajaan taman-taman kota. Taman Makam Pahlawan Wisma Raga Satria ditata ulang sehingga rapi dan nyaman untuk remaja berkumpul sambil menenteng laptop.
Aplikasi cyber juga diterapkan di pemerintahan, termasuk untuk badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT) dengan sistem online. Ini tentu memudahkan investor. Maka, saya tak heran jika investasi yang masuk di Banyuwangi terus naik.
Bupati Anas masih menyimpan obsesi yang lain. Dia ingin warga Banyuwangi tak usah mencari kerja ke luar daerah. Cukup di Banyuwangi. Mungkin tak mudah menggapai obsesi ini. Tapi, perkembangannya menggembirakan. Jumlah TKI asal Banyuwangi terus menurun.
Andai saja kita memiliki banyak pemimpin seperti Anas, makmurlah negeri ini.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan