Audit dan Kotak Pandora – Koran Sindo

Pada banyak perusahaan, entah swasta atau BUMN, ada satu kata yang bisa membuat perut mulas eksekutif: audit. Apalagi kalau disebut audit investigatif. Mau dikemas dengan bahasa apa pun, dijanjikan semanis apa pun, bahkan selembut apa pun, kesannya tetap sama, ada sesuatu yang dicurigai atau: cari dan temukan sesuatu yang salah.

Itulah yang membuat perut menjadi mulas. Audit biasanya dilakukan dengan mengevaluasi apakah yang kita lakukan sehari-hari sudah sesuai dengan standard operating procedure (SOP). Kalau sudah, tetapi outcome -nya tetap jelek, SOP-nya yang perlu diperbaiki. Tapi, ini yang celaka, ada saja orang yang suka bekerja di luar SOP. Misalnya dengan alasan mencari terobosan.

Kalau hasil akhirnya baik, mungkin pelanggaran itu tak akan ketahuan. Repotnya kalau hasil akhirnya ternyata tak sesuai dengan harapan, bahkan terjadi musibah karena satu dan lain hal yang tak ada hubungannya dengan SOP itu sekalipun. Celakalah kita. Anda tahu hari-hari ini kata audit tengah naik daun. Pemicunya adalah musibah yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501.

Di luar dugaan, dari pemeriksaan sementara, pesawat nahas itu terbang di luar jadwal dari izin Kementerian Perhubungan. Kasus inilah yang kemudian membuat Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memerintahkan dilakukan audit terhadap skedul terbang dari seluruh maskapai. Jangan-jangankasus”penerbangan tak sesuai jadwal” tidak hanya terjadi pada AirAsia, tetapi juga maskapai- maskapai penerbangan lain.

Kenyataannya, ya. Di Bandara Juanda, Surabaya, saja ada 15 kasus penerbangan di luar jadwal yang melibatkan empat maskapai, yakni AirAsia, Lion Air, Trigana Air, dan Kal Star Aviation. Entah bagaimana dengan yang terjadi di bandara-bandara lain. Kini, 15 skedul penerbangan dari empat maskapai tersebut dibekukan sampai izin resmi dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Kapan? Entahlah.

Kotak Pandora 

Pembekuan jadwal itu tentu punya dampak berantai. Perubahan skedul di suatu bandara tentu berdampak pada bandara lain seperti bandara tujuan. Lalu penumpang yang sudah membeli tiket menjadi korban. Bukan hanya penumpang dari bandara asal, tetapi juga penumpang di bandara tujuan yang akan kembali.

Mereka yang betul-betul merasa kesal dan dirugikan akibat pembatalan tersebut, sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen, tentu bisa menggugat pihak maskapai penerbangan. Persidangannya bakal bergulir. Waktunya bisa sebentar, bisa sangat lama. Anda tentu tahu, pengadilan di Indonesia termasuk salah satu yang termahal.

Ini, antara lain, karena tak jelas kapan selesainya dan terutama juga tak jelas kapan keputusannya bisa dieksekusi. Jadi, bagi saya, audit yang dilakukan Kementerian Perhubungan terhadap penerbangan yang di luar skedul betul-betul bak membuka kotak pandora. Sekali terbuka, kita akan sulit mengendalikan apa saja yang akan bermunculan dari dalam kotak tersebut. Bisa baik, bisa jelek. Bak bola liar.

Salah satu bola liar itu, kalau terbukti banyak penerbangan yang di luar jadwal, adalah kemungkinan adanya penyelidikan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Lembaga ini tentu akan mencari tahu, bagaimana pesawatpesawat itu bisa leluasa terbang di luar skedul di atas udara Indonesia.

Tata kelola yang semacam ini tentu tak sesuai dengan standar ICAO. Kalau temuan ICAO terbukti, saya khawatir sanksi sudah menanti. Kita pernah mengalaminya. Dalam buku From One Dollar to Billion Dollars Company (2014), saya mengulas sanksi larangan terbang ke Amerika Serikat dan Eropa bagi maskapai-maskapai penerbangan Indonesia, termasuk Garuda Indonesia, tahun 2007.

Itu karena kita tidak menerapkan standar keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan regulasi ICAO. Larangan itu tentu bisa berimbas ke mana-mana. Industri pariwisata bisa terkena dampak. Reputasi negara pun bisa tercoreng. Setelah melakukan berbagai perbaikan yang melelahkan, akhirnya pada Juli 2009, larangan terbang ke Eropa dicabut.

Akankah kasus AirAsia, yang terbang di luar jadwal, bisa punya imbas serupa? Mungkin saja. Harap diingat, yang melanggar ini bukan AirAsia Malaysia, melainkan perusahaan patungan yang beroperasi di Indonesia: AirAsia Indonesia. Bola liar lainnya, audit skedul yang dilakukan terhadap jadwal penerbangan ternyata mendorong munculnya permintaan serupa di industri transportasi darat.

Lalu, mungkin saja sebentar lagi juga muncul permintaan serupa dari para stakeholders di industri transportasi laut. Bagi saya, permintaan semacam itu sangat wajar. Wajah industri transportasi darat dan laut kita memang masih centang perenang. Seorang teman pernah diminta menjadi CEO angkutan laut yang menangani penyeberangan. Setelah melakukan penyamaran di lapangan, dia jadi mengerti mengapa BUMN yang dipimpinnya selalu merugi.

Faktanya, para manajer dan petugas lapangan begitu mudah disogok perusahaan-perusahaan swasta yang ingin bisnisnya cepat sukses. Caranya? Mudah. Mereka melakukan sabotase dengan mengganjal truk-truk yang mau keluar. Kalau bannya pecah saja, maka truk-truk di belakangnya akan terhambat keluar. Kapal akan tertambat lama.

Maka penumpang yang siap diangkut pindah ke angkutan milik tetangga sebelah. Ia pun melalukan pembenahan secara menyeluruh. Mulai dari rotasi SDM, memasang kamera CCTV, menempatkan pengawasan melalui satelit, dan sebagainya. Berhasilkah? Ternyata berhasil. Ruang gerak para penyimpang makin sempit, perusahaan untung.

Tapi pada saat yang bersamaan karyawan mulai resah, direksi terbagi dua. Menurut kabar, sebagian di antara mereka adalah pelaku utama yang kelak akan menjadi sasaran sang CEO. Sejak itulah gerakan perlawanan muncul, mereka membuat mosi tidak percaya. Kawan saya pun dicopot. Anda yang memimpin perubahan di korporasi tentu paham dengan pola seperti ini.

Hampir semua pelaku perubahan mengalami nasib serupa. Kata para ahli fengshui , kalaududuk, tempatkan kursi Anda membelakangi tembok beton yang kuat. Kalau ia diterjang, kau akan aman. Artinya, setiap melakukan perubahan, kita harus back-up yang tulus dan kuat. Bukan orang yang gampang digoyang-goyang.

Short Supply dan Kredibilitas 

Baiklah, kita lanjutkan. Selain masalah tadi, permintaan sektor transportasi di negeri kepulauan ini masih jauh melampaui pasokannya. Kebijakannya tak keruan. Main tambal sulam dan sama sekali tidak berorientasi jangka panjang. Dengan kondisi yang semacam itu, kita mudah menerka, pasti banyak kepentingan yang bermain di dalamnya.

Bicara soal potret transportasi darat di Indonesia, menurut kajian Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2011, kecelakaan lalu lintas sudah menjadi pembunuh ketiga terbesar setelah penyakit jantung koroner dan TBC. Celakanya lagi, sekitar 67% dari korban kecelakaan lalu lintas adalah penduduk yang berada dalam kelompok usia produktif, yakni 22-50 tahun.

Saya yakin, untuk tahun ini potret tersebut belum banyak berubah. Kondisi angkutan darat kita masih jauh dari harapan. Kendaraan tak layak jalan masih banyak yang beroperasi. Lihat saja, Senin lalu (5/1), ada sebuah truk yang baknya terangkat dan tersangkut di jembatan penyeberangan di jalan tol Jagorawi. Akibatnya kemacetan panjang terjadi di jalan tol itu.

Bagaimana bisa truk yang kondisinya seperti itu lalu lalang di jalan raya? Pasti ada yang tak beres dengan urusan uji kir. Untuk memperbaiki layanan transportasi darat, saya sejak lama berteriak, jadikan kereta sebagai backbone (tulang punggung)- nya. Sayangnya, saya seperti berteriak di gurun pasir. Mudah-mudahan pemerintah kali ini lebih responsif.

Baiklah, kini kita kembali ke soal audit. Proses audit selalu melibatkan auditor. Norman Ralph Augustine, seorang penguasa kedirgantaraan yang kerap dimintai pandangannya oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, punya komentar menarik tentang auditor. Katanya begini, ”Two-thirds of the Earth’s surface is covered with water. The other third is covered with auditors from headquarters.”

Begitu besarnya kuasa para auditor. Maka, saya tak heran kalau banyak pihak yang merasa mulas perutnya ketika mendengar kata audit. Saya kira ini dialami juga oleh jajaran Kementerian Perhubungan, pihak pengelola bandara, para petugas air traffic control (ATC), dan maskapai penerbangan. Bukan mustahil, orang-orang di jajaran kementerian banyak yang sedang mulas karena sejak lama kita tahu ada banyak kejanggalan.

Para eksekutif BUMN sudah lama mengeluh. Katanya, kok bisa pihak kementerian lebih terlihat pro-armada-armada milik asing atau swasta ketimbang milik negara sendiri? Tapi, saya kira lebih baik semua ikut mulas dan biarlah terungkap praktik-praktik tak sehat ini. Kalau memang banyak penyakitnya, lebih baik berobat. Kalau kita tak bisa mengobatinya sendiri, biarlah orang lain yang melakukannya.

Ketimbang pura-pura tidak ada masalah apa-apa, lalu musibah berdatangan silih berganti. Ini semata-mata soal nyawa, bukan hanya harga diri. Siapa bilang pelanggaran jadwal ini tak ada hubungannya dengan musibah? Semua ini saling berhubungan dan mudah dijelaskan kok. Jangan selalu menyalahkan alam dan Tuhan.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *