Dalam setiap proses perubahan, selalu ada dua kelompok yang saling berhadapan, yakni antara tokoh perubahan dengan kelompok yang akan diubah. Seringkali antara pemimpin baru yang datang dari luar melawan pegawai, birokrat atau pejabat-pejabat lama yang kurang melayani keluar.
Dalam konteks nasional, juga terjadi antara yang terpilih dengan yang terkalahkan. Padahal, mereka menjanjikan perubahan, kata sucinya adalah persatuan untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan. Bukan berhadap-hadapan sendiri untuk membodohi rakyat, atau menggagalkan pemenang dalam memberantas kemiskinan.
Berhadap-hadapan adalah rumusnya orang yang belum dewasa, yang masih mudah dipanas-panasi, dan hanya menguntungkan musuh publik. Percuma saja berperang menghadapi bangsa sendiri.
Mengasihi yang Kalah
Secara psikologis, “persepsi” kalah atau dikalahkan ternyata berdampak sangat buruk dalam perubahan. Itu sebabnya pada bab terakhir buku cHaNgE! yang saya tulis tahun 2005, saya memperkenalkan konsep “pesta perubahan”. Saya sudah mempraktikkannya dalam berbagai kesempatan saat memimpin transformasi, mungkin Anda bisa mencontohnya.
Mungkin karena adanya di bab akhir buku cHaNgE!, banyak pemimpin yang tidak selesai membacanya, sehingga yang diingat hanya proses dialektis antara change makers dengan”lawan-lawan”-nya yang diwarnai resistensi.
Lantas dimana pestanya?
Coba belajar dari tokoh-tokoh berikut ini. Emirsyah Satar, sewaktu dihadang para pilot Garuda yang melakukan ancaman-mogok, menutup demo sambil bertukar jaketnya dengan topi yang dipakai pimpinan asosiasi pilot. Senyum lebarnya yang disorot kamera televisi menyejukkan suasana.
Dalam buku From One Dollar to Billion Dollars Company, Anda juga bisa melihat foto, bagaimana CEO ini mengajak bawahan ya berpesta “membersihkan” kabin pesawat pada tengah malam.
Ignatius Jonan juga memimpin “pesta perubahan” di PT KAI dengan menaikkan gaji para “pejuang keluarga” di perusahaan itu dan piket bersama mereka. Fotonya yang terlelap di bangku kereta saat memantau transportasi mudik mendapat pujian publik.
Joko Widodo, mengajak makan siang dan malam sebanyak 54 kali para pedagang yang menempati taman kota di Solo sebelum diajak pindah. Kepindahan mereka bahkan dikirap dengan pasukan kraton, lokasi barunya pun diiklankan berbulan-bulan lewat media lokal. Baliho dan umbul-umbul bak sebuah bazar nasional menghiasi kepindahan mereka yang puluhan tahun sulit diajak berubah.
Berkali-kali saya juga melakukan hal yang sama dalam skala kecil. Berpesta adat dengan masyarakat di pulau terpencil sebelum memulai integrated farming dengan metode kewirausahaan sosial. Menunya cuma kopi panas, ubi rebus dan sirih-pinang. Di UI saat memimpin program doktoral saya juga mengajak para dosen, staf dan office boy berlibur ke Senggigi di pulau Lombok untuk membuat hati mereka riang dan lebih siap melayani mahasiswa.
Di Pulau Adonara, NTT, saya bertemu dengan Kamilus Tupen, yang mengajak warganya berkebun dengan pendekatan adat: sambil bernyanyi, memakai tenun adat, menanam kebun. Metode hutang tenaga menggantikan hutang bank konvensional.
Ketika masa panen tiba, rakyat sudah punya uang, rumah-rumah mereka sekarang sudah layak huni karena perubahan dibuat bak sebuah pesta besar. Bukan sebuah gerakan perubahan biasa dengan pidato camat atau pejabat. Padahal ini gerakan kewirausahaan sosial untuk menjalankan misi yang bahasa kerennya dikenal sebagai financial inclusion.
Mereka semua mengasihi orang-orang yang diajak berubah, bukan dimusuhi atau dijadikan ancaman untuk saling berhadapan seperti politisi pasca-pemilu. Mereka hanyut dalam situasi dan menerima perubahan sebagai sebuah “hadiah Tuhan”.
Transformasi di BPD, Sebuah Contoh
Beberapa tahun belakangan ini kita juga saksikan perubahan besar-besaran pada bank-bank lokal di daerah yang didorong OJK.
Digempur oleh bank-bank BUMN dan asing, peningkatan kesejahteraan di daerah bisa mematikan Bank-bank Pembangunan Daerah. Padahal spirit bank-bank daerah di masa lalu \”ngeri-ngeri sedap\”: kepanjangan tangan aparat, feodal, karyawannya koneksi pejabat daerah, orientasinya terbatas pada kabupaten masing-masing alias tak mau dipindahtempatkan, uangnya hanya disimpan dalam bentuk SBI, inovasi tidak ada, pelayanan publik begitu buruk karena orientasi mereka hanyalah melayani atasan pemprov atau pemkab.
Nah, demi menjadikan mereka “local champion”, bank sentral pun mendorong perubahan. Maka masuklah direksi-direksi baru yang datang dari kalangan profesional. Hampir semuanya mendatangkan CEO dan direksi dari Bank Mandiri, BNI, Danamon, BII dan seterusnya.
Ndilalah, jabatan-jabatan itu sudah lama diincar pejabat-pejabat karir internal, apakah kepala divisi atau pimpinan-pimpinan cabang utama. Tentu mereka kaget.
Suka atau tidak, keduanya akan saling berhadap-hadapan. Yang satu modalnya legitimasi OJK (lolos uji) dan profesionalisme. Yang satunya lagi hubungan kedaerahan, jaringan ke dalam, dan dukungan politik lokal. Akibatnya, dewasa ini hampir semua perubahan di BPD kacau balau.
Sekitar 7 BPD terkatung-katung tanpa dirut. Yang direkomendasikan OJK dihadang di dalam, yang diusulkan dari dalam tak lulus fit and proper test di OJK. Partai politik–kalau gubernurnya nakal–mengambil kesempatan terlalu dalam dengan mendorong orang-orang yang low competence naik keatas (agar mudah dikendalikan) dan suasananya menjadi setengah chaos.
Jadilah mereka saling berahadap-hadapan, konflik, dan sebagian harus berhadapan dengan hukum.
Apa yang harus dilakukan para change leaders dari luar?
Sederhana saja, jangan langsung bekerja. Buatlah perubahan ini “as if” sebagai sebuah pesta besar seperti yang bisa dibaca dalam buku Change atau yang dilakukan para pemimpin perubahan yang saya sebutkan tadi.
Tapi yang lebih penting, semua pihak harus sadar, bahwa kita tidak tengah saling berhadap-hadapan. Sambil berjalan, tingkatkanlah kompetensi para eksekutif di layer kedua dan ketiga, kirim mereka melihat dunia yang lebih luas. Ajak mereka mengunjungi bank-bank besar di luar negri agar mata mereka terbuka.
Kalau bank punya uang, jangan ragu gunakan demi kemajuan para pemimpin di lini tengah, ketimbang dipakai buat menyuap aparat. Lebih baik buat mereka gembira, lalu bekerja lebih bersemangat dan sama-sama berjuang menghadapi musuh di luar. Nanti biarkan mereka yang bertarung menghadapi para medioker yang bebal terhadap pembaharuan, atau mereka yang berpolitik untuk mendapatkan jabatan direksi.
Perubahan sulit dilakukan kalau tidak ada persatuan. Dan persatuan butuh kecerdikan, kerendahatian, self driving, kemampuan mendatangi, bukan kesombongan atau merasa paling benar. Artinya perlu rekonsiliasi dan agility. Tapi buat apa juga ya saling berahadap-hadapan. Masa orang dewasa masih mau diadu domba menjadi tontonan publik?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan