Indonesia adalah negeri kaya ironi. Kita bisa dengan mudah melihat potretnya di mana-mana. Contohnya, banyak orang bilang lautan kita sangat kaya. Ikannya ada di mana-mana. Tapi, cobalah lihatlah nasib nelayan kita. Mereka sangat miskin.
Kita juga menyebut diri sebagai negara agraris. Tanah kita sangat subur, sehingga apa pun yang kita tanam pasti tumbuh. Kembali, cobalah lihat nasib petani-petani kita. Sebagian besar mereka hidup dalam kemiskinan.
Potret ironis semacam itu juga terjadi di Papua Barat, persisnya di Kota Sorong. Sejak lama kota ini dikenal sebagai Kota Minyak. Sebagian masyarakat juga menyebutnya sebagai Lumbung Energi. Julukan itu bukan pepesan kosong. Pengeboran minyak di kota itu sudah dimulai sejak tahun 1935, oleh perusahaan Belanda, Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Tapi, cobalah lihat nasib Lumbung Energi itu sekarang. Sangat ironis. Sebagai kota penghasil minyak, sudah selama berbulan-bulan Sorong mengalami krisis pasokan BBM.
Bukan seperti kita di Jawa yang baru merasakan kelangkaan BBM selama beberapa hari belakangan, terutama setelah pemerintah menerapkan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Di Sorong, sudah lebih empat bulan warganya mesti antre sejak pagi buta hanya untuk bisa membeli solar di SPBU. Bahkan panjang antreannya bisa lebih dari satu kilometer. Di sana SPBU dibuka jam 08.00 dan tutup jam 18.00.
Celakanya meski sudah antre sejak pagi buta, belum tentu hari itu mereka bisa mendapatkan BBM. Memasuki siang hari, biasanya seluruh jatah solar di SPBU sudah habis. Kalau sudah begitu, esok hari mereka terpaksa mengulang lagi dari awal. Antre di SPBU sejak pagi buta. Itu sebabnya, kata warga Sorong, lebih baik harga BBM-nya dinaikkan ketimbang pasokannya yang dikurangi.
Produksi vs Konsumsi
Apa yang terjadi di Sorong sesungguhnya adalah potret kecil dari masalah besar industri minyak kita. Ada masalah kapasitas, ada pula masalah kebijakan.
Contohnya soal antrean panjang di SPBU-SPBU di seluruh Indonesia yang menghebohkan itu, sebagaimana terjadi pekan lalu. Mudah diduga bahwa itu pasti terjadi. Betapa tidak! Permintaan BBM di satu sisi terus meningkat—lihat saja penjualan sepeda motor dan mobil yang terus bertambah, dan kita semua tahu soal itu—tetapi di sisi lain pasokannya malah dikurangi.
Soal BBM, saat ini kebutuhan dalam negeri sekitar 1,2 juta barel per hari (bph). Sementara volume produksi BBM kita hanya 650.000 bph. Jadi, hampir separuh BBM mesti kita impor.
Kondisi serupa terjadi dengan produksi minyak mentah kita. Selama beberapa tahun terakhir volume produksinya selalu di bawah target. Pada 2014, misalnya, kita menargetkan produksi minyak mentah 870.000 barel per hari, tapi selama Februari 2014 realisasinya hanya 803.000 bph.
Dengan kapasitas kilang kita yang 1,2 juta bph, berarti kita mesti mengimpor crude oil sekitar 400.000 bph. Sama seperti impor BBM yang terus meningkat, volume impor minyak mentah kita bakal terus bertambah. Penyebabnya, itu tadi, permintaan akan minyak mentah terus bertambah, sementara kapasitas produksinya semakin menurun.
Pentingnya I/EOR
Dalam banyak kasus yang terjadi di berbagai negara, produksi minyak mentah akan meningkat cukup signifikan bila ada dua hal. Pertama, adanya penemuan cadangan-cadangan minyak baru dalam jumlah besar di suatu lokasi. Kedua, keberhasilan pengembangan dan aplikasi dari teknologi improved oil recovery/enhanced oil recovery (I/EOR).
Bicara temuan, salah satu yang terbilang cukup besar adalah ladang minyak Cepu di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur, yang puncak produksinya diperkirakan bakal terjadi pada tahun 2015-2016. Meski begitu produksi dari ladang tersebut mungkin juga hanya mampu mengangkat volume produksi minyak mentah nasional dari yang sekarang 800.000-an bph menjadi sekitar 900.000 bph.
Lalu, yang juga perlu menjadi catatan, setelah ladang minyak Cepu, Indonesia praktis tak memiliki temuan ladang-ladang minyak baru lagi yang volumenya betul-betul signifikan.
Maka, dalam konteks itu upaya Improve Oil Recovery/Enhanced Oil Recovery (I/EOR) menjadi penting untuk menahan laju penurunan produksi minyak mentah kita. Di sini, saya kira, kendati mafia migas menggurita dimana-mana, Pertamina akan memainkan peranan yang sangat penting. Kata William Moulton Marston, seorang penemu mesin polygraf, “Every crisis offers you extra desired power.”
Bicara soal ini, capaian Papua Field seakan mulai mengukuhkan kompetensi perusahaan minyak kita dalam penguasaan teknologi I/EOR. Di sumur minyak itu, selama Januari 2014 – Juni 2014, Pertamina sudah mulai mampu membukukan rata-rata produksi sebesar 1.156 bph. Padahal, target yang ditetapkan Pemerintah adalah 1.047 bph. Jadi volume produksinya bisa 10 persen di atas target.
Menariknya, upaya peningkatan produksi tersebut tidak dilakukan dengan pengeboran baru, melainkan hanya memanfaatkan sumur-sumur yang sudah ada di sana. Untuk merawat sumur-sumur tua tersebut dan memasang 7 unit pompa dengan kapasitas 3.000 barel fluida per hari.
Keberhasilan meningkatkan eksplorasi pada sumur-sumur minyak tua di Papua ini seakan melengkapi keberhasilan sebelumnya diantara segala kegetiran memudarnya minyak Indonesia . Kita tahu, di sumur minyak Bunyu di Kalimantan Timur, perusahaan minyak kita mampu mengeksplorasi minyak dengan volume produksi 5.400 bph. Catatan penting dari Bunyu adalah semua dilakukan dengan biaya yang jauh lebih murah.
Sebelumnya, perusahaan minyak kita juga lumayan sukses mengeksplorasi sumur minyak lainnya, seperti sumur minyak Tanjung, juga di Kalimantan Timur. Lalu, sebelumnya adalah sumur minyak tua di Banyu Urip, Jambaran-Tiung Niru, dan Natuna.
Seberapa penting peningkatan volume produksi dari sumur-sumur tua tersebut? Bagi saya, sangat penting. Apalagi kalau melihat tren penurunan volume produksi minyak nasional. Ini persis seperti pernyataan Martin Luther King Jr., “Only in the darkness you can see the stars.”
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan.