Dunia bisnis beruntung kalau berhasil mendapatkan CEO yang hebat. CEO-CEO itu mampu membalikkan kerugian menjadi keuntungan dan keharuman. Dari tidak jelas arahnya menjadi fokus, efisien, dan kaya inisiatif.
Saya ajak Anda untuk mengenal beberapa. IBM, misalnya, sempat terpuruk pada 1990-an, saat dipukul DEC dan pembuat komputer mini. Harga sahamnya melorot dari USD 43 (1987) menjadi USD 13 (1993) karena pasar tak percaya terhadap masa depan big computers. IBM beruntung karena berhasil mendapatkan Lou Gerstner (1993). Kini porsi hardware dan financing IBM tinggal di bawah 20 persen, sedangkan bisnis software-nya mendekati 50 persen.
Nissan lain lagi. Pada akhir 1999 mereka nyaris bangkrut. Utangnya mencapai Rp 200 triliun. Lalu, masuklah Renault yang membeli 37 persen saham Nissan dan ngotot agar diberi opsi memilih CEO. Renault menunjuk Carlos Ghosn. Itu jelas tidak lazim bagi perusahaan Jepang, tabu dipimpin seorang gaijin, orang asing.
Maka, Nissan ngotot menolak. Sebaliknya, Renault bersikeras. Akhirnya Renault yang menang. Bagaimanapun, perusahaan yang tengah sekarat melemahkan daya tawar. Begitulah, akhirnya Goshn pun memimpin Nissan.
Menepis Status Quo
Apa yang dilakukan Goshn mirip CEO kita kala memimpin perusahaan yang tengah bermasalah. Intinya, membawa perusahaan keluar dari perangkap status quo, menemukan masalah utamanya, dan menyusun strategi penyembuhan.
Hampir semuanya memulai dengan membangun sense of urgency.
Itu jugalah yang dilakukan Emirsyah Satar di Garuda Indonesia. Kalau Goshn membuat Nissan Recovery Plan dengan strategi revitalisasi produk dan efisiensi habis-habisan, termasuk menutup pabrik yang tidak produktif, Emirsyah Satar mengarahkan revitalisasi internal menuju perusahaan publik yang transparan.
Selanjutnya Goshn membentuk tim inti untuk memastikan semua rencana pemulihan tersebut tereksekusi. Di Garuda Indonesia semua eksekusi dipantau dan dipimpin langsung oleh Emirsyah Satar.
Hasilnya, kedua perusahaan itu mampu keluar dari krisis dan berubah menjadi perusahaan bereputasi tinggi. Garuda Indonesia kini dikenal sebagai premium airline dengan pengakuan awak kabin terbaik. Saya dengar gadis-gadis muda di Jepang (termasuk salah seorang Miss Japan) dan Korea berebut ingin menjadi stewardess Garuda.
Di Pelindo (IPC) kita mempunyai putra Rote, R.J. Lino, yang punya pengalaman sebagai eksekutif pada pelabuhan internasional di luar negeri. Lino membongkar kebiasaan lama, memperbarui pelabuhan (New Tanjung Priok) dengan investasi-investasi baru, dan meremajakan manajemen perusahaan. Hasilnya, profitabilitas perusahaan dan produktivitas meningkat. Kelak Indonesia akan memiliki pelabuhan yang minimal sejajar dengan negeri tetangga.
CEO yang tak kalah fenomenal adalah Ignasius Jonan dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sejak Februari 2009 perusahaan itu merugi. Berbeda dengan CEO Barat yang menggunting birokrasi dan mengurangi gaji, Jonan justru memulainya dengan menaikkan remunerasi tiga kali lipat.
Bagaimana perusahaan yang merugi bisa menaikkan remunerasi? Saya pun bingung, tapi faktanya bisa karena terlalu banyak inefisiensi yang bisa diselamatkan dengan bekerja keras. Mereka juga berubah dari product oriented ke customer oriented.
Anda tahu apa kunci sukses CEO-CEO itu? Sederhana: buat rencana, kerjakan, dan awasi pelaksanaannya. Kalau mau ditambahkan lagi, selain leadership yang kuat, mereka punya entrepreneurship. Maka, kesalahan perguruan tinggi kita dewasa ini sederhana saja, menyamakan entrepreneurship sebagai entrepreneur. Padahal, entrepreneurship dibutuhkan bukan semata-mata untuk menjadi entrepreneur.
Dari beberapa cerita tadi, semua masalah bisa selesai kalau kita mampu memilih pemimpin yang tepat. Di buku Cracking Zone saya menyebut pembaru itu sebagai the cracker, bukan sekadar leader.
Kini kita pun tengah mencari pemimpin negara. Maka, penting bagi kita untuk memilih pemimpin yang tepat. Anda sudah punya pilihan? Saya sudah karena saya pegang track record-nya, maaf, bukan janji-janjinya
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan