Mendarat di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara akhir Maret lalu,saya menyaksikan kesibukan yang luar biasa. Puluhan tukang masih bekerja memoles lantai. Menjelang peresmian (27 Maret 2014), para pemborong dan pekerja terus sibuk berbenah.
Di area keberangkatan di bagian atas, saya melihat dua orang anak tengah bermain troli. Yang satu duduk, satunya lagi mendorong. Begitulah mereka lakukan bergantian sampai petugas menghampiri dan meminta troli tersebut. Pada sisi lain, saya melihat seorang ibu tengah duduk di bangku sambil menyaksikan anak balitanya belajar jalan. Di dekatnya ada dua orang dewasa yang tengah mengobrol. Dari penampilannya, saya menduga mereka bukan calon penumpang. Ini mirip kebanyakan bandara yang baru dibuka yang kebetulan terletak di areal dekat permukiman.
Di bandara internasional Lombok (Praya) misalnya, tak lama setelah diresmikan presiden pada 2011, bandara menjadi kumuh. Durian, salak, teh kotak, dan air mineral yang dijajakan secara bebas di ubin teras bandara. Masyarakat menganggap bandara sebagai “hiburan” dan sumber pendapatan baru. Tetapi apa pun alasannya, siapa pun tak bisa diperkenankan masuk areal bandara sesuka hati. Bandara adalah infrastruktur modern yang sophisticated, bahkan cenderung berjarak dengan rakyat jelata karena menyangkut masalah security dan pelayanan tingkat tinggi.
Sosoknya–– apa boleh buat––bisa berubah menjadi sangat angkuh di mata rakyat. Maka itu, kehadiran bandara jelas bukanlah semata- mata masalah infrastruktur. Ia juga menyandang masalah sosial yang kompleks. Apalagi pembangunan hampir semua bandara baru selalu melibatkan proses politik yang kumuh yang membuat manajemen rekayasa konstruksi dan pengadaan pemborongnya berantakan.
Peran Jusuf Kalla
Kalau kita membaca sejarahnya, gagasan membangun Kualanamu sebetulnya sudah muncul sejak 1992. Kala itu menteri perhubungan masih dijabat Azwar Anas. Namun, entah mengapa gagasan tersebut tak pernah terwujud. Baru pada 2004 gagasan membangun Kualanamu naik kembali ke permukaan. Pemicunya sungguh bukan sesuatu yang kita kehendaki, yakni jatuhnya pesawat Mandala Airlines (5 September 2005) yang menewaskan Gubernur Sumatera Utara ketika itu, Tengku Rizal Nurdin, dan sejumlah penduduk di sekitar bandara.
Bandara Polonia yang berada di tengah kota yang semakin padat memang tidak lagi ideal untuk sebuah bandara. Jusuf Kalla (JK), yang ketika itu menjabat sebagai wakil presiden (2004-2009), mendesak agar pembangunan bandara segera dirampungkan. Ia juga mendesak percepatan peletakan batu pertama dan menggariskan agar menggunakan kontraktor lokal dan sumber-sumber pendanaan dalam negeri. Soal desain misalnya, saya mendengar ceritanya saat mendampingi JK membesuk pengungsi Gunung Sinabung. Ketika itu masyarakat Sumatera Utara ingin agar desain terminal Bandara Kualanamu menggunakan rumah adat Batak. Namun, JK menolak.
Alasannya, desain rumah adat Batak diprotes orang Melayu yang sama-sama dominan di Sumut. Tambahan pula, ternyata sekitar 35% warga Sumatera Utara adalah orang Jawa. Bayangkan, apa jadinya kalau hanya karena soal desain bandara saja Sumatera Utara terbelah? Maka itu, akhirnya dipakailah saran JK: desain modern yang bisa diterima semua pihak. Cerita yang lain adalah soal konsep ganti untung. Dalam banyak kasus, pemerintah selalu memakai konsep ganti rugi. JK tidak mau.
“Saya tetapkan konsep ganti untung,” ujar JK dalam perjalanan ke Gunung Sinabung saat itu. Setiap tanah yang dibebaskan harus dibeli dengan harga dua kali lipat dari nilai jual objek pajak (NJOP). Menurut JK, jika hanya satu kali NJOP, warga yang tanahnya dibebaskan tak mampu lagi membeli lahan di sekitar situ. Pascapembebasan harga-harga tanah langsung meningkat. Kalau sampai warga tak mampu membeli tanah lagi untuk membangun rumahnya, masalah-masalah sosial pasti meningkat.
Cepat Sesak
Kini Bandara Kualanamu terasa cepat sesak. Kita lihat saja data ini. Pada tahap pertama, bandara yang kapasitasnya 8,1 juta penumpang per tahun ini saja jumlah penumpangnya sudah mencapai 8,2 juta. Maklumlah, jarak antara rencana awal dengan eksekusi begitu lama, 32 tahun. Lebih lama dari Bandara Juanda yang konon butuh waktu 12 tahun. Padahal konstruksi zaman sekarang relatif cepat diselesaikan. Sebagai gambaran Anda saja, Hotel Mulia di Jakarta yang dibangun di tengah-tengah krismon hanya butuh waktu 10 bulan. Tapi, sudahlah, sosial politik di negeri ini memang rumit.
Dengan asumsi, kewirausahaan rakyat bisa cepat naik kelas, kita bisa mengharapkan bahwa perekonomian di kawasan Sumatera Utara dan sekitarnya terus bergerak naik. Rumus sederhananya begini, angka pertumbuhan industri penerbangan biasanya selalu dua kali lipat angka pertumbuhan ekonomi. Jika pada 2013 pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara mencapai 6,01%, pertumbuhan industri penerbangan di provinsi itu bisa sekitar 12%. Jadi, pemerintah yang bijak harus bisa melihat dampak ekonominya bagi daerah. Masalahnya belakangan ini pemerintah selalu ngotot membangun infrastruktur hanya dari sudut keekonomian atau bisnis semata.
Itu misalnya yang selalu menjadi penyebab pembangunan infrastruktur publik di ibu kota macet, yang selalu mengacu pada hitung-hitungan bisnis dan kepentingan investor. Padahal pemdanya punya uang dan rakyatnya sudah membayar pajak di depan. Nah, soal ekonomi ini, akan tampak dari tumbuh usahausaha rakyat menyusul dibuka bandara baru. Mampukah Sumatera Utara memanfaatkan peningkatan jumlah kedatangan penumpang ke Kualanamu?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan