Dari dulu saya selalu berpikir, ilmu itu harus bisa diterapkan. Tetapi, sewaktu kuliah pada 1980-an dahi saya selalu berkerut. Saya sering heran mendengarkan kuliah yang hebat-hebat, bahkan tak sedikit yang membuat saya tak mengerti. Masalahnya, saya selalu mencari cara bagaimana agar bisa menerapkannya.
Hingga hari ini, setiap kali menyaksikan debat atau ribut-ribut bicara para tokoh di TV, saya pun masih suka mengerutkan dahi. Otak saya dengan cepat memilah, mana orang yang praksis (kontekstual,dapat dijalankan) dan mana yang pembual.
Sekarang saya mengerti mengapa semakin banyak orang menjadi seperti itu. Kalau ini dibiarkan, saya khawatir cara ini hanya akan lebih banyak menghasilkan caleg daripada eksekutif. Di dunia kerja semakin banyak yang mengeluh bahwa sarjana kita kurang siap pakai. Pendidikan kita telah lebih banyak melahirkan orang-orang yang baru bisa bicara dan kurang praksis. Inilah saatnya memperbaiki pendidikan, bahkan mewaspadai kemana anak-anak kita akan disekolahkan.
Ilmu Basic
Kita bisa membedakan science dalam basic dan applied. Dulu saya berpikir, untuk jadi negara maju, Indonesia perlu lebih banyak menguasai basic dan applied. Teman-teman saya dari Rusia dan Tiongkok, sewaktu mengambil studi doctoral di Amerika Serikat tahun 1990-an tampaknya mirip dengan kita.
Dengan basic science, kita bisa menertawakan mahasiswa-mahasiswa asal Amerika Serikat, Canada, dan Australia karena sepertinya mereka “bego sekali” basic science-nya. Kami menjelaskan rumus-rumus matematika, biologi, dan kimia begitu mudah yang ternyata sulit dipahami mahasiswa kulit putih itu. Anehnya, kalau soal aplikasi, merekalah jagonya.
Belakangan saya ketahui, di negara-negara maju, selain liberal arts, mereka sangat kental mengembangkan applied science. Ya, ilmu-ilmu terapan yang bisa dipakai. Bahkan, porsinya 70 persen applied dan hanya 30 persen basic. Mereka menjadi lebih praktis, simple, dan actionable.
Ini berbeda benar dengan rata-rata lulusan kita, yang hampir 100 persen belajar dalam ranah basic science. Karena itu, ketika kita memperkenalkan kewirausahaan dalam ranah tersebut, kita hanya banyak berkutat dalam business plan. Kata ilmuwan dari Babson College, itu bukan riil entrepreneur, melainkan paper entrepreneur.
Dan, seperti itulah muara dari kebanyakan kampus kita. Harap diingat, Basic science sangat mengedepankan metodologi, dengan landasan matematika yang kuat. Lebih mengedepankan control variable dan modelling, karena kinerja output-nya dinilai dari jumlah publikasi ilmiahnya. Setelah itu, tak ada yang mampu mengaplikasikannya.
Secara berseloroh saya pernah menyindir mahasiswa-mahasiwa saya di kelas International Marketing, khususnya mereka yang mendapatkan nilai A dari kelas sebelumnya (marketing principle). Saya katakan saya tak percaya. Buktinya, pakaian mereka tidak matching, miskin senyum, branding-nya tidak dibangun, bahkan banyak yang kesulitan mendapatkan pacar.
Loh, buat apa belajar marketing kalau tidak bisa menerapkannya dalam soal-soal sepele?
Saya setuju dengan Anda, it’s time to change. Tapi, bagaimana kalau bos-bos mereka sama saja?
Podomoro University
Hari-hari ini saya pun sibuk menyeleksi dosen. Beberapa syarat saya ajukan kepada divisi SDM:Cari orang-orang yang applied science-nya kuat, mental melayaninya nomor satu, dan tentu saja enak dilihat, punya kemampuan dalam karya, praksis!
Usulan saya itu rupaya sejalan dengan teman-teman dari Boston: Babson College. Ini adalah kampus mahal di Amerika Serikat yang oleh pengembang Agung Podomoro diperkenalkan kepada saya. Lewat sebuah kerjasama kedua terbesar setelah dengan seorang pengusaha dari Uni Emirat Arab, Babson begitu serius menyemai benih-benih kewirausahaan dan applied science di sini.
Oleh Trihatma Haliman, chairman Podomoro, saya pun dipercaya memimpin kampus ini yang kami beri nama Podomoro University. Sewaktu diajak bicara, kami pun menuangkan mimpi-mimpi indah kami yang berawal dari keprihatinan akan lulusan-lulusan universitas yang tidak aplikatif.
Pak Trihatma menyampaikan kepada saya bahwa hotel-hotelnya bintang dua hingga bintang enam (Sofitel di Bali) bisa digunakan untuk praktik mahasiswa. Mahasiswa bisa belajar dari arsitek-arsitek kelas dunia (termasuk yang membangun Burj Al Arab di Dubai) yang membuat rancangan bangunan superblok grup ini. Anak-anak muda bisa berekspresi, berpengetahuan, dan belajar dengan menyenangkan, langsung mengaplikasikan ilmunya.
Mereka juga bisa memanfaatkan trade center (Mangga Dua), proyek-proyek konstruksi sampai mal-mal besar untuk menguji karya-karya mereka.
Itulah impian-impian baru saya yang tengah saya kawinkan dengan gerakan-gerakan sosial dari Rumah Perubahan. Saya pikir, inilah saatnya, menanamkan applied science kepada anak-anak didik kita agar mereka tak lagi sulit mencari kerja. Bahkan, agar mereka bisa mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa: membuat negeri ini makmur dan sejahtera!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan