DULU, jika kita pergi ke bank, urusannya mungkin hanya sebatas menabung, menarik dana tunai atau melakukan transfer dana ke pihak lain. Kini, produk yang disediakan bank kian beragam. Anda bisa membeli produk perbankan dan sekaligus asuransi (bancasssurance), Anda bisa membeli produk asuransi dan sekaligus investasi (unitlink), atau produk investasi saja (reksadana).
Kalau Anda mau berinvestasi secara langsung dengan membeli surat-surat berharga, seperti saham atau obligasi, bank juga bisa melayani.
Intinya, gerai-gerai bank sudah menjadi semacam “supermarket” untuk produk-produk keuangan. Bukan hanya produk-produk perbankan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Kata kuncinya adalah integrasi. Ilustrasinya begini. Sekarang ini kian banyak pemegang saham bank yang juga menjadi pemegang saham perusahaan keuangan non bank. Atau, bank memiliki anak-anak usaha yang bergerak di industri keuangan non bank. Misalnya, ada bank yang memiliki perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan dan bahkan bergerak di bisnis sekuritas.
Bayangkan kalau masing-masing perusahaan itu mesti memiliki gerai atau kantor cabang sendiri-sendiri, alangkah borosnya. Dan, pemborosan seperti itu pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen. Jadi, konsumen harus membeli produk asuransi, unitlink atau reksadana dengan harga yang lebih mahal.
Dengan terintegrasinya perbankan dengan lembaga keuangan non bank lainnya, semuanya bisa menjadi lebih efisien. Dan, integrasi semacam ini sudah menjadi tren global.
Melalui kolaborasi, perbankan maupun lembaga-lembaga keuangan nonbank bisa beroperasi dengan efisien, sehingga produk-produk mereka menjadi kompetitif di pasaran. Dampak lanjutannya, biaya yang harus dibayar konsumen pun bisa lebih murah. Lalu bagaimana dengan pengaturan dan pengawasannya?
Di Indonesia, dahulu soal pengaturan dan pengawasan memang bisa menjadi masalah yang cukup serius. Ini karena lembaga yang menanganinya berbeda-beda. Perbankan, misalnya, diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia. Sementara, lembaga-lembaga keuangan non bank diatur dan diawasi oleh Badan Pengawas Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
Memang, masing-masing pihak bisa mengatakan mereka saling berkoordinasi. Tapi, kita semua tahu bahwa koordinasi adalah “barang” paling mahal di negara ini. Itulah konsekuensi yang bisa terjadi manakala industrinya sudah semakin terintegrasi,
sedangkan lembaga yang mengatur dan mengawasinya masih terpisah-pisah. Maka, di mata saya, hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan jawaban atas permasalahan tersebut.
Hal ini yang mencuat dalam Dialog Perbankan & Ekonomi di Metro TV, Selasa, 18 Februari 2014. Para pembicara dalam dialog itu adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D Hadad, Ketua Perbanas Sigit Pramono dan Direktur Danamon Muliadi Rahardja.
Dengan menyatunya pengaturan dan pengawasandibawah OJK, industry keuangan nasional menjadi suatu gambaran yang utuh dan lengkap. OJK bisa mengembangkan metode pengawasan yang lebih menyeluruh dan mendalam.
Salah satunya, sesuai UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK, lembaga tersebut juga akan diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Kewenangan ini, menurut saya, tentu akan mampu meningkatkan perlindungan kepada konsumen.
Bagi para pelaku di industri keuangan, penyatuan ini juga lebih menguntungkan. Bayangkan, kalau dulu untuk urusan perbankan, mereka harus melapor ke Bank Indonesia, dan urusan lembaga keuangan non bank mesti ke Bapepam-LK. Jadi, mesti dua kali kerja. Kini, semuanya cukup satu, yakni ke OJK.
Melihat itu semua, tampaknya secara teori OJK merupakan pilihan yang baik. Semoga begitu pula implementasinya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan