Ketika tak berombak dan angin bertiup kencang, layar dibuka lebar-lebar supaya melaju. Sebaliknya, ketika angin lemah, layar kita tutup. Memakai analogi itu, kisah Merpati Nusantara Airlines (MNA) adalah anomali. Mengapa?
Siapa pun tahu bisnis penerbangan Tanah Air tengah booming. Jumlah penumpang Garuda (2013) tumbuh 22,3 persen menjadi 25 juta membuat pendapatan operasional naik 7 persen menjadi 3,72 miliar dollar AS. Lion Air dan AirAsia juga memesan ratusan pesawat baru. Susi Air kini melaju dengan lebih dari 50 pesawat. Secara menyeluruh, industri penerbangan kita (2013) tumbuh 20 persen. Jadi, ombaknya sedang tenang dan angin bertiup kencang. Bukannya mengembangkan layar, mengapa MNA sibuk menambal perahunya yang bocor di sana-sini?
Terus merugi
Kasus MNA adalah gambaran arah bisnis yang keliru dengan manajemen yang rapuh. Ketika regulasi dan kompetisi industrinya berubah, ia masih bekerja dengan cara lama. Jadi, yang lain sudah tinggal landas, ia masih di landasan. Ada kesan internalnya frustrasi. Persis seperti Garuda sebelum transformasi. Kualitas pelayanan tak terdengar, tak jadi pilihan utama calon penumpang, dan selalu kalah jika ada maskapai baru dalam rutenya. Kontrol sistem kurang efektif, penuh tetapi arus kas negatif, dan kurang tanggap merespons kemunduran. Jadi, pendapatannya tak mampu menutup kegiatan operasional. Ini berlangsung bertahun-tahun. Semester I-2012 kerugian Rp 360 miliar, setahun berikutnya Rp 413 miliar.
Padahal, rencana kerja anggaran perusahaan menjanjikan kerugian pada 2013 tinggal Rp 163 miliar. Ditambah beban utang Rp 6,5 triliun yang belum tahu mau diapakan, MNA belum berdaya menghentikan perdarahan. Yang terjadi di MNA saat ini mirip Garuda jauh sebelum transformasi. Pada 2005, beban biaya Garuda (Rp 12,4 triliun) lebih tinggi daripada pendapatannya (Rp 11,5 triliun). Jadi, kinerja labanya minus Rp 894,6 miliar, sedangkan utangnya mencapai 845 juta dollar AS. Belum lagi reputasinya yang tercoreng kasus pembunuhan aktivis HAM, ketidaktepatan waktu, dan sebagainya. Dengan kondisi itu, saham Garuda tak pas jika saat itu dihargai 1 dollar AS sekalipun.
Lantas harus diapakan? Jangan lupa hidup ini butuh krisis, tanpa krisis tak ada urgensi perubahan. Itulah yang memaksa internal Garuda bahu-membahu melakukan transformasi. Pemimpinnya menerapkan logika the burning platform yang dalam manajemen perubahan diilhami dari panglima perang Islam, Thariq bin Ziyad, saat menyerang Spanyol. Setiba di sana, ia membakar semua perahu sehingga tak ada pilihan lain bagi prajurit selain bertarung untuk menang.
Demikianlah pemimpin perubahan, selain menetapkan arah, ia menciptakan kondisi. CEO Garuda Emirsyah Satar membongkar cara kerja, perilaku, dan tata nilai lama yang sudah tidak relevan. Lalu dimulailah tahapan strategi dari menghentikan perdarahan, konsolidasi, rehabilitasi, sampai go public. Masing-masing punya indikator terukur yang dikomunikasikan sehingga semua pihak rela mendukung.
Kini, Garuda bukan saja sudah keluar dari perangkap krisis, melainkan tumbuh menjadi maskapai yang sangat sehat. Saat go public, Garuda mencatatkan nilai 1,8 miliar dollar AS di Bursa Efek Indonesia. Padahal, saya tahu betul pada 1998 nilainya bahkan tak laku jika dijual 1 dollar AS. Menurut saya, jika pemerintah ingin menyelamatkan Merpati, jejak langkah Garuda layak ditiru.
Modal untuk Merpati
Apa saja langkah-langkah itu? Pertama, cari CEO transformatif yang tepat, yang berani, dan punya jaringan luas, terutama dalam industri finansial yang tahu cara berpikir para kreditor yang gelisah. Setelah itu, beri dia kewenangan menyusun the winning team. Kata kunci dari proses transformasi Garuda adalah the burning platform. Kedua, supaya ”perahunya terbakar”, jangan beri suntikan modal baru. Pemberian modal baru hanya akan menghambat perubahan. Merpati sangat membutuhkan krisis untuk perubahan.
Saya tadi menyebut jangan beri suntikan modal baru. Meski begitu, saya akui, untuk menyelamatkannya Merpati memang perlu modal. Apa saja yang bisa dijadikan modal oleh jajaran manajemen baru Merpati? Secara konvensional, Merpati masih bisa membakar lemak-lemak yang ada di tubuhnya, yaitu aset-aset yang underutilized. Namun, masih ada lagi. Pascaderegulasi, kita tahu sejumlah provinsi kaya ingin memiliki maskapai penerbangan sendiri, tetapi sulit mewujudkannya. Dana berlimpah saja tak cukup bagi daerah untuk mengoperasikan maskapai penerbangan sendiri. Sebab, bisnis penerbangan memiliki karakter highly regulated, high cost, high tech, high risk, dan high investment, tetapi marginnya tipis.
Selain rumit mengelola armada kecil, izin rute dan Air Operator Certificate juga sangat mahal dan lama keluarnya. Adapun Merpati sudah punya semua itu. Bagi saya, kegagalan sejumlah daerah tersebut adalah peluang penting untuk Merpati. Sejelek-jeleknya maskapai ini memiliki kemampuan mengelola bisnis penerbangan. Di sini pemerintah bisa membantu, bukan modal uang, melainkan kemudahan izin rute baru agar bisa terbang ke daerah-daerah tersebut. Jika dengan kesempatan itu Merpati tetap gagal beranjak dari landasan, saya kira memang Merpati benar-benar sudah tidak layak lagi untuk terbang.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan