Sebagian Anda mungkin sedang pusing memikirkan ke mana anak-anak akan bersekolah. Kita paham, dunia telah berubah menjadi terbuka dan persaingan di dunia kerja tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara.
Anak-anak kita bisa berkarier atau berwirausaha di mana saja di dunia ini, demikian juga sebaliknya. Persaingan di masa depan akan sangat berbeda dengan hari ini dan menuntut keahlian-keahlian baru yang aplikatif, bekerja lebih cepat, dan makin entrepreneurial. Tentu kalau bisa bersekolah di dalam negeri, mengapa harus ke luar negeri? Namun harus diakui pendidikan yang kita kembangkan di sini masih terlalu umum, belum aplikatif, dan belum melahirkan kemampuan manusia berpikir kreatif.
Maka itu menjembatani basic science dengan applied science menjadi tantangan para pendidik di abad ini. Saya ingin mengajak Anda mengenal Roger Babson dengan satu hasil karyanya, Babson College, sebuah sekolah yang basisnya kewirausahaan. Ya,real entrepreneurship, bukan paper entrepreneur yang hanya bisa membuat business plan. Barangkali ini bisa menjadi pilihan bagi anak-anak kita yang perlu dipersiapkan menjadi penjelajah di dunia baru itu.
Entrepreneurship University
Babson College didirikan Roger Babson pada 3 September 1919 di Wellesley, Massachusetts, Amerika Serikat (AS). Melihat usianya, Babson College termasuk salah satu perguruan tinggi yang cukup tua di AS. Dulu, ketika didirikan namanya adalah Babson Institute, tetapi pada 1969 berganti menjadi Babson College.
Di AS, kalau merujuk survei yang dilakukan News & World Report pada tahun 2012, Babson College menempati peringkat pertama kategori entrepreneurship university yang ada di sana. Peringkat itu berhasil mereka pertahankan selama 17 tahun belakangan. Perguruan tinggi ini terbilang cukup eksklusif.
Jumlah mahasiswanya tidak banyak dan kebanyakan mereka terdiri atas anak-anak orang kaya di AS, para penerus kerajaan bisnis keluarga, dan para inovator yang karyakaryanya banyak dikenal dunia bisnis mancanegara. Selama tahun 2013 hanya ada 2.844 mahasiswa yang berkuliah di sana. Kita mungkin bisa menilai kualitas Babson College dari apresiasi yang diterima para lulusannya.
Menurut survei CNN Money, gaji lulusan Babson College menempati peringkat kelima tertinggi di AS. Survei gaji lain yang dilakukan juga menempatkan alumnus Babson College di peringkat kelima. Peringkat ini berada di atas perolehan gaji lulusan Massacusetts Institute of Technology (MIT), Stanford University, Darmouth, Yale, dan perguruan tinggi terkenal lain. Lalu, siapakah Roger Babson?
Great Depression
Mereka yang belajar tentang ekonomi tentu tahu soal resesi besar yang melanda AS sejak era 1929-an hingga 1940. Roger Babson, melalui sejumlah indikator ekonomi yang dikembangkannya, adalah salah satu tokoh yang meramalkan bakal terjadinya crash di pasar modal AS pada Oktober 1929. Bagaimana ia melakukannya?
Sejak kecil Roger sudah belajar bisnis dari orang tuanya, Nathaniel Babson, yang pemilik toko kelontong. Meski sang anak sudah menunjukkan minatnya sejak kecil, ayah Roger tetap memaksanya untuk bersekolah dan meraih gelar akademis. Roger pun kemudian masuk ke MIT (1895–1898). Selama kuliah di sana, ilmu yang betul-betul ia rasakan memengaruhi jalan hidupnya adalah ketika belajar tentang Issac Newton.
Roger sangat terpukau dengan temuan Issac Newton, terutama hukum ketiganya yang membahas aksi-reaksi, yakni, ”Untuk setiap aksi, selalu akan ada reaksi sebaliknya sampai tercapai titik keseimbangan.” Roger lalu menerapkan teori ini dalam bisnis maupun kehidupan pribadinya. Seusai kuliah, Roger lalu bekerja sebagai investment bankersdi sebuah perusahaan di Boston.
Di sana ia belajar banyak tentang sekuritas. Setelah tahu banyak tentang investasi, Roger kemudian keluar dan mendirikan perusahaan sendiri yang menjual surat-surat berharga dan obligasi di New York. Ia lalu kembali ke Boston dan mengelola bisnisnya dari sana. Pada 1901, Roger terkena penyakit TBC. Dokter sudah menyatakan bahwa ia mungkin tidak akan selamat. Namun, Roger tidak menyerah.
Ia melawan penyakitnya dengan terus bekerja sebagai investment bankers. Istrinya, GraceMargaret Knight, berperan sebagai juru rawatnya. Ketika itulah Roger mulai menyadari bahwa setiap perusahaan keuangan selalu menerapkan metode riset yang sama. Maka, ia pun kemudian mendirikan perusahaan kliring yang, antara lain, memberikan informasi tentang bisnis dan investasi, termasuk analisis saham yang diterbitkan dalam bentuk newsletter.
Pelanggannya adalah para bankir dan investor. Bersama koleganya, George F Swain, Roger kemudian menerapkan hukum aksi-reaksi Issac Newton dalam ekonomi dan mengembangkan indikator ekonomi Babsonchart. Dengan konsepnya inilah Roger kemudian meramalkan terjadinya crash di pasar modal AS pada 1929.
Setelah itu Roger sempat menjadi kolumnis ekonomi di beberapa media seperti Saturday Evening Post dan New York Times. Ia juga mendirikan perusahaan penerbitan, menulis 47 buku, termasuk buku autobiografinya, Action and Reaction. Roger mendirikan pula Babson Institute yang kemudian berganti nama menjadi Babson College pada 1969.
Sebagai entrepreneur university, Roger mengembangkan Babson College dengan keyakinan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Itu sebabnya mata kuliah di sana betul-betul merupakan kombinasi antara pendidikan di kelas dan lapangan. Kurikulumnya betul-betul disusun sesuai dengan pengalaman praktis.
Podomoro University
Mengusung visi Roger Babson, Babson College berkeyakinan bahwa di tengah dunia yang berubah begitu cepat, semangat dan jiwa kewirausahaan sangat dibutuhkan setiap organisasi, utamanya dalam menciptakan peluang-peluang baru, menawarkan solusi, dan kolaborasi dengan pihak lain guna mewujudkan visi menjadi kenyataan.
Dan, ini yang sangat menarik perhatian saya, Babson College juga berkeyakinan bahwa entrepreneurship lebih dari sekadar memulai sebuah bisnis. Entrepreneurship, dalam arti luas, adalah jawaban terhadap munculnya berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara kita.
Indonesia bercita-cita menjadi negara maju dan keluar dari perangkap middle income trap. Untuk sampai ke sana, kita masih memerlukan banyak entrepreneur yang mampu mengubah ancaman menjadi peluang, dan yang tidak gentar menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Indonesia butuh sekolah yang mengedepankan aplikasi, bukan melulu teori. Itulah ranahnyaapplied science atau ilmu terapan.
Di Indonesia, Babson menjadi rebutan banyak universitas, tetapi Babson akhirnya jatuh hati pada Agung Podomoro, pemimpin dalam industri properti yang menjadi market leader dalam pembangunan dan pengelolaan superblok di tengah kota. Mengapa Podomoro? Jawabannya adalah karena kelompok usaha ini begitu tekun mengembalikan keuntungannya kepada dunia pendidikan.
Jadi bila di Babson seseorang harus membayar tuition fee di atas USD45.000 per tahun, di Jakarta setiap mahasiswa hanya menghabiskan sekitar Rp250 juta hingga selesai. Sudah begitu, program di Universitas Podomoro dengan Babson College ini pun dapat ditransfer ke Babson setelah menyelesaikan dua tahun studi di Jakarta.Lagi pula semua fasilitas untuk applied sciencetersedia di sana.
Grup ini memiliki puluhan hotel, mulai dari bintang 2 hingga bintang 6 yang dipakai untuk KTT APEC yang lalu (Sofitel). Mereka punya puluhan apartemen dengan puluhan ribu penghuni, mal, trade center, dan sebagainya. Maka laboratorium yang bersifat hidup (organik) menjadi keunggulannya dan mahasiswa bisa langsung menguji kewirausahaannya di sana.
Universitas Podomoro membuka program-program studi yang aplikasinya sangat ia kuasai: kewirausahaan, akunting, arsitektur, konstruksi, dan perhotelan. Semuanya dibangun dengan basis riil entrepreneur. Saya yakin ini akan bermanfaat bagi anak-anak kita. Minggu-minggu ini saya mulai mengirim dosen-dosen muda untuk dilatih di Babson dan rombongan dari Babson pun mulai berdatangan ke Jakarta.
Kita berharap melalui Babson College akan tercipta pengusaha-pengusaha Indonesia yang tangguh, apakah dia penerus generasi pendahulu atau pemula yang tak kalah hebatnya dengan generasi sebelumnya. Inilah saatnya mempersiapkan anak-anak kita untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan