Terperangkap di Tengah – Jawa Pos, 21 Desember 2013

Pemimpin baru Indonesia yang muncul tahun depan akan punya “musuh bersama” yang bernama middle income trap.  Setelah sepuluh tahun meraih posisi sebagai negara dengan pendapatan menengah (2003), pertanyaannya mampukah atau maukah kita berjuang menjadi negara kaya (high income country)?

Sepuluh tahun merupakan waktu yang tepat bagi kita untuk bercermin dan menata diri. Apakah kita akan terombang-ambing dalam gelombang ketidakpastian ekonomi yang melahirkan watak-watak reaktif (sehingga menjadi bangsa pecundang) atau mampu berubah menjadi bangsa modern yang futuristik, berjalan di depan kurva, dan adaptif?

7-10 Tahun

Sejarah mengajarkan kepada kita, di antara 101 negara yang masuk kategori middle income countries (1960) ternyata hanya ada 13 yang berhasil diwisuda menjadi high income countries sebelum 2008. Selebihnya (88 negara) ternyata terus terperangkap di tengah (World Bank, 2012).

Demikian juga kajian dari ADB (2012). Di antara 52 negara middle income yang dievaluasi pada 2010, ternyata sebagian besar (35 negara) sulit bergerak naik. Negara-negara ini mengalami rasa frustrasi yang hebat, putus asa, hilang harapan, dan sulit memperbarui perekonomiannya.  Anda mungkin masih ingat betapa frustasinya Argentina yang tambal sulam kebijakan sehingga butuh waktu 40 tahun (1970-2010) untuk keluar dari middle income trap.

Tetapi, kalau kita bedah negara-negara Asia, kita dapatkan suasana yang berbeda. Rata-rata negara Asia yang ulet umumnya sudah bisa keluar dalam tempo 7-10 tahun. Hongkong, misalnya, memperoleh status middle income country pada tahun 1976 dan masuk kategori high income country pada tahun 1983. Cukup tujuh tahun saja.

Demikian pula Jepang yang dikenal dengan inovasinya, hanya butuh waktu 9 tahun (1968 -1977), Singapura 10 tahun (1978 – 1988), Korea Selatan 7 tahun (1988 – 1995), dan Taiwan 7 tahun (1986 – 1993).

Namun, kita bisa berdebat atau berdalih lewat macam-macam argumen. Pertama, negara-negara itu relatif kecil, homogen, bahkan sebagian besar dipimpin dengan leadership tangan besi namun berorientasi pasar dan liberal. Amat beda kenyataan kita: berpenduduk besar, tinggal di sebuah kepulauan yang terbanyak di seluruh dunia.

Kedua, kendati mengalami bonus demografi, rata-rata SDM besar Indonesia masih berpendidikan rendah. Ketiga, Indonesia baru saja meninggalkan era pemerintahan yang otoriter yang menjadikan negara demokratis yang besar di Asia dengan sejuta kesulitan dalam berkoordinasi.

Lantas mengapa topik ini bisa menjadi “musuh bersama” dalam membangun Indonesia ke depan?

Saya  kira, kita bisa memberikan seribu satu argumentasi. Pertama, saat ini kita tengah benar-benar berada di persimpangan yang sulit. Pertumbuhan Ekonomi yang selama sepuluh tahun dapat digenjot rata-rata 5,7 persen (per tahun) kini mulai melambat. Padahal, kata kunci untuk berubah menjadi negara berpenghasilan tinggi  adalah produktivitas. Ketika pertumbuhan melambat, produktivitas otomatis ikut melambat, turun perlahan-lahan.  Sudah begitu, pemakaian APBN kita itu slow (baru digunakan besar-besaran setiap akhir tahun) dan low (daya serapnya di basah 90 persen).

Kedua, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam yang membuat kita mudah terlena, cepat puas diri dengan ekspor bahan-bahan mentah (komoditas) yang bernilai tambah  rendah. Kita cepat puas karena tanpa susah payah  cepat kaya atau merasa kaya.

Ketiga, kita menjalani pasang-surut leadership yang membuat kepala-kepala daerah dan pejabat-pejabat tinggi terperangkap dalam logika berpikir jangka pendek, power play dengan kebijakan-kebijakan populis yang serba instan dan koruptif.  Akibatnya, kita kehilangan pijakan yang penting di masa depan dan terbuai dengan masalah-masalah yang tidak terlalu penting.

Namun, apa yang dipikirkan para ekonom untuk keluar dari semua perangkap itu patut kita simak di sini. Ketidakmampuan kita berpikir jangka panjang yang tercermin dari tidak adanya perencanaan yang konsisten dengan prioritas yang matang telah menimbulkan persoalan-persoalan besar. Apalagi campur tangan politik yang membuat rencana berbelok pada kepentingan parsial yang tidak menyatu.

Apa persoalannya?

Begini. Perlambatan pertumbuhan terjadi karena hilangnya kemampuan Indonesia dalam mempertahankan kondisi low-cost (dalam produksi), termasuk andalan lama: Low cost labour. Tentu saja juga ketidakmampuan kita memanfaatkan teknologi tinggi untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Jadi, dari bawah, kita mulai bergerak ke atas. Dengan begitu, produk-produk, jasa-jasa, dan kawasan investasi Indonesia tidak mampu lagi bersaing dengan negara-negara berupah rendah yang dulu setara dengan kita.

Sebaliknya, di atas, kita belum sanggup bersaing dengan negara-negara berpendapatan tinggi yang menghasilkan produk/jasa yang sophisticated seperti yang dihasilkan Korea Selatan, Jepang, atau Uni Eropa. Semua itu hanya bisa dihasilkan oleh SDM yang berkualitas tinggi, melalui tangan  para insinyur andal, dokter-dokter yang biasa bekeja dalam tim yang cermat,  peneliti-peneliti kelas dunia dengan inovasi yang terencana  dan teknologi tinggi.

Nah, bayangkan apa jadinya negeri ini bila kita terus-menerus terperangkap di tengah.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *