Perbankan Syariah yang Berotot – Media Indonesia, 19 Desember 2013

STATISTIK perbankan syariah di Indonesia sungguh mengagumkan. Ketika aset bank umum  hanya tumbuh rata-rata 19%, perbankan syariah bisa dua kali lipatnya. Saat  kredit bank umum tumbuh 18%, pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah bisa sampai 36%. Ketika pertumbuhan Dana Pihak Ketiga di bank-bank umum hanya 15%-an, di perbankan syariah bisa lebih dari 30%.

Lalu, mengapa hingga kini sosok perbankan syariah kita masih tetap saja terlihat mungil? Perannya terhadap perbankan nasional bahkan kurang dari 5%.  Padahal, Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Semestinya perbankan syariah kita tampil sebagai sosok yang tinggi besar, kekar lagi berotot. Bukan mungil.

Kegemasan terhadap kondisi inilah yang menjadi diskusi saya dengan para pemangku kepentingan di bisnis perbankan syariah dalam Dialog Ekonomi dan Perbankan di Metro TV, Rabu (18/12). Mereka adalah Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Edy Setiadi, Herry Hikmanto yang Direktur Perbankan Syariah Bank Danamon, dan Ismi Kushartanto, seorang pengusaha dan Direktur Eksekutif Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah.

USIA PERBANKAN SYARIAH kita memang masih belia—pertama kali beroperasi tahun 1992. Ketika baru melewati usia balita, perbankan syariah sudah digempur oleh krisis ekonomi 1998. Ajaib, perbankan syariah kita ternyata mampu bertahan.

Semasa krisis, ketika banyak bank yang membutuhkan suntikan modal dari pemerintah, meminta Bantuan Likuiditas dari Bank Indonesia (BI), bank syariah tidak. Bagi saya ini gambaran tangguhnya perbankan syariah kita. Mungil, tetapi lincah.

Saya sendiri berharap pasca krisis ekonomi 1998, bank-bank syariah kita bisa tumbuh super cepat . Sebagian kita mungkin masih ingat saat krisis 1998, suku bunga kredit bank umum sontak melambung tinggi. Para nasabah KPR kalang kabut ketika cicilan kredit rumahnya tiba-tiba membengkak lebih dari dua kali lipat.  Rasa diberlakukan tidak adil antak berdaya begitu kuat di kalangan debitur. Hal serupa tidak terjadi pada mereka yang mengajukan pembiayaan ke perbankan syariah.

Saya berharap pengalaman itu menjadi sentimen positif bagi perbankan syariah. Namun, rupanya itu tidak terjadi belakangan ini.

ALBERT EINSTEIN MENGATAKAN, mustahil mengharapkan hasil berbeda jika kita terus melakukan cara yang sama. Denyut itulah yang kini saya rasakan di perbankan syariah. Mereka terus berinovasi mengembangkan produk-produk baru. Di antaranya, trade financing dan pembiayaan untuk alat-alat berat,serta layanan cash management online banking.

Ada juga produk co-financing atau pembiayaan bersama. Jadi kalau Anda punya tanah dan ingin membangun rumah kos atau pembiayaan investasi, perbankan syariah siap membantu.

Pembiayaan syariah berbeda. Jika bisnis rumah kos Anda menguntungkan, itulah yang dibagi antara Anda dengan bank. Kalau rugi, bank syariah pun ikut memikul bebannya. Lalu, ada juga produk dana bergulir yang ditujukan untuk membantu pelaku mikro yang ingin memulai usaha.

Derap serupa juga saya rasakan di BI. Kini, BI memberikan keleluasaan bagi perbankan syariah untuk meluncurkan sejumlah produk dengan pemberian  izin yang lebih fleksibel otoritas moneter terlebih dahulu.

Kini persoalannya tinggal bagaimana membuat masyarakat mudah mengaksesnya. Ini tidak mudah. Membuka cabang baru jelas tidak murah. Di sini saya lihat teknologi bisa menjadi solusi. Dan, saya kira masyarakat kita sudah siap mengadopsi. Lihat saja antrean di depan mesin ATM yang terus mengular.

Semoga semua derap itu mampu membuat perbankan syariah tidak lagi menjadi sosok yang mungil, melainkan tinggi besar dan tetap lincah dan makin berotot. Bukan pendek gemuk, tambun dan banyak lemak akibat terlalu dimanjakan.

Rhenald Kasali
Founder  Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *