Jalan-jalan yang dulu tertutup kini terbuka. Siapa yang diuntungkan, siapa dirugikan?
Pertanyaan itu selalu menghantui “pemilik jalan.\” Mereka tentu keberatan jalannya dibuka untuk umum. Apalagi bila di situ ada hak monopoli dan tarifnya bisa ditentukan sendiri.
Sementara itu, yang kini bisa ikut lewat tentu senang. Itulah Open Access, sebuah dobrakan pasca perang dingin yang dilakukan untuk membuat flow barang, jasa dan manusia bergerak lancar, murah, efisien dan lebih banyak orang yang bisa menikmati.
Seperti Tower Bersama dalam industri telekomunikasi, atau ATM bersama dalam industri perbankan, perubahan serupa tengah terjadi dalam pendistribusian gas dengan 40-an pemain.
Dari 40 pemain itu, pemilik jalan (pipa) ada 16, selebihnya adalah trader biasa. Nah, dari 16 pemilik pipa, hanya ada 2 pemain besar: Pertagas dan PGN. Yang satu pemain baru, yang satunya pemain lama yang sudah menguasai hubungan dengan pelanggan.
Lalu bagaimana impact dari perubahan ini pada keduanya?
Heboh Akuisisi
Di media massa saya membaca berbagai kehebohan yang disampaikan berbagai pihak. Seperti layaknya perubahan-perubahan besar, kehebohan seperti ini selalu dipicu oleh persepsi-persepsi buruk akan datangnya bencana, kekalahan atau kerugian besar. Berbagai tuduhan dan isu pun beredar, termasuk isu tentang akuisisi yang lalu dianalisis baik buruknya.
Kata ahli rumor Allport dan Posman, kalau tak ada informasi yang dimengerti, imajinasi pun digoreng.
Tapi baiklah kita kupas perubahan yang terjadi. Saya ambil kajian yang dilakukan secara ilmiah oleh seorang analis keuangan dari UBS yang pada 13/6/2012 menurunkan laporan tentang Perusahaan Gas Negara yang berjudul: The End Game.
PGN memang pemain dominan dalam penyaluran gas. Ia baru memiliki lawan tangguh (Pertagas) beberapa tahun belakangan ini yang lahir dari proses transformasi di Pertamina yang diamanahkan menjadi Powerhouse Indonesia.
Menurut analis UBS, competitiveness PGN akan pudar karena dua hal: Open Access (pada pipa transmisi dan distribusi) dan terminal penerima LNG.
Jadi kalau pipa transmisi yang menghubungkan sumber gas di Sumatera Selatan dengan pasar dominannya di Jawa Barat dibuka, maka PGN hanya bisa mengenakan tarif lewat (toll fee) sebesar 1,5 dollar AS/mmbtu. Padahal sebelumnya ia membebankan 4,0 dollar AS/mmbtu kepada pelanggannya.
Besarnya tarif itu kini ditentukan pemerintah dan berlaku umum. Lalu, bagaimana bila bukan hanya pipa transmisi saja yang dibuka? Sebut saja pipa-pipa distribusi yang menghubungkan pipa-pipa besar dengan pelanggan. Dengan tarif yang lebih murah yang diajukan pesaing-pesaingnya, pelanggan-pelanggan tentu bisa hijrah dengan cepat.
Lalu yang kedua, analis UBS menemukan masa depan gas-gas Indonesia tidak lagi berada di Sumatera atau Indonesia Timur. Dengan begitu, pendistribusian dalam bentuk gas cair LNG yang mudah diolah jauh lebih menguntungkan daripada melalui pipa-pipa transmisi antarpulau.
Nah yang lebih membuat PGN pusing, penguasa terminal LNG adalah Pertagas (70 persen market share). Sudah begitu, jaringan pipa distribusi Pertagas sangat dekat dengan basis pelanggan PGN. Tarif harga gas distribusi Pertagas, menurut analis itu 45 persen di bawah tarif yang dikenakan PGN.
Ini tentu mengganggu kenyamanan incumbent. Transformasi besar-besaran di Pertamina kini harus diimbangi dengan perubahan besar-besaran di PGN. Karena PGN tak punya sumber gas sendiri, maka PGN perlu mencari sumber-sumber gas yang lebih pasti dengan masuk ke hulu.
Tetapi bisnis eksplorasi sangat beresiko tinggi dan butuh ketrampilan yang memadai. Sedangkan Pertagas sudah pasti punya gas dari Pertamina. Apalagi setiap kali Pertamina mengebor minyak selalu ada gas di atasnya. Mungkin karena itulah isu tentang akuisisi mencuat, menjadi semacam wishful thinking.
Konsumen Diuntungkan
Untuk sementara, PGN memang tengah berada pada posisi sulit. Tetapi dalam manajemen perubahan kita memandangnya dengan kacamata yang berbeda. Perubahan ini bukanlah sesuatu yang layak ditangisi, apalagi ditakutkan. Ini hanyalah sebuah “sakit” yang diberikan untuk berubah.
Kalau harga gas turun dan konsumen diuntungkan, maka volumenya akan meningkat. Dan kalau volumenya besar, maka totalincome yang diterima PGN dari “toll fee” pada pipa-pipa transmisinya dalam jangka pendek akan naik.
Tetapi kita juga perlu memahami bahwa 44 persen dari total pelanggan distribusi gas industri ini hanya berasal dari satu perusahaan: PLN. Maka, sudah pasti Open Access tidak dapat dihindari karena hal ini sejalan dengan kepentingan nasional untuk mengurai ekonomi biaya tinggi. Tambahan pula salah satu pemegang saham publik terbesar di PGN adalah JP Morgan. Sudah pasti di sana berkumpul ahli-ahli yang menguasai masalah ini.
Di banyak negara, isu Open Access sudah diterima lebih dari 25 tahun yang lalu. Dimulai dari pembukaan jalur komunikasi telfon kabel hingga gas. Pelanggan Amerika yang tidak puas dengan layanan AT & T misalnya (atau merasa tarifnya kemahalan) dengan cepat berpindah operator tanpa dikenakan biaya sambungan baru.
Dalam distribusi gas, di Amerika Serikat sendiri, sebanyak 70 juta rumah tangga dilayani oleh lebih dari 1500 perusahaan tanpa perlu gali lobang-tutup lobang menanam pipa-pipa baru. Tetapi 20 tahun yang lalu, terjadi pertempuran sengit antara local distribution company (seperti PGN) dengan pemilik gas dan pemilik pipa. Solusinya pun ditempuh secara bisnis: restrukturisasi model bisnis dan merger.
Demikian pula di Uni Eropa. Bulan oktober lalu bahkan Komisi UE mengeluarkan aturan-aturan baru untuk menata alokasi kapasitas demi mencegah kongesti dalam pipa-pipa yang jalurnya terbuka untuk semua pelaku usaha itu. Semuanya diarahkan untuk meningkatkan daya saing industri.
Di Jawa Timur sendiri, praktik Open Access telah mulai bisa dilihat dampaknya terhadap gainyang diperoleh konsumen.
Sebelum Open Access diberlakukan konsumen membayar gas dengan harga 8 dollar AS/mmbtu. Saat Open Access digagas, Pertagas masuk dengan menawarkan 6-7 dollar AS/mmbtu. Khawatir kehilangan pelanggan, Gagas (anak perusahaan PGN) menawarkan harga yang lebih murah lagi, 5,5 dollar AS/mmbtu.
Ini berarti kompetisi mulai bekerja. Persaingan yang sehat jelas menguntungkan konsumen dan memajukan industri. Dengan tarif yang lebih kompetitif ini, incumbent dipaksa berbenah. Industri-industri pemakai gas yang berbahan baku impor di tengah-tengah melemahnya nilai tukar rupiah akan sedikit terbantu. Saya percaya PGN memiliki kemampuan berubah secara mendasar.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan