Bukan baru kali ini para ulama mengingatkan kita tentang bahaya menikmati atau mengkonsumsi sesuatu. Apakah itu soal benda-benda duniawi, jasa keuangan, hingga kontes-kontes kecantikan. Dan setiap kali kita mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu, saya selalu teringat akan sejarah kopi.
Konon, kopi pertama-tama dikenal pada abad 9 oleh para gembala di Ethiopia dan Kenya (yang terkenal dengan kopi Blue Mountain-nya yang berkualitas premium). Gembala-gembala itu mengamati, setiap kali kambing-kambing yang mereka gembalakan mengunyah daun kopi beserta biji-bijinya, kambing-kambing itu menjadi sangat aktif. Dari Afrika Timur, kopi kemudian populer di jazirah Arab. Tetapi, tahukah Anda, para ulama juga pernah melarang umatnya minum kopi?
Mengapa Dilarang
Karena mempunyai efek sebagai perangsang, menurut beberapa literatur, kopi pernah dilarang oleh beberapa agama. Di lingkungan Muslim ortodox di Timur Tengah, pada abad ke 15, konon kopi dilarang untuk dikonsumsi. Tetapi ia kemudian diterima karena bisa membantu para pendoa hingga agar fokus mengaji hingga dini hari. Tetapi di kalangan penganut Mormon, hingga hari ini kopi tetap dilarang dengan alasan \”moral\”.
Di dunia Barat, kopi juga pernah dilarang oleh gereja dalam spirit perang Salib. Selain karena isu agama (yang dianggap sebagai minuman umat Muslim), tentu saja karena minuman ini tidak dikenal sebelumnya. Selain rasanya pahit, ada isu-isu moral seperti perangsang yang dianggap tidak layak dikonsumsi.
Demikianlah pada tahun 1500-an, kopi pernah dilabel sebagai minuman \”haram\” oleh Vatikan. Beberapa sejarawan ekonomi menyebutkan, berkat larangan dan tudingan itulah kopi justru menjadi sangat populer di era Renaissance. Diam-diam orang mulai membangkang dan menggosipkan kenikmatannya. Dan perubahan baru terjadi di era Paus Clement VIII yang ketika ditekan oleh para ulama Katholik fanatik agar menyatakan kopi sebagai minuman \”iblis yang tak bermoral\”, Ia justru berpikiran lain.
Paus Clement VIII dinilai penikmat kopi sebagai Paus yang berpikir terbuka, dan tidak sedogmatis rekan-rekannya yang asal main hakim dengan melabelkan kopi sebagai minuman \”dari tanah kaum kafir\” (land of the infidels). Uniknya, sebelum melarangnya, ia sendiri meminta untuk mencicipinya sendiri.
Di luar dugaan, saat mencicipi secangkir kopi, Paus Clement VIII justru merasakan perbedaan. Dia merasa aneh kalau minuman nikmat ini dikatakan sebagai minuman iblis yang dikonsumsi kaum kafir, Dia justru sangat menikmatinya. Dalam sebuah literatur berbahasa Inggris, seorang sejarawan mengutip ucapan Clement VIII begini:
“This satan\’s drink is delicious… it would be a pity to let the infidels have exclusive use of it. We shall fool satan by baptizing it.”
Kalimat itu menjadi sangat terkenal di kalangan gereja, menjadi jokes, dan dijadikan tema iklan produk kopi di tahun 1950-an. Terutama kata “Mulai hari ini kami baptiskan kopi sehingga menjadi suci kembali.”
Sejak saat itu Eropa kecanduan kopi. Mereka membeli dari pedagang-pedagang Arab. Maka tak heran bila tradisi minum kopi tumbuh cepat di Italia. Pada tahun 1675, menurut sebuah laporan, sudah ada sekitar 3000-an kedai kopi di Inggris dan 4000-an di Italia. Mereka lebih suka menenggak kopi ketimbang wine yang mengandung alkohol.
Bijaksana dalam Melarang
Sejarah kopi menyisakan sepenggal pembelajaraan penting dalam soal hubungan agama dengan bisnis, bahkan dalam soal larang-melarang, atau mengurangi hak orang lain untuk mengkonsumsi sesuatu. Sesuatu yang kita yakini harus dilarang, ketika masyarakatnya sudah hidup dalam abad pencerahan yang kritis, kalau tidak dilakukan dengan bijaksana justru bisa menjadi bumerang. Bahkan sesuatu yang dilarang hari ini bisa saja menjadi normal di saat yang lain.
Ini sudah dibuktikan terjadi dalam banyak kasus. Alih-alih menimbulkan rasa takut dan mengurangi konsumsi, orang yang merasa hak-haknya dibatasi malah justru akan berbalik “membela” dan “membeli”nya.
Lihat saja sewaktu “goyang ngebor” Inul Daratista yang sempat dihujat oleh Rhoma Irama dengan alasan moral. Popularitas Inul justru melesat ke angkasa. Lihat juga sewaktu calon gubernur Jokowi-Ahok dipertanyakan agama dan keyakinannya. Seperti pesan sepenggal ayat dalam sebuah kitab suci, “Mereka yang direndahkan dunia akan ditinggikan oleh-Nya.” Kita juga melihat orang-orang “teraniayaya” justru ditinggikan penerimaannya.
Saya masih punya segudang kasus lainnya, tetapi sampai disini kiranya jelas, para ulama harus lebih bijak dalam menyampaikan sesuatu. Demikian juga dengan para regulator. Alih-alih ingin membatasi atau menghapuskan sesuatu. Upaya demarketing itu justru dapat menimbulkan daya ungkit yang luar biasa, yang menjadi pemicu konsumsi, naiknya popularitas, rating, bahkan simpati.
Terbukti rating acara televisi saat malam pembukaan program Miss World terbilang sangat tinggi dan sulit diimbangi program-program unggulan tertentu. Jadi ini bukan soal pro atau kontra, ini hanya soal cara, yaitu adakah cara yang lebih bijak, yang lebih persuasif dan peacefull dalam mengupayakan hal-hal baik.
Kembali ke kopi, dewasa ini lebih dari 7 juta metrik ton dengan nilai triluyan dolar justru lebih menjadikan kopi sebagai bisnis yang menggiurkan. Entahlah kalau di balik itu ada konspirasi apa. Cherise Sinclair, penulis buku Master of The Mountain menyindir, “Apapun yang ditemukan para sejarawan, BC bukanlah kependekan dari Before Christ, melainkan ‘Before Coffe’. “ Selamat mengarungi lautan kebijaksanaan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan