Misteri Kejatuhan Ekonomi Tiongkok (1) – Jawa Pos, 31 Juli 2013

Banyak orang penasaran, apa jadinya bila ekonomi Cina benar-benar ambruk? Setelah Amerika Serikat dan Eropa dilanda krisis, 5 tahun kemudian awan gelap mulai bergeser ke Cina. Dan para penganut adagium “the world is flat” percaya, jatuhnya Cina ya sama juga dengan jatuhnya Asia.

Yang artinya, India juga bakal memasuki masa yang sulit. Demikian pula negara-negara ASEAN plus Jepang. Berarti satu-satunya harapan hanyalah tinggal Australia dan Afrika. Padahal penduduk Afrika masih miskin, ledakan penduduknya begitu besar,  dan banyak pemerintahan yang otoriter dan korup.

Tapi benarkah Cina sulit ? Jadi bagaimana Indonesia ?

 Big Is Problematic

Minggu lalu, di Brunei Darussalam saya tersenyum-senyum menyaksikan negri yang kata orang sungguh kaya ini. Malnya saja jauh lebih bagus  Mal Pondok Gede 10 tahun yang lalu. Tak ada orang berpakaian modis seperti yang Anda biasa lihat di negara-negara yang berpenduduk sejahtera. Petugas Imigrasinya juga lusuh dan tak ada senyum, mengingatkan saya pada petugas imigrasi di bandara Rusia di awal-awal reformasi. Di sambut kata selamat pagi, atau good morning, mereka tetap cemberut.

Jadi bila Singapura bisa mengubah pasarnya yang “small” menjadi powerfull dan beautiful, di Brunei hal itu tak terjadi: Kekayaan hanya ada di tangan raja dan keluarga besarnya. Merekalah yang bisa menikmati gaya hidup England, membuat Brunei University di London, dan menjadikan anggota keluarga bergelar doktor dari kampus buatan sendiri di luar negeri.

Produksi tak ada, semua serba impor. Tetapi tak kelihatan komplain rakyat seperti yang sering kita lihat di sini.   Penghasilan dari minyak masih banyak, uang negara pun diinvestasikan raja pada banyak kawasan yang ekonominya bagus. Ini berbeda dengan Singapura, negeri kecil, tetapi penduduknya mulai susah tersenyum. Di Bandara Changi, Anda diminta memberi rate senyum petugas imigrasi dan pelayan toko yang dibentuk perusahaan sehingga mereka mulai menunjukkan keramahan. Namun di kehidupan sehari-hari hidup mereka serba sulit.

Bagaimana Dengan Cina?

Teman-teman saya di Renmin University – Beijing mengaku kehidupan mulai terasa berat. Jumlah eksekutif yang mendaftar untuk ikut program MBA mengalami penurunan yang tajam. Persis seperti tahun 1998 di sini. Jalan raya sudah mulai semacet Jakarta, harga apartemen semakin tak terjangkau, dan kelas menengahnya mulai beremigrasi ke New Zealand, London, Seoul, Hongkong, atau Singapura.

Separuh dosen-dosen Renmin adalah Ph.D lulusan barat, dari kampus-kampus terkenal di Amerika Serikat (Harvard dan Wharton) atau Inggris (London School of Economics). Meski beretnik Cina, mereka berkewarganegaraan asing dan memilih pindah ke Cina karena di sana sedang terjadi krisis.

Tetapi teman-teman pengusaha menjawab dengan nada yang berbeda-beda. Jin Dong, e-commerce Cina yang dikelola oleh alumnus Renmin Bussines School menolak tudingan Barat kalau pertumbuhan ekonominya dikatakan telah berakhir. Pasalnya penjualan Jin Dong masih tumbuh. Tetapi para ahli menunjukkan data yang mencemaskan. Sektor manufaktur Cina pada kwartal pertama 2012 turun 15% dari rata-rata dekade itu, bahkan sekitar 25% dari setahun sebelumnya. Konsumsi listrik, turun lebih besar lagi, sebesar 50% menjadi 3,7%. Penyebabnya adalah ketergantungan Cina yang tinggi pada pasar dunia Barat.

Satu-satunya kabar gembira ada pada konsumsi domestik. Tetapi ini pun dapat berubah dengan cepat kalau investasi dalam negerinya turun.

Jadi bagi sebagian orang, mulai dirasakan hukum big  is problematic. Dan karena “matahari” tidak tinggal diam di tempat, (karena buminya terus berputar), maka Cina pun dapat terimbas “kegelapan” pada masanya. Hanya saja, perubahan di abad ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia hanya mengirim signal yang serba perlahan, selembut perputaran bumi pada porosnya sehingga membuat banyak orang menyangkal, tak menerima atau tak mampu membacanya. Seperti kata pepatah, setiap permulaan kesulitan, hanya para sufi yang bisa membacanya.

Krisis Selalu Dikutuk

Karena  menyangkal, maka manusia “menyembunyikan” kekurangan-kekurangannya. Ini menjadi semakin rumit karena ada masalah “national security”  jangan sampai terjadi escalation of commitment yang memperburuk keadaan. Pemimpin punya peran menambal lubang-lubang yang bocor sambil terus meyakinkan warga negara dan investor-investor asing bahwa “everything will be okay” atau menggibur dengan mengatakan, “ini hanya kejutan sementara saja!”

Tetapi semakin ditutupi semakin tajam orang ingin membelahnya. Semakin dicari palu dan godam yang bisa memecah batu yang mengurung “isi” suatu kebenaran.  Semua itu ditambahkan “bumbu kutukan” karena manusia membenci krisis, merasa kepentingan terusik.

Kutukan pertama datang dari Ruchin Sharma yang menulis buku Breakout Nations (2012). Ia mengulas dalam sebuah bab khusus tentang China’s after party. Dan minggu minggu ini, kutukan-kutukan terus berdatangan,  biasanya disertai dengan penarikan dana  besar-besaran. Memang benar Cina saat ini menjadi sumber keuangan Barat, tetapi hutang swastanya sudah melebihi 125% dari GDPnya. Ini tentu beresiko besar bagi Cina dan negara-negara yang sangat mengandalkan Cina.

Minggu lalu, penerima hadiah Nobel Ekonomi Paul Krugman menulis di harian The New York Times dengan judul yang amat menggigit. “Hitting the China’s wall”. Katanya, “tanda-tandanya sekarang tidak mungkin salah lagi: Cina sedang dalam masalah besar. Ini bisa dilihat bukan dari hal-hal remeh, tetapi dari  fundamentalnya. Cara bangsa Ini menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnisnya dan sistem ekonomi  yang telah digerakkan selama 3 dekade dengan pertumbuhan yang mengesankan telah mencapai titik batas tertingginya.\”

Krugman ingin mengatakan, gelombang pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dunia itu telah mulai  bertabrakan dengan Tembok Cina yang kekar. “itu sudah pasti.  Namun pertanyaannya adalah seberapa buruk benturan itu menimbulkan akibatnya,” tutup Krugman.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *