Hilangnya Kemampuan Mendongeng Para Pejabat – Sindo, 25 April 2013

Anda mungkin pernah mendengar quotes ini: “Imagination is more important than knowledge” (Albert Einstein). Tapi bagaimana manusia mendapatkan imajinasi? Tengoklah betapa sulitnya bangsa ini menata hidupnya untuk masuk ke tahapan berikutnya. Semua asyik dengan lamunan-lamunan riil masa lalunya.  Ibarat penyakit, maka jenis dan penyebabnya sudah berubah, sudah semakin sulit diatasi dengan obat-obatan yang lama, tetapi kita masih saja menggunakan cara pikir lama dengan obat-obatan lama.  Apa jadinya pasien yang terjangkit virus  flu burung namun hanya diobati obat-obatan yang biasa ditemui di pasar?
            Ya, hanya lamunan-lamunan masa lalu yang menjadi acuan bagi sebagian besar perjalanan perubahan bangsa ini.  Yang mendengarkan tidak sabaran, terburu-buru menyimpulkan, bahkan terburu-buru memvonis, mencari kambing hitam, mengadili. Sebaliknya yang mempunyai konsep bagus sekalipun, gagal menceritakan gagasan-gagasan, konsep atau strateginya. Apa yang dipikirkan tidak sama dengan yang ditulis. Dan apa yang dikerjakan tidak sama dengan apa yang ditulis.
“Story Telling Stimulate Imagination”
            Berbagai studi belakangan ini menemukan, ternyata “story telling” (cerita dongeng) sangat membentuk imaginasi manusia. Dan kemampuan berimajinasi mempunyai pengaruh yang penting untuk menyatukan suatu bangsa keluar dari kegelapan, dari penjara-penjara persoalan di masa lalu.
Dalam perjalanan bangsa ini sudah sering kita saksikan orang-orang hebat yang “kering”. Padahal kita semua pernah bertemu dengan guru-guru atau dosen-dosen yang hebat. Dan yang membedakan mereka dengan lainnya adalah kemampuannya bercerita.
Namun semakin hari semakin banyak kita temui orang-orang yang kesulitan mengungkapkan “isi pikiran” atau “apa maunya” dengan jelas. Hal ini tampak jelas dalam sosialisasi berbagai kebijakan-kebijakan baru. Apakah itu Kurikulum Baru, pengurangan subsidi BBM, pemindahan warga dari bantaran sungai, sampai pada penanganan masalah-masalah yang berawal dari rendahnya kemampuan “menjelaskan”. Sebut saja tentang “amburadulnya” pelaksanaan Ujian Nasional yang kalau dengan kepala dingin akan jelas diketahui bukan melulu masalah di satu Kementerian. Ini adalah masalah yang sangat luas yang menyangkut rendahnya kemampuan birokrasi menangani masalah-masalah baru. Masalah yang saling terkait mulai dari sistem politik, administrasi keuangan negara, sampai sistem pengadaan (tender) yang buruk dan penuh tipu muslihat.
Semua pejabat publik hanya asyik bicara dalam bahasa teknis yang kering. Bahasa yang tidak artikulatif, tidak persuasif, bahkan tidak dipercaya masyarakat, mudah diputar balikkan. Masyarakatnya juga sama. Tak mampu menjelaskan rasa kesalnya selain dengan nada nyinyir dalam kalimat-kalimat pendek.
Masyarakat tidak puas membaca penanganan aneka masalah apakah itu penegakkan hukum, ataupun penanganan bencana. Kita tidak puas mendengar penjelasan aparat birokrasi dan para pejabat yang pintar-pintar yang terkesan berbelit-belit.  Terhadap setiap masalah makro, politik, penegakkan hukum, korupsi, bencana alam ataupun pendidikan kita menjadi lebih percaya ada logika para budayawan, dalang, atau bahkan selebriti.  Ada masalah trust, namun juga ada masalah kemampuan berkomunikasi yang amburadul. Yang satu pakai bahasa langit, bahkan bahasa yang logikanya tidak jelas, sedangkan yang lainnya memakai bahasa preman.
Apakah semuai ini bukan cerminan dari lemahnya kemampuan story telling, atau lebih jauh, apakah ini merupakan cermin dari hilangnya sebuah generasi dari cerita-cerita yang kaya dengan prinsip dan karakter?
Cerita-Cerita Bermoral
 
Lebih dari itu, kalau kita dalami, ternyata sebagian besar cerita-cerita rakyat kita lebih banyak memberikan nuansa-nuansa pelanggaran terhadap komitmen. Tengoklah cerita bagaimana Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar tidak dinikahi anaknya sendiri yang ia sudah janjikan. Tengoklah pula cerita-cerita rakyat lainnya. Yang satu sudah tidak cocok dengan tuntutan zaman menyangkut soal orangtua yang otoriter, yang lainnya soal pencuri ketimun yang ditangkap (padahal koruptor besar malah dibebaskan atau dihukum ringan).
Cerita-cerita rakyat yang hidup adalah cerita yang membentuk karakter, dan tentu saja membutuhkan kajian para budayawan serta ahli perubahan sosial untuk mengkajinya.  Dan sudah barang tentu karakter tak bisa ditanam dalam bentuk definisi, melainkan dalam bentuk cerita. Dan cerita itu harus bisa disampaikan dalam bentuk mimik, kata-kata, ucapan, seperti dalam sentra seni peran.  Anak-anak yang biasa dididik dalam lingkungan yang demikian, menurut studi yang dilakukan di Duke University punya kecenderungan akan menjalani masa depan dengan lebih bahagia.
Bahkan selanjutnya, anak-anak yang bahagia dan terbiasa mendongeng itu, kelak pada masanya akan menjadi pejabat-pejabat publik, guru, atau tokoh yang artikulatif, pandai mengungkapkan isi hati dan pikirannya, pandai menulis, dan di tangan merekalah perubahan akan menjadi realita yang mudah.  Beda benar dengan sekarang, kaum berpendidikan justru begitu mudah memvonis, nyinyir dan merasa benar.  Dan anehnya, dalam kesinisan itu dengan gagah dan penuh kedunguan berani berujar, \”namun kita harus tetap optimis.\”. Logikanya bertabrakan dengan sinisme yang diungkapkan.  Bahkan dalam penyangkalan, selalu keluar kata, \”kami bukan anti perubahan\” meski yang dilawan adalah perubahan.  Masalahnya sederhana saja, mereka tidak memiliki imajinasi yang baik untuk \”membaca\” dengan kacamata baru. Kesulitan \”melihat\” terhadap hal-hal yang \”belum terlihat\”.
Anak-anak yang tak dibesarkan dalam story telling yang baik kehilangan daya imajinasi di hari tuanya kendati mereka berhasil meraih jabatan tertinggi atau bahkan gelar tertinggi sekalipun.  Mereka kehilangan nalar kebijaksanaan karena tak pernah belajar \”melihat\” dari perspektif yang berbeda.  Mereka hanya mampu bicara satu hal, satu arah, satu pikiran, satu kebenaran, yaitu dirinya sendiri.  Orangtua bisa membantu anak-anaknya menemukan masa depan dengan mencarikan dongeng-dongeng yang kaya perspektif, kaya imajinasi. Dan bila hal itu tak ditemui, Anda bisa menyampaikan cerita yang berasal dari heroisme orangtua atau keluarga dalam perjuangan kehidupan.  Yang jelas, bangsa ini harus ditemukan kembali, diperkaya dengan imajinasi yang mampu membangkitkan rasa bangga dan kehormatan sebagai manusia yang bermartabat.
Rhenald Kasali
founder  Rumah Perubahan
Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *