Low Cost Hospital – JawaPos, Senin 25 Maret 2013

\”Bukan  kamar jenazah yang saya takuti, melainkan ruang administrasi.\” Begitu yang diucapkan orangtua pasien di sebuah rumah sakit.

Kekhawatiran itu dijawab dengan lihay oleh gubernur DKI, Jokowi dengan kartu jaminan kesehatan. Tetapi luapan harapan untuk mendapatkan jaminan kesehatan belum juga dapat diatasi. Jumlah pasien tiba-tiba meledak. Kamar dan dokter tidak cukup.  Pasien harus pindah berkali-kali dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang berarti ongkos. Ada kesan yang luas rumah sakit enggan menerima pasien miskin, namun dokter mengatakan rumah sakit kekurangan kamar dan tenaga medis.

Era Low Cost

Di televisi, dalam sebuah wawancara, Tonny Fernandez, founder Air Asia pernah ditanya, apalagi gagasannya.  Ia menjawab: low cost hospital. Ya, rumah sakit berkualitas internasional berbasiskan biaya yang rendah. Di dunia telco,  cara yang ditempuh Air Asia sudah sejak 7 tahun ini diterapkan.  Mulanya oleh XL Com yang saat itu baru saja diambil alih oleh Axiata dari Rajawali.  Hasilnya: jumlah pelanggan telco meningkat pesat, demikian pula  frekuensi percakapan dan SMS.  Tapi bisakah metode ini dipakai di rumah sakit?

Sewaktu akan diterapkan, hampir semua penganut mashab low cost kesulitan meyakinkan karyawan yang menjadi pembuat cost.Logika mereka tak masuk karena dua hal: pertama, low cost berarti budaya kerjaan perilaku sehari-hari juga harus berubah dan tentu saja menghapus banyak kenikmatan.

Dan kedua, sedikit sekali yang  percaya bahwa hasil riset yang mereka pegang banyak mengandung kesalahan. Konsumen bukan menghendaki tarif yang murah, melainkan tarif yang \”super murah\”, atau bila perlu gratis, ditanggung pihak ketiga.

Para penganut mashab low cost juga bertarung dengan banyak akademisi yang  percaya bahwa high quality hanya bisa ditawarkan dengan premium price seperti yang dilakukan oleh premium brand. Bahkan ada yang menghawatirkan low cost juga bisa berarti  ancaman terhadap safety.  Tak banyak yang mengerti bahwa low cost berarti \”berbadan sehat\”, tertib administrasi, bebas korupsi, tak ada duplikasi, efisien dan tata kelola yang baik.

Demikianlah harga yang berlaku dalam industri fashion, travel (hotel dan airlines), parfum, property, pendidikan dan kesehatan. Harganya harus mahal karena produsennya confused antara cost dengan image (gengsi).  Namun di sisi lain kita juga menemui fakta sebaliknya: high cost-low quality atau poor service seperti kebanyakan rumah sakit pemerintah. Sudah pelayanan ya buruk, sistemnya tak bekerja dengan baik. Tingkat keborosannya amat tinggi, intervensinya banyak sekali.  Namun terimakasih, 20 tahun belakangan muncul rangkaian terobosan dengan lahirnya fenomena freemium yang berhasil memadukan premium quality dengan harga yang \”almost free\”.

Ketika metode low cost diterapkan, banyak orang yang tak percaya bahwa mereka bisa melakukannya.  Di XL Com ketika metode ini diterapkan pertanyaan serupa juga muncul.  Pertanyaannya seputar bagaimana merombak struktur biaya? Siapa yang biayanya harus dipangkas?  Berapa banyak orang yang harus dikurangi? Apakah respons pasar benar elastis? Apakah biaya modal dan depresiasi dapat di-cover? Apakah benar menguntungkan? Apakah konsumen tidak akan berpindah hati? Dan seterusnya.

Faktanya XL bukan hanya berhasil mendapatkan pasar baru, mereka malah memperbaharui industry, menjadi cracker.

Low cost method terutama dipakai untuk mengongkestrasi sebuah kegiatan usaha berskala besar (untuk mendapatkan skala ekonomis) dan untuk mengundang nonconsumers menjadi consumers.

Jadi model ini sebenarnya cocok untuk industri pelayanan kesehatan berskala besar, yaitu rumah sakit jaringan (franchised basedatau chain hospital) atau rumah sakit milik pemerintah yang memungkinkan disatu-atapkan pengelolaan dan pengadaanya dan diperbaiki tata kelolanya.  Model ini juga cocok untuk menampung pasien-pasien baru yang datang dengan fasilitas jaminan pemerintah yang dulu sama sekali tak terjangkau.

Sikap Dokter

Harus diakui sikap dokter amat beragam.  Ada dokter yang terbiasa melayani pasien kelas atas, namun juga banyak dokter yang dibesarkan di rumah sakit pemerintah yang melayani kaum miskin. Namun juga ada yang berada di tengah-tengahnya: memiliki status  PNS dan bertugas tetap di RS pemerintah, namun juga buka praktek di klinik atau rumah sakit lain yang melayani kelas menengah atas.

Dualisme ini diakui banyak pimpinan rumah sakit sebagai masalah besar, karena suka atau tidak kesetiaan pada pelayanan untuk kaum miskin akan terganggu.  Ketika politisi mengalokasikan dana yang jauh lebih besar untuk melayani kaum miskin, maka mau tak mau penghasilan rumah sakit pun akan membaik, dan rumah sakit tak bisa lagi mengeluh bahwa pasien miskin menjadi beban. Pasien miskin adalah sumber penghasilan bagi rumah sakit, yang berarti juga sumber peningkatan kesejahteraan bagi dokter.

Namun karena di masa lalu sikap rumah sakit tidak demikian, maka rumah sakit pun menghadapi banyak kesulitan menata dirinya. Rumah sakit milik pemerintah perlu menata diri, menerapkan transformasi dan change management, memperbaharui sikap dokter, memperbaharui sikap terhadap pelayanan, budaya disiplin, cara pandang terhadap pasien miskin, dan perlu membuang lemak-lemak yang membelenggu struktur biayanya yang tak sehat.  Jadi Low cost hospital adalah sebuah peluang.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan 

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *