Kurikulum Baru dan kritik dalam Pembaruan – Sindo, 7 Maret 2013

Criticism may not be agreeable, but it is necessary. It fulfills the same function as pain in the human body. It calls attention to an unhealthy state of things.”

― Winston Churchill

Dahlan Iskan pernah menyebutkan dalam setiap perubahan selalu saja ada kelompok 10% yang baiknya \”dieman-eman\” (istilahnya) saja. Pokoknya mereka akan selalu menentang.  Di komunitas perubahan, kami biasa menyebut kelompok itu sebagai \”oposan abadi\”. Kelompok ini unik dan kalau kita mengerti cara berpikirnya, sebenarnya bisa menjadi hiburan ketimbang menjadi lawan yang menegangkan. Mereka terdiri dari orang-orang yang bereaksi paling keras setiap kali ada perubahan.  Namun begitu hasil perubahan ada, perlahan-lahan mereka diam juga, lalu mengangkat kritik pada topik lain. Tetapi dasarnya tetap sama, senang diperhatikan, senang memarahi, senang dianggap pandai atau penting.  Ganggu sedikit, colek yang banyak, sukur-sukur bisa masuk tv, walau cuma sekali-kali. Itu sudah menghibur hati.  Sudah masuk dalam daftar CV untuk kegiatan lebih jauh.

Tetapi Winston Churchill seperti kutipan di atas menyebutkan, sekalipun Anda tak setuju, kritik itu perlu. Ngga apa-apa, apalagi di abad transformasi, abad perubahan di negeri demokrasi.  Kritik katanya, ibarat rasa sakit dalam tubuh manusia, pertanda perlunya perhatian untuk merawat kesehatan. Hanya saja, ia juga pernah mengatakan kritik itu ada lima macam. Pertama, kritik yang tulus, bertujuan mengingatkan.  Kedua kritik yang bertujuan cari keuntungan. Ketiga, kritik untuk mengatasi rasa takut. Keempat, kritik cari perhatian. Dan kelima, kritik untuk menunjukkan identitas.

Demikianlah kritik terhadap kurikulum baru.  Saya kira lima-limanya ada.  Mereka hanya dapat dibedakan dari apa yang mereka kerjakan.  Kalau orangtua yang punya anak gelisah menghadapi kurikulum baru yang tidak jelas, saya kira wajar.  Tapi juga ada khawatir yang besar dari ketidakpahaman sesuatu yang baru, sehingga seakan-akan nasibnya akan terlunta-lunta. Sejumlah ilmuwan yang melihat subjeknya \”tak ada lagi\” dalam susunan mata ajaran segera bereaksi.  Tetapi benarkah subjeknya dihapuskan? Mungkin ini cara berpikir saja.  Atau mungkin ini pertanda pemerintahan tidak sehat, kejelasan tidak ada, sehingga alih-alih menimbulkan dukungan, yang terjadi justru kritik yang tajam.  Saya sendiri ikut kecipratan amarah, meski hanya menulis dari apa yang saya pelajari dan saya alami. Lumayan, belajar meregangkan urat syaraf.

Tapi benar kata Dahlan Iskan. Ini layak dieman-eman, lumayan bisa menghibur.  Kalau ilmuwan marah, selain ada yang benar, ada juga yang lucu.  Bukan logika yang dicari seperti layaknya ilmuwan sejati yang open mind, tapi kalimat nggak penting yang menyinggung perasaannya.  Kalimat itu dikutip dalam pesan twitter, lalu dikomentari dengan gaya dosen zaman dulu yang uring-uringan memeriksa paper mahasiswa.  Lalu dari situ diharapkan mendapat dukungan dari komunitas yang tentu saja menjawab dengan jenaka dan lucu-lucuan juga.  Sebuah pergumulan yang indah yang kadang membingungkan bagi yang lain.

Menghujat Kurikulum Lama

Kalau Anda sempat mengumpulkan tulisan-tulisan saya tentang pendidikan, maka Anda mungkin tahu sudah lama  saya  menunjukkan perhatian tentang pentingnya reform pada sistem ini.  Kalau Anda googling nama saya dengan kata-kata kunci berikut ini, maka Anda akan menemukan pemikiran-pemikiran itu: Encouragement, Race of Going Nowhere, Sekolah 5 cm, Myelin, Passport, Sekolah untuk Apa, Tallent Merrit Vs Exam Merrit, Generasi Bingung Bahasa, RSBI, Generasi Baru, dan seterusnya.

Di media ini saya juga berulang kali menunjukkan bahwa jumlah mata pelajaran yang diberikan kepada para siswa di sini sudah kelewat batas, bahkan yang terbanyak di dunia.  Saya berulangkali mengatakan akibat-akibatnya sangat menyengsarakan anak didik: siswa yang bingung, tidak kreatif, tidak bisa mengungkapkan isi pikiran dengan baik, dan kecemasan yang tampak dari tingginya angka kesurupan menjelang UN.  Kritik-kritik itu pun disertai jalan keluar yang saya tunjukkan dalam kajian.

Lantas, saat pemerintah meresponsnya dengan hadirnya kurikulum baru, tentu saja saya menyambutnya dengan gembira. Jumlah mata ajaran dikurangi. katanya, suasana gembira harus ditumbuhkan agar anak-anak generasi baru tidak lagi stress dalam belajar di sekolah.  Ini persis sama dengan yang sering saya suarakan.

Saya masih ingat saat diminta Rektor Universitas Andalas Padang, prof. Musliar Kasim  memberi paparan ilmiah di kampusnya, semua akar permasalahan pada dunia pendidikan dan kewirausahaan saya paparkan. Dan tak lama setelah  prof. Musliar menjadi Wakil Menteri Pendidikan, ia pun meresponsnya dengan kurikulum baru.  Saya sendiri tak tahu persis bagaimana Mendikbud merumuskan kurikulum baru, tetapi saya dengar mereka mengumpulkan tokoh-tokoh pendidikan dan kaum cendekia.  Saya sendiri  tak termasuk di dalamnya, tetapi sikap saya tidaklah berseberangan, sebab tujuannya sudah sama.  Namun entah apa yang terjadi, tampaknya banyak juga tokoh pendidikan yang tak diundang bicara, tapi juga tak diajak mengerti. Akibatnya kritik mereka tumpah di berbagai tempat.  Dari kajian change management, pro-kontra ini menarik untuk dikaji.

Dari amarah itu saya menemukan kalimat-kalimat menarik yang diucapkan secara verbal, bahwa \”kurikulum baru ini dipastikan gagal\”.  Ini menarik sekali.  Bagi masyarakat, jelas saja belum, dimulai juga belum, dengar saja cuma dari jauh, apalagi kalau tak terlibat dalam pergulatan perubahan, tetapi sudah ada yang berani menjamin kurikulum ini \”pasti gagal\”. Bisa diduga karena kredibilitas pemerintahan yang didera kasus korupsi terus menerus ini turut memberi imbas.

Dari diskusi internal para pakar yang diselenggarakan Mendikbud itu, saya mendengar ada usulan yang sangat extrem, yaitu bagaimana agar anak-anak di sekolah dasar \”dimerdekakan\” dari proyek-proyek buku, dari beban yang berlebihan. Usulan extrem-nya adalah, \”bila perlu, untuk anak SD mata ajar cukup satu saja, yaitu Manusia dengan Alam Sekitarnya\”.

Saya teringat lima tahun lalu saya pernah menyampaikan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) agar \”rela\” memangkas mata ajaran yang sudah kebanyakan.  Korbannya ya tentu saja anak-anak kita, anak saya dan anak-anak Anda.  Tetapi apa respons Dirjen Dikdasmen?  \”Itu masalahnya bukan di kami, melainkan ada di UU Sisdiknas\”. Penasaran dengan itu saya pun membuka UU itu, dan disitu saya membaca masalahnya.  Nama-nama subjek yang disebut harus ada dalam sistem pendidikan nasional (seperti agama, bahasa Indonesia, dan lain-lain) ternyata diterjemahkan jadi mata ajaran, yang tentu saja berarti \”proyek\” bagi penerbit buku dan politisi yang berhubungan dengannya, dan inilah yang berakibat jumlah mata ajaran di tingkat SMU mencapai 18 hingga 24. Padahal di berbagai negara maju, jumlah mata ajar hanya 6 dengan mata ajar wajib hanya 2 (Bahasa Inggris dan Matematika).

Maka bagi saya, wajarlah saat Mendiknas \”berani\” memangkas mata ajaran itu.  Politiknya saya tak mengerti. Tapi tentu saja saya was-was karena kabinet ini hanya punya waktu setahun lebih. Was-was kalau kurikulum baru ini kelak dianulir lagi oleh penerusnya pada pemerintahan baru dan anak didik kembali harus berurusan dengan beban lama.  Apalagi kalau filosofinya tidak sama dan biaya politiknya yang harus ditarik kembali lebih besar.  Masih banyak pula yang berpikir kalau anak-anak diberi mata ajar yang banyak maka mereka akan lebih hebat. Banyak yang berpikir belajar itu ya di sekolah. Maka kurikulum sekolah dipadatkan dan peran orang tua diambil alih semua oleh sekolah.

Logika Keaksaraan

Salah satu ilmuwan yang terganggu oleh kurikulum baru tentu saja mathematician karena mata ajar ini tidak tiba tak disebut dalam kurikulum baru untuk Sekolah Dasar. Saya kira bukan hanya mathematician yang wajib bertanya, melainkan kita semua.  Dalamsocial science seperti yang saya geluti saja, math menjadi bahasa yang penting.  Maka itu sayapun mengajukan pertanyaan kepada Mendikbud dan juga kepada Wakil Menteri. Namun jawabannya mudah saya pahami:  Matematika tidak dihapus, tetapi melebur terintegrasi dalam kesatuan dengan yang lain.

Saya tentu bukan juru bicara Mendikbud, tetapi saya kira saya bisa mengerti dengan mudah, namun bagaimana awam dan imuwan lainnya? Ini perlu kerja khusus untuk membuat masyarakat paham sebab masih banyak diantara kita yang menggunakan paradigma lama dalam melihat dunia baru, termasuk pendidikan.  Saya masih ingat saat beberapa sekolah tertentu menerapkan metode integratif, pertanyaan juga banyak diberikan oleh orangtua, bahkan banyak yang tiba-tiba menarik anaknya keluar.  Baru belakangan ini masyarakat menyadarinya, memang dunia baru sudah berbeda dan Indonesia butuh lulusan-lulusan baru yang tak hanya pandai bagi dirinya sendiri, melainkan juga gaul, bisa berkomunikasi dengan baik, kreatif, kaya perspektif dan mampu mengendalikan emosinya.

Lantas bagaimana saya memahami hal ini?  Ceritanya begini, salah satu pergulatan yang digumuli Yayasan Rumah Perubahan adalah pendidikan, khususnya anak-anak usia dini dan balita pra sekolah.  Kami menaruh perhatian untuk memberikan fondasi yang kuat pada anak-anak kampung yang kami lihat selalu termarjinalkan, dan kalah dalam pertarungan kehidupan melawan anak-anak kelas menengah. Dari pergaulan dengan para pendidik itulah saya diperkenalkan dengan metode Sentra yang belakangan mulai banyak diadopsi.  Celakanya metode ini sangat tidak dikenal ilmuwan tua.  Meski tak diajarkan membaca dan berhitung, dalam metode sentra, anak-anak sudah biasa diajak bernalar keaksaraan.

Ambil contoh saja dalam sentra bahan alam, diberikan berbagai permainan dengan media tertentu, bisa biji-bijian, bahan cair, tumbuh-tumbuhan, serangga, pasir dan sebagainya.  Pada saat sentra ini diperankan, sekaligus anak-anak mendapatkan banyak hal mulai dari klasifikasi, logika volume, bentuk, ukuran, menemukan warna baru, menghitung, berbahasa, bertutur, imajinasi dan seterusnya.  Saya bisa bercerita banyak dari proses pembelajaran yang hingga hari ini masih terus kami alami yang membuat istri saya tak ingin melepaskan waktu barang sedetikpun mengamati anak-anak didiknya. Logika keaksaraan dibangun dengan fondasi yang menurut hemat saya jauh lebih kokoh daripada menurunkan rumus di papan tulis yang lalu dihafalkan, atau didikte oleh guru spesialis yang hanya paham matematika saja.

Beranjak dari pemahaman metode sentra ( yang harus saya akui ilmu saya belum seberapa ini) mungkin saya bisa lebih mudah memahami makna pendekatan integratif yang sering diucapkan Mendiknas dalam kurikulum baru.

Namun apakah anda masih akan menyangsikan bahwa guru-guru kita akan mampu menjalankannya? Wallahu A\’lam, saya tak tahu persis. Apalagi birokrasi kita masih kusut seperti ini.  Tetapi saya mau menyampaikan kepada anda, sekolah yang kami asuh tidak diajar oleh guru-guru bependidikan S1 atau S2.  Guru-guru kami adalah orang kampung yang bersahaja yang disekolahkan kembali. Mereka adalah ibu rumah tangga yang juga punya anak-anak kecil biasa yang mencintai anak-anak.  Nah, kalau mereka saja bisa, apa iya guru-guru kita sebodoh yang diduga para elit? Saya kurang bisa mempercayai itu.  Meski mereka orang kampung, mereka bisa membuka mesin pencari Google dan memberi kita kalimat ini:  “Don\’t criticize what you can\’t understand.”  ― Bob Dylan

Dalam peradapan continous improvement, lebih baik kita mengulurkan tangan kecerdasan kita untuk memperbaharui pendidikan daripada adu pandai, saling mengunci.  Kritik itu perlu, bagus buat membuat kementerian lebih bersungguh-sungguh. Tetapi membuat jembatan untuk masa depan jauh lebih indah daripada saling menakut-nakuti.  Kurikulum ini hanya akan jadi bagus kalau ia terus disempurnakan dengan logika baru yang lebih humanistik dan kreatif.  Apalagi masa kerja kabinet ini cuma tinggal setahun lagi.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *