Minggu ini saya mendapat tugas untuk berbicara di depan eksekutif perusahaan semen. Di saku mereka, seperti yang saya duga, tersimpan beberapa hape merek Nokia, dan sebagian lagi Blackberry. Tiga orang diantaranya mengantongi tablet Android Galaxy S dari Samsung. Mudah diduga siapa saja mereka. Itulah tiga generasi yang berbeda, berusia 50an, 30an dan 20an. Ditengah-tengahnya kosong.
Tiga generasi itu mewakili generation gap yang menjadi tugas saya untuk menjembataninya. Bahkan di luar negri, eksekutifnya terdiri dari 4 generasi. Yang satu bilang “tulis” (“write me” generation), yang lain bilang “telfon saja” (“call me”), sedangkan dua generasi lainnya bilang “email saya” (“email generation”) dan “text me” (SMS generation). Harap maklum, rata-rata usia pegawai di BUMN perusahaan minyak nasional kita adalah 49 tahun. Di TVRI, dugaan saya, rata-rata sudah 51 tahun. Di sebagian besar BUMN sudah 50 tahunan.
Apalagi di sektor-sektor yang relatif stabil dan sektor komoditi (kehutanan, perkebunan, semen, baja, kereta api, jalan tol, perdagangan, perkapalan, dan seterusnya). Yang generasinya agak mudaan ada di perbankan, telekomunikasi, consumer goods, jasa, dan tentu saja airlines. Selebihnya, inilah saatnya dimana generasi muda Indonesia (generasi yang menggenggam Android Samsung) bertarung menghadapi generation gap. Bertarung menghadapi generasi yang kata mereka relatif berwatak feodal.
Berwatak Feodal?
Kaget juga saya, mendengar ucapan anak-anak muda di banyak industri tentang senior-senior mereka. “Feodal, takut menghadapi perubahan, bicaranya satu arah, meeting-nya lama dan tak ada keputusan, semua serba uang, lamban, berubahnya pelan-pelan. Itu artinya tidak ada perubahan sama sekali. Feodal”, ujar mereka.
Tetapi bagi orang yang dituding feodal, sebaliknya anak-anak muda ini dianggap sebagai self-centered, bahkan narsis dan asyik sibuk sendiri. Mereka punya dunia yang sulit dimengerti, dinilai kurang gigih, kurang berdisiplin dan perilakunya kutu loncat. Sebuah studi yang dilakukan oleh badan riset Kronos menyebutkan generasi baru ini dibesarkan dalam kultur yang berbeda : Sebanyak 13% dilahirkan di luar negrinya, menuntut kebebasan yang lebih besar, 40% pekerja muda bekerja dari rumah, 77% memiliki akun FB, 93% menggunakan ponsel, dan 26% berbicara lebih dari satu bahasa asing
Rata-rata pegawai yang saya temui di sebuah instansi memang sudah meninggalkan Nokia dan Blackberry, sementara senior-seniornya baru belajar memakai BB. Senior-senior itu sering bertanya apa itu Ipod, apa itu Apps, dan bagaimana melakukan copy-paste, download, belanja online dan seterusnya. Sementara generasi Samsung sudah menghabiskan sekitar US$ 4.12 Miliar belanja online di negeri ini. Mereka belanja gadget, fashion, kamera, barang-barang hobi, pakaian anak-anak, keperluan bayi, vitamin, sampai buku dan tiket. Mereka rapat di kedai-kedai kopi yang dilengkapi Wifi. Sedangkan generasi tua yang masih memegang posisi-posisi penting di banyak pabrik dan kantor masih bisa membeli sate dan tongseng di tepi-tepi jalan.
Di China, minggu lalu saya mendapat kabar, Android telah menguasai pasar china dengan market share di atas 90% (meningkat dari 58,2% tahun lalu). Sementara generasi sebelumnya yang masih menggenggam Nokia, terus mengalami penurunan yang tajam menjadi tinggal 2.4%. Apalagi Ipod dan Ipad. Ini berarti generasi tua di China mulai beralih pula, belajar menjelajahi dunia baru dengan cara-cara baru. Namun mampukah mereka mengubah watak feodal yang bersifat satu arah dan merasa benar sendiri ?
Inilah persoalan terbesar dalam generation gap yang dihadapi berbagai bangsa. Rata-rata perusahaan di Indonesia, berhenti merekrut pegawai sejak krisis moneter menerpa ekonomi Indonesia (1997-2007). Birokrasi kita bahkan lebih lama lagi (sejak awal 1990), sudah melakukan prinsip zero growth. Praktis birokrasi dan dunia usaha sama-sama mengalami kegalauan, tak tahu apa yang harus diperbuat.
Sudah hampir pasti banyak senior menutup pintu terhadap kehadiran generasi baru. Di Eropa, hal serupa juga dilakukan dunia usaha dan birokrasi dalam 3 tahun terakhir ini. Demikian juga di Amerika Serikat. Padahal kaum muda adalah sumber inovasi dan change. Di tangan merekalah pembaharuan dibebankan. Maka ketika muncul orang yang benar-benar muda, apakah mereka tiba-tiba menjadi CEO, GM, professor, staf khusus, mentri, atau apa saja jabatan elit lainnya, kalangan tua umumnya menyambut dengan sinis dan dingin. Persis seperti anak-anak kita yang lama dibesarkan tanpa adik dan tiba-tiba mendapat adik baru. Adik baru itu bukan dibimbing, malah bisa jadi dicemburui, dicubit dan disepak.
Generasi baru ini secara demografis disebut generasi M, atau Millennium generation. Secara psikografis disebut generasi C (connected generation) dan berada dalam lintas cohort. Namun bisa juga mereka disebut generasi Android (Samsung) karena dibesarkan dalam teknologi yang menembus generasi baru. Kata Samsung masih terasa janggal bagi sebagian orang yang kini masih gandrung dengan Apple yang bertahan dengan produk-produk canggih peninggalan mendiang Steve Jobs : Ipad dan Ipod. Mereka sering menyindir, “jangan samakan dong BMW dengan KIA !”
Bersambung. .
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan