Neil Amstrong – Jawapos 27 Agustus 2012

Kalau  pernah mengunjungi Jakarta Fair pada akhir tahun 1970-80an, Anda pasti ingat dengan Apolo 11.  Saat itu Jakarta Fair belum jadi arena dagang retail yang terkesan remeh seperti sekarang.  Gengsinya sangat tinggi, bak sebuah expo internasional.  Masing-masing negara  unjuk pamer teknologi.  Saya pun ikut berdesak-desakan  memasuki anjungan Amerika Serikat yang memamerkan apolo dan replika astronotnya.

Semua orang tertegun menyaksikan  bagaimana bendera Amerika dikibarkan di bulan dibawah komandan Neil Amstrong.  Sepulang dari Gambir, saya memandangi bulan yang bersinar terang dan membayangkan entah kapan Indonesia bisa mendaratkan manusianya di sana.  Apa yang dapat dipelajari kaum muda dari mendiang Neil Amstrong yang telah berpulang kemarin?

Pemimpin sumber Harapan

Kemajuan suatu bangsa adalah cerminan dari seberapa kuat para pemimpin menggerakkan mimpi-mimpi indahnya.  Bila mimpinya  terbatas pada UMKM maka hasilnya adalah pedagang kaki lima dan sektor informal. Bila mimpinya terbang ke bulan,  jadilah industri berteknologi tinggi.  Realisasinya hanya bisa dilihat kalau pemimpin mampu berhenti bertengkar dan menuangkannya dalam rencana besar tertulis.  Berhenti bicara saja tak akan cukup.

Demikianlah bangsa-bangsa besar bekerja.  Hanya 4 tahun setelah Uni Soviet meluncurkan Sputnik ke orbit luar angkasa, mendiang presiden Kennedy pada tahun 1961 menyampaikan mimpi besar bangsanya untuk mendaratkan manusia ke bulan dan membawanya kembali dengan selamat.  Gagasan itu dituangkan secara spesifik, yaitu ke bulan, dan diberi bingkai waktu yang jelas: \”Pada akhir dekade ini\”.

Kennedy pun menjelaskan alasannya.  Saya pernah menguraikan pidato Kennedy soal ini dalam kolom berjudul Visi-Misi.  Begitulah tugas pemimpin, menentukan visi dan misi, lalu menginspirasi bangsanya menuju mimpi itu.  Pemimpin bukan mengurus soal-soal harian, melainkan soal masa depan.  Maka, kendati Kennedy tewas tertembak pada bulan November 1963, mimpi itu sudah mengakar kuat di kepala para ilmuwan, di tangan para spacecraft engineer, dan tentu saja di dalam pikiran rakyat.  Dan  kendati penggantinya berbeda pikiran, visi itu sudah tertuang dalam gerakan yang mengakar.  Bagaimana mimpi besar dituangkan menjadi sebuah gerakan mencerminkan seberapa kuat kepemimpinan seseorang.

Gerakan itu terasa di universitas Purdue dan MIT yang banyak menghasilkan enggineer spacecraft kelas satu, dan bergulir kencang di Nasa.  Mereka bukan cuma menghasilkan pemimpi besar tapi juga pemberani kelas satu yang hidup dalam dunia riil.  Sebab untuk terbang ke bulan resikonya sangat besar dan mitosnya  sangat banyak.

Begitulah bangsa Amerika menggodok misi ke bulan, dari satu apolo ke apolo lainnya.  Mimpi itu baru menjadi kenyataan sebelum dekade yang dijanjikan Kennedy berakhir. Pada tanggal 20 Juli 1969, Neil Armstrong, komandan Apolo 11 menjadi manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Kata-kata yang diucapkan begitu kuat,\”That\’s one small step for (a) man, one giant leap for mankind.\” Langkahnya yang berat di Bulan memang kecil untuk satu orang besar, tetapi pendaratan ini merupakan lompatan raksasa bagi umat manusia.

Kalau Anda paham situasi yang dihadapi bangsa ini pada tahun 1960-1970an Anda tentu dapat ikut merasakan getaran emosinya. Saat itu Amerika belumlah sehebat sekarang.  Banyak orang tua yang saya temui mengatakan hidup mereka di era itu penuh dengan ancaman.  Mereka khawatir Unisoviet menekan tombol nuklirnya dari daratan Kuba.  Sirine  berbunyi bisa berarti badai tornado datang atau ancaman  nuklir.  Maka mereka bekerja keras membangun kekuatan baru. Bahwa akhirnya Amerika berambisi menjadi polisi dunia yang menuai banyak kritik, itu adalah masalah lain.  Bahkan mendiang Amstrong pun menentang hal ini.  Namun keberhasilan Amstrong dan mimpi indah Kennedy adalah sebuah rajutan sejarah yang diwariskan pemimpin tingkat lima, yang memberikan hope bahwa mereka mampu menjadi bangsa yang besar. Kata Kennedy, suatu bangsa tak akan pernah menjadi besar kalau tak berani melakukan hal-hal yang sulit.

Melawan Mitos

Kepemimpinan apa yang dibawa  Amstrong?  Berbeda dengan para pemimpin di di sini yang senang memelihara mitos, Amstrong justru mengajarkan hidup realistis.  Dia tak ingin  dijadikan  mitos ataupun komersial.  Kisah pendaratannya di Bulan  didasarkan perhitungan dan kepiawaian navigasi yang matang saja sudah cukup membuatnya berkharisma kuat.  Maka  kalau amstrong orang kita, saya yakin akan ada saja orang ingin mendapatkan berkah dari bersalaman dengannya, apalagi bisa mendapatkan potongan rambut atau sisa air mandinya seperti yang dilakukan massa terhadap sisa air mandi Ponari belum lama ini.

Neil Amstrong memilih keluar dari perangkap itu.  Ia bahkan menolak memberikan tandatangannya setelah mengetahui kemungkinan penyalahgunaan dan komersialisasinya.  Ia bahkan pernah menuntut produsen kartu Halmark yang mengkomersialkan quotes dari ucapannya  dan menyerahkan hasil tuntutannya sebagai charity pada amamaternya di universitas  Purdue.  Bahkan tukang potong rambutnya pun dituntut ke jalur hukum begitu  mengetahui potongan rambutnya  dikomersialkan untuk para kolektor.  Padahal Amstrong sudah menjadi langganannya selama lebih dari 20 tahun.

Banyak orang yang masih bertanya mengapa Amstrong menghindar untuk dikharismatikkan?  Mengapa ia tak mau menggunakan kharisma itu untuk menjadi politisi, gubernur, atau bahkan menjadi ikon yang dipuja-puji, kekuasaan atau bahkan komersial?  Bagi saya Amstrong justru mewariskan jejak sejarah penting.  Ia mewakili sebuah kekuatan leadership dan courageness yang sangat kuat, dan ingin agar bangsanya hidup dalam realita bahwa perjuangan manusia melawan mitos belum berakhir. Langkah raksasa yang ia janjikan masih terus harus diperjuangkan manusia, dan ini hanya mungkin kalau manusia mampu keluar dari egonya.  Dari persoalan-persoalan picik seperti isue perbedaan warna kulit dan sara, dari kharisma suara penyanyi dangdut atau bintang rock yang mampu mendatangkan ribuan massa yang loyal, dari jubah kebohongan, kekuatan uang atau kedudukan. Kekuatan itu adalah kemanusiaan,  ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.  Bisakah kita menarik pelajaran?

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *