Angin perubahan kembali bertiup. Kalau kepala sekolah mendiamkan para senior melakukan bullying pada para juniornya, maka orangtua cukup menekan tombol twitter dan bergeraklah dewi keadilan. Para siswa, dan kepala sekolah SMA Don Bosco mungkin tak pernah menyangka kasusnya akan menjadi perhatian nasional. Mereka juga tak menyangka harus bermalam di kantor polisi. Bisakah insiden SMA Don Bosco menjadi awal bagi berakhirnya insiden bullying yang masih marak di berbagai sekolah?
Tentu saja bisa, asalkan masyarakat mau menjalin kekuatan yang sekarang justru ada di tangannya sendiri. Ia bergeser dari pusat-pusat kekuasaan formal yang menyandera kehidupan pada kekuatan mayarakat sipil yang saling terhubung satu dengan lainnya. Saya kira itu pulalah yang tengah bergerak di dunia penegakkan hukum dan di dunia pendidikan.
Saat berubah, keduanya juga mengalami inertia (kelembaman) dan kekenyalan yang sama sehingga sempat berlarut-larut, namun kontrol publik begitu kuat sehingga sulit menyembunyikan agenda-agenda terselubung.
Kalau mau ditambahkan, angin perubahan sebenarnya juga tengah bertiup di Lembaga Penyiaran Publik (TVRI). Saat ini kalau anda perhatikan, layar TVRI mulai lebih kinclong, penyiar-penyiar muda mulai tampak, program-program baru mulai masuk daftar 30 besar, dan Liga Italia akan jadi tontonan menarik. Bagaimana inertia dan resistensinya ? Tentu saja pasti ada.
Namun apakah yang membuat gelembung perubahan tidak berhenti di tempat dan menumbangkan kepongahan? Inilah puncak dari gelembung komunikasi horizontal yang fenomenanya juga kita saksikan dalam putaran pertama pilgub DKI kemarin atau dalam kekisruhan kuasa di Universitas Indonesia. Kekuasaan bergeser dari pejabat ke tangan rakyat, dari artis besar ke rakyat jelata, dari partai politik kepada pelayan publik.
Kasus UI
Untuk memudahkan, saya mulai saja dengan gelombang keributan yang minggu ini ramai diberitakan tentang rektor UI. Setelah delapan dekan mengeluarkan mosi tidak percaya pada atasannya, kini hampir semua elemen di UI, termasuk dewan guru besar menyatakan hal serupa. Hari Jumat kemarin mahasiswa (BEM) pun “memecat rektor”. Ini benar-benar sejarah kelam dalam kepemimpinan Universitas negri yang diikuti oleh leadership yang lemah pada tingkat kementrian. Mengurus satu orang saja menjadi berbelit-belit. Hal mudah telah dibuat menjadi sulit. Fakta-fakta diabaikan, padahal mereka sudah diberitahu.
Publik yang tak mengerti mungkin mengira perlawanan berawal dari pemberian gelar pada raja Arab Saudi –tak lama setelah seorang TKI dihukum pancung- akhir tahun lalu. Namun sebenarnya, pemicu awal adalah rentetan fakta-fakta yang dibocorkan para pegawai di lingkaran satu kepada para dosen. Mulai dari biaya pakan hewan peliharaan rektor sampai biaya perjalanan dinas. Sementara hampir semua fakultas mengalami kesulitan pendanaan, atasannya asyik memakai anggaran tanpa kontrol. MWA yang diadukan ternyata punya masalah yang sama, rektor enggan dikontrol, bahkan pembangunan-pembangunan gedung dilakukan tanpa approval mereka. Wajar bila akhirnya MWA hendak memberhentikan rektor, tetapi mendiknas menganulirnya.
Saya tidak ingin bercerita banyak tentang lembaga yang sangat saya cintai ini, tetapi intinya adalah munculnya kekuatan komunikasi horizontal yang begitu kuat yang mengungkapkan segala kepalsuan dan menyatukan perlawanan. Sampai saat ini, bisul terlihat sudah akan pecah, kecuali politik kembali memainkan perannya. Saya hanya menyayangkan para pejabat negara yang tidak mampu membaca apa yang sebenarnya terjadi. Di abad ini, leadership yang kuat harus diimbangi dengan kemampuan mendengarkan yang baik. Menguasai anggaran atau kedudukan formal saja tak cukup menjadikan seseorang pemimpin kelas satu.
Universitas yang berwatak kolegial, di tangan pemimpin yang pongah bisa berubah menjadi sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisasi di UI justru dibangun pada saat dunia sedang menuju ke era desentralisasi dan people empowerment. Pemimpin yang pongah biasanya lupa bahwa kekuasaan itu paradox, pada saat merasa kuat, sesungguhnya ia sangat lemah. Kekuatan itu pudar, saat kepercayaan hilang.
Segi Tiga Terbalik
Siap atau tidak, universitas tentu harus terus berubah dan memperbaharui komitmennya. Demikian juga dengan Polri yang tengah berperang melawan korupsi. Bila dulu semua Jendral tergantung pada komando Kapolri dengan kedekatan senioritas almamater, maka kini para Jendral sangat tergantung pada seluruh warga negara. Semua ini terjadi melalui proses pendataran, yang bergulir begitu cepat dalam 10 tahun terakhir ini.
Dalam proses pendataran itu, segitiga hirarki dengan CEO, atau komandan di pucuk pimpinan telah menjadi terbalik. Para CEO, penguasa, komandan dan orang-orang pintar kini harus puas duduk dibawah melayani atasan-atasan yang dalam strata adalah bawahan-bawahannya sendiri. Semua orang sekarang dituntut untuk menjalankan pelayanan dan memimpin dengan servant leadership seperti yang diajarkan Robert Greenleaf (1977).
Dalam tesis Greenleaf, pemimpin adalah pelayan: CEO adalah pelayan bagi para pelanggan, komandan adalah pelayan bagi prajurit, presiden adalah pelayan rakyat dan pejabat adalah pelayan publik. Greenleaf mengatakan ada sepuluh pilar yang harus dimiliki setiap pemimpin, tetapi saya mengerucutkannya menjadi tiga: Kemampuan mendengar, berempati, dan menangkap keinginan akar rumput. Hanya mereka yang mampu menjalankan amanah inilah yang akan berhasil, sedangkan yang mempertahankan kuasa akan jatuh dan terkubur dalam kesulitan. Itulah pesan dari proses pendataran ini.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan