Duh tempe. Mengapa engkau menghilang?
Beberapa waktu lalu saya pernah didatangi oleh sebuah badan sosial international untuk membangun pabrik tempe. Tentu saja motifnya bukan komersial, melainkan menimbulkan “echo effect” dengan menghadirkan pabrik tempe yang efisien dan mampu menjadi role model dalam perbaikan kualitas produk dan efisiensi produksi.
Orang-orang asing yang membuat model pabrik tempe itu berargumentasi, tempe adalah makanan rakyat Indonesia yang sangat populer. Ia bahkan menjadi andalan gizi masyarakat. Bahkan almarhum Ong Hokham, sejarawan UI, pernah menulis bahwa rakyat yang disiksa tentara Jepang masih bisa selamat karena makan tempe. Tempe telah menyelamatkan bangsa ini dari bencana gizi buruk karena kandungan proteinnya cukup besar. Tanpa tempe tak jelas betul bagaimana kita melewati krisis ekonomi 1997 yang melumpuhkan daya beli rakyat.
Namun lebih dari itu ia menunjukkan foto-foto yang sudah bisa kita lihat dan selama ini kita diamkan. Yaitu tentang proses pembuatannya yang maaf, sungguh menggelikan. Anda tentu sudah sering mendengarnya. Dalam skala rumahan, pegawai pabrik berkaos singlet yang menginjak-injak kedelai, dalam ruangan yang lembab dan tertutup, higienitas menjadi pertaruhan. Sementara kualitas air yang pabriknya terletak di tepi kali menjadi masalah, demikian juga drum-drum bekas oli dan bahan-bahan cair berbahaya yang dipakai dalam prosesnya. Tetapi apa boleh buat, selama ini kita sehat-sehat saja makan tempe yang demikian, bukan?
Saya pun tertarik untuk menyediakan lokasi agar pabrik yang benar, dapat dijadikan acuan para perajin tempe. Jadi motif kami lebih untuk mengedukasi. Hanya saja sayangnya, biaya investasi pembuatan pabrik tempe yang modern ini memang tidak kecil bila dibandingkan dengan usaha-usaha rumahan yang bisa dibuat seadanya saja dalam ruangan rumah kontrakan. Namun dalam jangka panjang ini jelas jauh lebih hemat. Jadi dengan proses yang lebih modern, hasil produksinya harus diarahkan untuk segmen kelas atas yang berpenghasilan tinggi.
Solusi Harga
Jadi ketika harga kedelai mulai bergerak baik dari Rp 5000,- menjadi Rp 8000,- kami pun ikut terperanjat. Tentu saja menghapuskan bea masuk kedelai bukanlah satu-satunya solusi yang bisa dan harus dilakukan. Benar apa kata produsen tempe, bea masuk nol persen baru menguntungkan importir. Apalagi dului sudah pernah dilakukan tapi kemudian berubah lagi. Bahkan kebijakan ini bisa menjadi desinsentif bagi petani kedelai. Lantas bagaimana jadinya kalau semua ini terjadi benar-benar karena gagal panen dan perubahan iklim dunia?
Saya kira solusi mengatasi kenaikan harga tempe ada di banyak titik. Pertama, pemerintah harus bisa mengembalikan anak-anak petani ke ladang-ladang pertanian. Ini berarti biaya produksi pertanian harus bisa ditekan. Penyediaan pupuk, perbaikan irigasi, benih-benih unggul, pemberantasan hama, perbaikan infrastruktur dan seterusnya harus segera diupayakan. Kalau di era Soeharto hal itu bisa dilakukan harusnya saat ini juga bisa diteruskan.
Kedua, berikan harga jual produk pertanian yang menarik. Jadi jangan gantikan produk mereka dengan barang impor kendati dalam jangka pendek lebih murah dan mudah. Sekarang ini penduduk dunia tengah memasuki sebuah era dimana demand pangan telah jauh melebihi supplynya. Ini berarti harga-harga pangan akan terus bergerak naik dan bangsa-bangsa yang diprioritaskan mengkonsumsinya adalah mereka yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi.
Jadi kalau rakyat Indonesia tak bersedia membeli beras atau tempe dengan harga tinggi, petani bisa menjualnya kepada bangsa lain yang membutuhkannya.
Namun ketiga, tempe merupakan sumber gizi rakyat kecil yang daya belinya masih belum cukup kuat. Ini berarti pemerintah harus bersiap-siap dengan kebijakan semacam “food stamp” yang dibagikan kepada konsumen-konsumen yang terancam gizi buruk agar dapat mengkonsumsi makanan bergizi.
Dan tentu saja solusi yang perlu diambil tidak hanya ada pada elemen harga. Masih ada solusi keempat yang melengkapi ketiga hal diatas, yaitu perbaikan efisiensi sarana produksi tempe rakyat.
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa industri tempe Indonesia masih dapat diperbaiki lagi prosesnya. Air limbah yang mengandung biogas misalnya, masih dapat digunakan untuk menghemat pemakaian energi. Demikian pula dengan limbah-limbah padatnya yang sekarang diperebutkan oleh peternakan rakyat sebagai pakan ternak. Sementara itu fasilitas produksi yang ketinggalan zaman sudah saatnya diperbaharui. Diperlukan investasi-investasi baru dengan dukungan dana-dana murah pemerintah. Para pekerjanya pun perlu dilatih ulang agar dapat menghasilkan produk-produk baru yang lebih bernilai tambah, lebih efisien dan menghemat biaya produksi.
Dari kecamata marketing, tempe juga memiliki ruang yang sangat besar untuk diperbaharui. Saat ini masih sulit dibedakan mana tempe yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas dan mana yang untuk rakyat biasa selain outletnya saja. Tempe yang dijual untuk rakyat jelata di pasar-pasar tradisional dan warung ternyata kualitas tampilan dan rasanya belum ada bedanya dengan yang ada di supermarket. Maka tempe pun masih dapat diperbaharui pemasarannya.
Mari kita terima signal yang dikirim pengusaha tempe sebagai alarm peringatan bahwa era pangan murah telah berakhir dan diperlukan daya tarik yang besar untuk menumbuhkan kembali sektor pertanian baik on farm maupun paska panennya. Ingat lho, tempe itu heritage asli Indonesia. Sama nilai sejarahnya dengan batik dan keris.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan