Barefoot College – Sindo 28 Juni 2012

Di Rajasthan, India, ada sebuah plang  petunjuk menuju sebuah kampung yang jauh dari keramaian. Di petunjuk jalan itu tertera arah menuju kolese tanpa alas kaki (Barefoot College).  Saya pikir, Bunker Roy, yang empunya gagasan membuat sekolah ini benar-benar brilian.  Dalam suatu kesempatan, ia mengatakan kolese ini untuk orang-orang yang buta huruf yang pengajarnya semula juga buta huruf. Nama kolese ini  diberikan sebagai simbol bahwa yang dididik di sekolah ini datang dari komunitas yang tak pernah merasakan pakai sepatu. Inilah komunitas yang terpinggirkan oleh globalisasi yang mayoritas diperankan oleh private sector.

Persis seperti kampung-kampung di sini, anak-anak dan orangtua bertelanjang kaki tampak dimana-mana.  Jalan berdebu, lahan kritis yang sulit ditanami pangan, dan tentu saja transportasi yang buruk. Untuk menuju kota, ibu-ibu harus menumpang angkutan umum semacam omprengan tahun 1970an di Jakarta yang tidak ada kursinya dan tidak ada atapnya.  Ibu-ibu berdiri sambil berpegangan tepi kendaraan di bagian belakang.  Dulu biasanya pemandangan ini banyak saya lihat saat mbok-mbok bakul sayur belanja di pasar Senin, sambil membawa dua-tiga karung berisi daun bawang, kentang, cabai dan kubis.  Pukul lima pagi mereka sudah selesai berbelanja dan dengan sigap membuka lapak di pasar di daerah Blok A – Kebayoran baru. Biasanya kalau kebagian kursi tempat duduk mereka langsung tertidur.

Ada juga tentara yang naik kendaraan serupa, yaitu mereka yang dijemput truk besar untuk nonton film India di bioskop Rivoli sore hari.  Tentu saja pemandangan seperti ini sudah jarang kita saksikan di sini. Tapi kalau  pergi ke berbagai pelosok tanah air, saya masih bisa menemukannya.

Sepertinya kemajuan pesat perekonomian India dan juga di sini tak akan mampu memperbaiki nasib kaum papa seperti yang dijanjikan teori ekonomi.  Hal serupa masih akan kita temui 10-20 tahun ke depan di sini,  kalau sistem politik tidak bisa  mengatasi masalah korupsi. Selain government failure, pasar dengan pendapatan dibawah Rp 15.000 sehari tak akan bisa menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak untuk \”naik kelas\” dalam strata sosial.  Untuk bayar uang sekolah di taman kanak-kanak  saja, seorang tukang ojek atau pedagang kaki lima harus punya uang sebesar Rp 250.000 setiap bulan.  Darimana uangnya?  Bagi pemerintah mungkin tugasnya sudah selesai dengan menyediakan pendidikan gratis dari SD sampai SLTA.  Tetapi tanpa pendidikan TK yang kuat, mana ada anak kampung yang memiliki percaya dii untuk bertarung dengan kelas menengah di Sekolah Dasar?

Pasar BOP
C.K. Prahalad (1994)  menyebut pasar kelompok ini sebagai BOP atau Bottom of the Pyramid.  Tetapi Prahalad tak banyak memberikan solusi untuk memerdekakan pasar BOP yang menurutnya sebuah potensi besar bagi perusahaan-perusahaan MNC kalau mereka bisa  mendapatkan akses.

Ada tiga alasan yang diajukan Prahalad, Pertama, kaum papa mewakili   “pasar yang laten”.  Kedua, BOP merupakan sumber pertumbuhan private sector kalau mereka naik kelas dan bergabung sebagai pasar seperti yang pernah terjadi dengan negara-negara eks komunis.  Tetapi untuk menarik mereka diperlukan inovasi-inovasi mendasar.  Ketiga,  urusan membangun pasar BOP tidak akan selesai dengan mengalirkan dana-dana CSR.  Pasar BOP harus menjadi bagian integral dari kebijakan private sector.
Masalahnya, dominan logic yang dianut kapitalisme, private sector dan pemerintah tentang pasar BOP tidak mendukung mereka untuk keluar dari kemiskinan.  Dalam banyak hal, kebijakan pemerintah di negara-negara miskin dan berkembang yang merupakan kepanjangan dari kebijakan yang dibangun para penjajah, hanya memelihara kemiskinan dan ketergantungan.
Peran negara yang dominan saja misalnya sangat kental dengan logika moralitas penguasa yang memelihara kemiskinan.  Tak banyak ekonom dan politisi yg menyadari bahwa subsidi besar-besaran terhadap energy dan listrik yang diberikan terus menerus belakangan ini akan semakin memiskinkan penduduk di daerah pedalaman Papua, Maluku, NTT, sebagian Sulawesi dan Kalimantan.  Harga bensin murah dan listrik hanya dinikmati penduduk yang lebih kaya di perkotaan, dan mayoritas penduduk yang tinggal di pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi.  Penduduk di Pulau Buru dan Papua hanya bisa menonton melihat tulisan harga premium Rp 4.500, sementara mereka hanya bisa membeli di tepi jalan seharga Rp 20 ribu.

Bunker Roy dan para social entrereneur menyadari bahwa negara tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Bersama sejumlah orang ia menyewa gedung ex sanotarium TBC di desa berpenduduk sekitar 20 ribu orang dan menjadikannya kolese tanpa alas kaki.  Ia melihat private sector yang ditujukan untuk mencari keuntungan tak akan bisa melayani kaum miskin.  Terjadi market failure yang tak terpikirkan para ahli ekonomi.  Maka solusinya ya harus non-profit sector.  Barefoot College mendidik masyarakat agar mampu memiliki energy dan air bersih sendiri, ada atau tidak ada peran negara.

Di Rajasthan, setiap minggu ratusan ibu-ibu belajar cara merakit solar cell, mengurus sekolah bagi anak-anaknya, kesehatan, limbah dan sebagainya.  Ternyata hasilnya cukup mengagumkan.  Barefoot College belakangan diminati oleh orang-orang berjiwa sosial untuk bergabung.  Mereka memberikan jasa secara non-profit. Insinyur, dokter, pengusaha dan mahasiswa sama-sama memperbaiki kegagalan pasar dengan memberikan jasa sukarela mereka.

Sektor seperti ini baiknya terus ditumbuhkan dan diberikan insentif oleh pemda-pemda atau pemerintah pusat yang belakangan terbukti tidak mampu memeliharanya dengan dominan logic birokrasi.  Kita sudah sering membaca sekolah tak diurus dengan baik, hewan-hewan yang mati di berbagai kebun binatang,  rumah sakit dan  panti jompo yang tak terurus dengan baik.  Kalau di India saja pemerintah mulai berani memberi hibah pada para social entreneur yang terlibat dalam kegiatan non profit, maka di Indonesia pemerintah perlu lebih banyak mendorong keterlibatan sosial warganya.  Indonesia punya lembaga-lembaga non profit yang governance structurenya bagus seperti Dompet Duafa dan Bina Swadaya.   Bukankah sudah cukup dana APBN yang diberikan untuk memperkuat sektor keuangan dan private sector lainnya?

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/506811/34/

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *